Sulawesi adalah jantung Nusantara, simpul awal sejarah penyebaran manusia di Nusantara. Namun, pulau yang memiliki keragaman hayati tinggi ini juga menyimpan kisah suram dari punahnya kehidupan purba yang pernah berjaya.
Sosok dari batu setinggi 168 sentimeter itu seperti berjaga-jaga di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Sulawesi Tengah, yang siang itu awal Agustus 2012, begitu terik dan sepi. Wajahnya oval dan mata sipitnya memandang ke arah utara, memunggungi deretan pegunungan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Udara di padang savana itu begitu kering. Matahari terasa dekat di lembah berketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut itu. Di atas bukit kecil, sosok dari batu yang disebut para ahli sebagai Arca Tadulako itu berdiri gagah.
Arca Tadulako hanyalah satu dari ratusan peninggalan kebudayaan megalitik yang tersebar di empat lembah di Sulawesi Tengah. Keempat lembah itu adalah Lembah Palu, Lembah Napu, Lembah Besoa, dan Lembah Bada.
“Saya pernah mendata, jumlah artefak di lembah ini mencapai 300 buah,” kata Tanwir La Maming, arkeolog Sulawesi Tengah, yang meneliti situs ini sejak tahun 1990-an.
Selain berupa arca, sejumlah benda megalitik yang ditemukan di antaranya berupa kalamba (tempayan batu), lumping batu, batu dakon, lesung batu, umpak batu, bahkan juga gerabah.
Para arkeolog menduga, peninggalan di lembah ini merupakan situs pengusung kebudayaan megalitik (batu besar) tertua yang pernah ditemukan di Nusantara. Dwi Yani Yuniawati Umar dalam paper-nya, “Stone Vats (Kalamba) as One Megalithic Remains in the Lore Valley, Central Sulawesi” (2010) menyebutkan, dari penanggalan menggunakan karbon (C-14) terhadap beberapa sampel tulang yang ditemukan di Lembah Besoa, diketahui umurnya sekitar 2.890 tahun, 2.460 tahun, dan 2.170 tahun. Lalu, dari mana mereka datang?
Sejumlah ahli berpendapat, keberadaan mereka dipercaya terkait dengan migrasi bangsa Austronesia dari kawasan Taiwan dan China. Berdasarkan teori persebaran Austronesia “Out of Taiwan” yang diajukan Peter Bellwood (1995), bangsa Austronesia berasal dari Taiwan dan pantai China bagian selatan. Kawasan tersebut dianggap sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Dari sana lalu ke Filipina dan menyebar ke Nusantara melalui Sulawesi.
Lembah Surga
Berdasarkan sebarannya yang luar biasa banyak, Tanwir menduga, lembah-lembah di Sulawesi Tengah ini ibarat surga kehidupan purba. “Mereka yang dulu tinggal di sini kemungkinan terdiri atas beragam rumpun,” katanya.
Setiap situs di lembah ini menunjukkan bagaimana pola hidup mereka. Di tiap situs rata-rata ada tempat pemujaan, tempat mandi, arca manusia yang menjadi simbol nenek moyang, alat bermain, kuburan, dan alat bercocok tanam. “Arah hadap mata angin arca-arca dalam setiap situs berbeda antara satu situs dan situs lain, melambangkan adanya kepercayaan yang berbeda-beda pada setiap rumpun,” kata Tanwir.
Dwi Yani menyebutkan, masyarakat purba di lembah ini memiliki kemampuan bercocok tanam padi. Kesimpulan ini dibuat berdasarkan banyaknya temuan lumping batu. Dia juga menduga, masyarakat ini sudah memelihara ternak.
Tanwir menduga, kawasan lembah ini menandai periode awal pembukaan hutan untuk kepentingan pertanian. “Dahulu semua wilayah ini hutan,” katanya. Datangnya manusia dalam jumlah besar pada masa itu membuat kawasan hutan ini dijadikan tempat tinggal, areal sawah, dan kebun.
Berdasarkan penelitian Wiebke Kirleis dan Hermann Behling dari Universitas Goettingen, Jerman, dalam “Landscapes of Central Sulawesi the Environmental History of the Besoa Valley”, pembukaan hutan di kawasan ini terjadi sekitar 3.500 tahun lalu. Dia juga menemukan adanya pembakaran lahan yang dilakukan secara periodik untuk kepentingan pertanian. Lalu, kenapa tiba-tiba kehidupan permai di lembah-lembah ini menghilang?
Ditinggalkan
Banyak spekulasi muncul dari hilangnya kehidupan megalitik di lembah ini. Berada tak jauh dari jalur sesar Palu-Koro, lembah ini merupakan daerah yang kerap dilanda gempa. Sesar Palu-Koro merupakan salah salah satu sesar teraktif di Indonesia setelah sesar Sumatera. Gempa terakhir pada Sabtu (18/8) yang menewaskan lima warga di Kabupaten Sigi juga bersumber di Danau Lindu, tak jauh dari lembah megalitik ini.
“Namun, saya kira, bukan gempa yang menghabisi kehidupan megalitik di lembah ini,” kata Tanwir. “Saya menduga, yang menghabisi mereka di masa lalu adalah penyakit schistosomiasis.”
Penyakit ini disebabkan oleh cacing pipih trematoda dari spesies Schistosoma japonicum, yang bisa disebarkan melalui air dan menembus pori-pori kulit manusia. Satu tetes air yang sudah tercemar cacing ini bisa menyebabkan sakit schistosomiasis. “Sampai sekarang penyakit ini sudah menimbulkan korban di kawasan ini walaupun obatnya sekarang sudah ditemukan. Di masa lalu, mungkin ini menjadi masalah besar,” ujarnya.
Tanwir menduga, migrasi manusia ke Sulawesi dari Taiwan dan China selatan juga membawa penyakit mematikan yang hingga sekarang bisa ditemukan di sekitar Lore Lindu.
Hal ini sepertinya bersesuaian dengan ditemukannya dokumen kuno China yang mencatat penyakit ini sejak 400 sebelum Masehi. Ge Hong dalam catatan medisnya, “Zhouhou Beijifang”, menggambarkan adanya “racun air yang menyerang manusia seperti shegong (serangga beracun) tetapi tak terlihat”.
Benarkah kehidupan itu musnah karena penyakit tersebut? Sampai sekarang belum ada ahli yang bisa memastikannya. Yang jelas, kehidupan purba itu telah musnah, menyisakan arca batu yang kesepian di tengah padang savana. Namun, penyakit schistosomiasis hingga sekarang masih lestari di lembah-lembah itu. [AHMAD ARIF dan ASWIN RIZAL HARAHAP] ***
Sumber:
- KOMPAS edisi Sabtu, 1 September 2012 hal. 1 & 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar