Istana
Kadriah terletak Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak
Timur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, atau kurang lebih berjarak
200 meter dari Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahaman Alkadrie.
Syarif
Abdurrahman Alkadrie merupakan anak dari seorang pendatang dari Trim Hadramaut
di Jazirah Arab, Sayyid Husein Alkadrie. Menurut Ellyas Suryani Soren dalam
bukunya Sejarah Mempawah Tempo Doeloe, menerangkan bahwa Sayyid Husein Alkadrie
pernah menjadi mufti peradilan agama dan menyebarkan agama Islam di Kerajaan
Matan untuk mendampingi Al Habib Husein bin Yahya. Selama lima tahun menjadi
mufti di Kerajaan Matan dan saat itu sudah delapan tahun beliau meninggalkan kampung
halamannya, Sultan Kerajaan Matan, Sultan Muhammad Zainuddin menjodohkannya
dengan salah seorang putrinya yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinannya itu,
lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie pada Senin 15 Rabiul Awal tahun 1151 H
atau 1739 M, pukul 10.00 pagi.
Kabar tentang Al Habib Husein Alkadrie tersiar ke berbagai negeri di sebelah hulu Kapuas dan pesisir pantai utara. Seorang raja yang mengembara dari Tanah Bugis, Opu Daeng Menambon yang terkenal sangat perkasa dan bijaksana, salah seorang yang sangat ingin bertemu dengan Habib Husein. Lalu diutusnyalah puteranya untuk menjemput Sayyid Husein Alkadrie dengan meminta persetujuan Sultan Zainuddin.
Namun
Sultan Zainuddin keberatan mengizinkan menantunya memenuhi undangan Opu karena
selain masih membutuhkan di kerajaannya, Sultan khawatir kalau-kalau ada dugaan
rakyat sudah tidak menghendakinya lagi di kerajaan itu. Kepada penjemput Al
Habib Husein Alkadrie, suatu saat kalau sudah waktunya baru Sultan
memberitahukan kepada Opu Daeng Menambon.
Negeri
Matan Tanjungpura menjadi tujuan pelaut-pelaut dari Selat Malaka, Tanah Jawa,
Sumatera, Sulawesi dan daerah-daerah lain. Alkisah, seorang nakhoda tampan
bernama Ahmad yang asalnya datang dari Pulau Siantan dikenal memiliki ilmu yang
bermuara kesombongan. Karena merasa dirinya berilmu di manapun ia berlabuh
selalu mencari musuh, ibarat ayam jago selalu berkokok mencari ayam.
Begitulah
di Matan pun rupanya Ahamd sifatnya tidak berubah, dengan mengganggu
wanita-wanita, termasuk kaum kerabat istana. Biarpun lihai bagaimanapun
akhirnya Ahmad tertangkap juga dan mendapat hukuman mati. Tapi Al Habib
Alkadrie mengubah hukumannya dengan denda dan dilarang singgah di Matan, dia
diharuskan meminta maaf kepada Sultan.
Rupanya Sultan sangat kecewa terhadap Al Habib, karena merubah hukuman dengan denda, tapi Sultan tidak berani mengutarakan kekecewaannya. Ketika Nakhoda Ahmad meninggalkan Negeri Matan, baru lepas dari Muara Kayung kapalnya pun diserang Laskar Matan sehingga Ahmad tewas. Rupanya diam-diam Sultan memerintahkan panglima menyerang kapal Nakhoda Ahmad. Di pihak Sayyid Husein Alkadrie terkejut dan tersinggung karena merasa keputusannya tidak diindahkan Sultan. Maka Al Habib Husein Alkadrie pun merasa tidak pantas lagi sebagai mufti di kerajaan itu.
Kemudian
secara rahasia, Habib Husein Alkadrie mengirim surat kepada Opu Daeng Menambon
di Mempawah. Isi surat menyatakan bahwa ia bersedia pindah ke Mempawah dan
memenuhi hajat Opu Daeng Menambon beberapa waktu yang lalu.
Setelah
17 tahun Habib Husein Alkadrie menjadi mufti di Kerajaan Matan, maka tergeraklah
hati beliau untuk hijrah ke Sebukit. Dalam suratnya kepada Opu Daeng Menambon,
beliau minta disediakan dua buah rumah. Sebuah untuk tempat tinggal dan satunya
langgar (surau) terletak di kawasan yang ditumbuhi pohon-pohon nipah, adalah
pohon kayu yang hijau seluruhnya dari batang pelepah sampai ke daun dan
buahnya. Permintaan itu berdasarkan amanah gurunya Al Mukkaram Ustazul Kabir
Hamid bin Ahmad yang menyuruhnya mengembara ke timur di negeri bawah angin yang
di sana akan dijumpai tumbuh-tumbuhan yang hijau dan dapat dimanfaatkan sebagai
lahan kehidupan dan kemuliaan.
Mendengar
balasan surat itu, Opu Daeng Menambon sangat berbesar hati atas kemauan Habib
Husein Alkadrie untuk berpindah diam di kerajaannya. Maka Opu Daeng Menambon
turun tangan sendiri mencari tempat yang dimaksudkan serta membangun dua rumah
yang diminta Habib tadi. Didirikannya dua buah rumah yang sama besarnya karena
Habib Husein Alkadrie mempunyai istri, yaitu Nyai Tua, Nyai Tengah dan Nyai
Bungsu serta beberapa orang putera dan puterinya.
Kedua
bangunan tersebut terletak di hilir Sebukit, di tepi sungai dan tempat itu
belum memiliki nama. Ketika perumahan telah siap, maka Opu Daeng Menambon
menyiapkan pula dua buah perahu layar dan mengirimkan Gusti Haji bergelar
Pangeran Mangku untuk menjemput dari Sebukit berlayar ke Matan.
Dikisahkan
pula pada tanggal 8 Muharram tahun 1172 H, yang bertepatan dengan tahun 1758
Masehi berangkatlah Habib Husein Alkadrie dari Matan ke Kerajaan Opu Daeng
Menambon dengan lima buah perahu layar, yaitu dua buah perahu pengambil dan
tiga buah perahu pengantar dari Matan.
Sejak
tersiar luas kabar yang mengatakan seorang ulama besar (mufti Kerajaan Matan)
telah berpindah diam di kerajaan Opu Daeng Menambon, maka perahu-perahu berupa
kakap (sejenis perahu kecil dan rendah), penjajab (sejenis perahu/kapal perang
Bugis) dan bandong (sejenis perahu sungai beratap seperti rumah untuk membawa
barang dagangan) dari hulu Kapuas datang berkunjung sambil berniaga dan pula
menuntut atau belajar ilmu agama Islam.
Lama-kelamaan
tempat itu pun terkenal sebagai nama Galaherang (galah orang) yang berarti
galah tempat menambatkan tali perahu yang sekaligus tempat mereka berdiam
selama menuntut ilmu kepada Al Habib Husein Alkadrie.
Beberapa
lama kemudian menyebarkan agama Islam di Kerajaan Sebukit Rama, akhirnya Habib
Husein yang bergelar “Tuan Besar” di Kerajaan Opu Daeng Menambon wafat pada
hari Rabu, 3 Dzulhijjah 1184 H (1770 M) dimakamkan di Galaherang (sekarang Desa
Sejegi) terletak sekitar 2 kilometer dari Kota Mempawah.
Ketika
ayahnya, Sayyid Husein Alkadrie wafat, Syarif Abdurrahman Alkadrie bersama
keluarganya memutuskan mencari daerah pemukiman baru. P.J. Veth dalam bukunya,
Borneo’s Wester Afdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch, menjelaskan
bahwa dengan 15 kapal yang dipenuhi dengan campuran suku, termasuk sejumlah
anggota keluarganya, Abdurrahman berangkat dari Mempawah pada 23 Oktober 1771,
kemudian menyusuri Sei Kapuas, dan sebagai tempat tinggal dia pilih tempat di
mana Sei Landak bertemu dengan Sei Kapuas. Tempat ini diproyeksikan sebagai
tempat yang strategis bagi perdagangan kelak. Pada waktu itu, sebelum tanjung
yang terbentuk oleh Sei Landak dan Sei Kapuas, ada satu pulau kecil yang
kemudian hari bergabung dengan darat. Daerah tersebut belum pernah sama sekali
diinjak oleh manusia, karena tempat tersebut terkenal sebagai tempat tinggal
hantu-hantu (kuntilanak) yang sangat mengerikan. Abdurrahman memutuskan bahwa
tempat tersebut cocok digunakan sebagai tempat pemukiman baru.
Lalu,
Abdurrahman memerintahkan para pengikutnya untuk mulai membuka lahan tersebut
yang masih berupa hutan, namun para pengikutnya masih merasa takut akan
kuntilanak tadi. Karena itu, dia perintahkan agar perahu-perahu tersebut
mengelilingi pulau tersebut. Kemudian pulau ditembaki beberapa jam lamanya,
dengan tujuan mengusir hantu-hantu kuntilanak itu. Nama hantu kemudian menjadi
nama bagi pemukiman baru. Setelah penembakan berhenti, Abdurrahman sebagai
orang pertama melompat ke darat dengan berbekal parangnya, lalu diikuti oleh
para pengikutnya. Dalam waktu yang singkat mereka berhasil membersihkan satu
tempat yang luas. Inilah pemukiman baru yang kelak menjadi cikal bakal Kota
Pontianak.
Menurut
cerita masyarakat setempat, untuk menentukan lokasi di mana istananya akan
dibangun, Syarif Abdurrahman kemudian melepaskan tiga kali tembakan meriam ke
udara. Tiga titik jatuhnya meriam tersebutlah yang saat ini menjadi lokasi
pendirian Istana Kadriah, Mesjid Jami' Sultan Syraif Abdurrahman Alkadrie serta
lokasi pemakaman anggota keluarga Kesultanan Pontianak.
Secara
historis, Istana Kadriah mulai dibangun pada tahun 1771 M dan baru selesai pada
tahun 1778 M. Tak beberapa lama kemudian, Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadrie
pun dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Pontianak, dan mendapatkan pengesahan
sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779. Dalam perkembanganya,
istana ini terus mengalami proses renovasi dan rekonstruksi hingga menjadi
bentuknya seperti yang sekarang ini. Sultan Syarif Muhammad Alkadri, sultan
ke-6 Kesultanan Pontianak, tercatat sebagai sultan yang merenovasi Istana
Kadriah secara besar-besaran.
Bangunan
istana Kesultanan Pontianak seluas 60 meter x 25 meter ini dinamakan Istana
Kadriah karena untuk memuliakan nama pendirinya maupun moyang sebelumnya yang
memakai nama belakang “al-kadrie”. Dari berbagai istana kerajaan yang terdapat
di Kalimantan Barat, Istana Kadriah merupakan istana Melayu terbesar yang
berada di wilayah tersebut.
Di
atas pintu utama istana, terdapat hiasan mahkota serta tiga ornamen bulan dan bintang
sebagai tanda bahwa Kesultanan Pontianak merupakan Kesultanan Islam.
Balairungnya, atau sering juga disebut dengan balai pertemuan, didominasi oleh
warna kuning yang dalam tradisi Melayu melambangkan kewibawaan dan ketinggian
budi pekerti. Di ruang yang biasanya dijadikan tempat melakukan upacara
keagamaan dan menerima tamu ini, terpasang foto-foto Sultan Pontianak, lambang
kesultanan, lampu hias, kipas angin, serta singgasana sultan dan
permaisuri.
Di
sebelah kanan dan kiri ruang utama terdapat 6 kamar berukuran 4 x 3,5 meter
dimana salah satunya merupakan kamar tidur sultan. Sedangkan kamar-kamar
lainnya dahulunya dijadikan sebagai ruang makan dan kamar mandi.
Di
belakang ruang istana terdapat sebuah ruangan yang cukup besar. Di ruangan ini
selain untuk menyimpan benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti
senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca,
juga kediaman sultan dan keluarganya.
Kesultanan
Pontianak berlangsung hingga tahun 1952 dan bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada masa pemerintahan Sultan ke-8, Sultan Syarif
Hamid Alkadrie II. Ia mempunyai peranan penting dalam pembentukan negara kita,
yaitu menciptakan lambang negara, Garuda Pancasila. Sejak bergabung dengan
NKRI, kesultanan berakhir dan berkembang menjadi Kota Pontianak, ibukota Provinsi
Kalimantan Barat. *** [151112]
Kepustakaan:
Ellyas Suryani Soren, 2003, Sejarah Mempawah Tempo Doeloe,
Mempawah: Kantor Informasi, Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pontianak.
P.J. Veth, 2012, Borneo’s Wester Afdeeling Geographisch,
Statistisch, Historirsch (dialihbahasakan oleh P. Yeri, OFM Cap.),
Pontianak: Institut Dayakologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar