Klenteng
Hok Tek Bio terletak di Jalan Pemotongan No. 3 Kelurahan Purwokerto Utara,
Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, atau
tepatnya berada di belakang Pasar Wage, Purwokerto. Sebelum berdiri Pasar Wage,
daerah ini merupakan pusat pemerintahan kadipaten, di bawah administrasi
Adipati Pancurawis di mana dulunya lokasi Pasar Wage tersebut merupakan
alun-alun.
Saat
lokasi yang sekarang menjadi Pasar Wage, menjadi pusat pemerintahan, banyak
pedagang asongan dari Cina yang menawar dagangannya kepada masyarakat sekitar
kadipaten, yang makin lama makin banyak pedagang asongan yang berjualan di situ
sampai akhirnya merambah alun-alun.
Dengan surutnya Kadipaten Pancurawis tersebut para pedagang asongan
tersebut bermalam di teras Kadipaten dan melakukan sembahyang di situ.
Alun-alun
yang sudah terlanjur menjadi ramai menjadi lokasi para pedagang Cina tersebut,
oleh Gubernemen ditetapkan menjadi pasar yang kemudian berkembang menjadi besar
dan sejak itu menjadi Pasar Wage.
Sedangkan,
teras kadipaten yang biasanya menjadi tempat mangkal pedagang asongan Cina
lambat laun berubah menjadi Klenteng Hok Tek Bio seiring surutnya Kadipaten
Pancurawis.
Klenteng Hok Tek Bio diperkirakan berdiri sekitar tahun 1831 oleh pedagang Cina yang sering bermalam di teras tersebut, yang dipimpin oleh Oey Yoe Wan. Semula klenteng ini hanya sebuah bangunan biasa yang menyerupai rumah joglo, yang berfungsi sebagai tempat peribadatan pemeluk agama Tao. Setelah dua kali direnovasi, yaitu pada tahun 1879 kemudian renovasi kedua pada tahun 1987 bentuknya menjadi khas seperti sekarang. Baik atap maupun dinding serta ornamennya memiliki bentuk bangunan bergaya khas Cina.
Klenteng Hok Tek Bio diperkirakan berdiri sekitar tahun 1831 oleh pedagang Cina yang sering bermalam di teras tersebut, yang dipimpin oleh Oey Yoe Wan. Semula klenteng ini hanya sebuah bangunan biasa yang menyerupai rumah joglo, yang berfungsi sebagai tempat peribadatan pemeluk agama Tao. Setelah dua kali direnovasi, yaitu pada tahun 1879 kemudian renovasi kedua pada tahun 1987 bentuknya menjadi khas seperti sekarang. Baik atap maupun dinding serta ornamennya memiliki bentuk bangunan bergaya khas Cina.
Seiring
perkembangannya, klenteng ini sekarang digunakan sebagai tempat peribadatan
bagi tiga pemeluk agama (Tri Dharma), yaitu Tao, Kong Hu Cu dan Buddha.
Menurut
Apri, salah sorang karyawan klenteng ini, menerangkan, bagi penganut Tao,
mereka memuliakan Dewa Bumi (Hok Tek Tjeng Sien), Sam Po Kong dan Kwe Seng Ong
(Dewa Usaha) di altar persembayangan utamanya. Patung Dewa Bumi kecil yang
berada di altar persembahyangan, dibawa langsung oleh Oey Yoe Wan dari Cina
untuk ditempatkan di klenteng ini.
Bagi penganut Kong Hu Cu, mereka memuliakan Nabi Kong Hu Cu, Ngo Tjoo (Dewa Beras) dan Liem Thay Djien, seorang sarjana yang menjadi Dewa Kepandaian di altar persembahyangan utama.
Bagi
penganut Buddha, mereka memuliakan Sakyamuni Hud (Sang Buddha), Ti Chang Wang
Posat (Dewa Akhirat), Tatmo Chaw Su (Pendiri Biara Shaolin) dan Kwan Im Posat
(Dewi Welas Asih) di altar persembahyangan utama.
Klenteng
ini tergolong luas bila dibandingkan dengan klenteng-klenteng yang lain di Indonesia.
Dengan tanah seluas sekitar 900 m², klenteng ini mampu memuat sekitar sepuluh
altar persembahyangan dengan memuliakan berbagai dewa masing-masing sesuai
penganutnya (Tao, Kong Hu Cu maupun Buddha).
Pada tahun 1992, halaman klenteng dipercantik dengan dibangun aula atau ruang tunggu sedangkan di pojok kiri halaman dibangun pagoda sebagai tempat pembakaran kertas doa, dinding temboknya dilukis penuh dengan gambar dewa-dewi. *** [041112]
Pada tahun 1992, halaman klenteng dipercantik dengan dibangun aula atau ruang tunggu sedangkan di pojok kiri halaman dibangun pagoda sebagai tempat pembakaran kertas doa, dinding temboknya dilukis penuh dengan gambar dewa-dewi. *** [041112]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar