Sebenarnya
saya sudah pernah mengunjungi museum ini ketika terlibat dalam sebuah
penelitian Financial Literacy Migrant
Worker-3 di Blitar pada tahun 2012. Pada waktu mendapat jatah libur,
teman-teman di lapangan pada pulang ke kampung halamannya masing-masing. Yang
satu pulang ke Sukorejo, Pasuruan, dan yang satunya pulang ke Kota Malang. Tapi
saya tetap stay di Blitar.
Libur
dua hari itu, saya manfaatkan untuk berkelana ala backpacker. Karena base camp
berada di Blitar, saya berkesempatan berkeliling ke Kediri dan Tulungagung yang
jaraknya masih terjangkau dengan berkendara motor roda dua. Di Tulungagung,
saya sempat mengunjungi museum di Tulungagung namun museum sudah tutup karena
jam kerjanya sudah melampau. Hari Sabtu, kebetulan jam buka museum hanya sampai
pukul 12.00 WIB sementara saya menjangkau museum lepas pukul 13.00 WIB. Sehingga,
tak bisa menghasilkan tulisan. Pada waktu itu, museumnya masih bernama Museum
Daerah Tulungagung.
Kesempatan
itu rupanya datang lagi, saya mendapat tugas untuk melakukan Quick Survey Pemanfaatan Dana Desa pada
tahun 2016 di Kabupaten Tulungagung. Apa yang tertangguhkan, terwujud jua
akhirnya. My field, my adventure! Saya
bisa berkunjung kembali ke museum tersebut. Kali ini, museumnya sudah berganti
nama menjadi Museum Wajakensis Tulungagung. Museum ini terletak di Jalan Raya
Boyolangu Km. 4 Desa Boyolangu, Kecamatan Tulungagung, Kabupaten Tulungagung,
Provinsi Jawa Timur. Lokasi museum ini berada di sebelah utara pintu gerbang
SMKN 1 Tulungagung.
Berawal dari banyaknya temuan benda warisan sejarah dan purbakala di Kabupaten Tulungagung, muncul gagasan untuk mendirikan sebuah museum untuk menampung semua temuan tersebut, yang sebelumnya hasil temuan tersebut disimpan di Pendopo Kabupaten. Museum Wajakensis didirikan pada akhir tahun 1996 dengan menempati bangunan berukuran 8 x 15 m yang berdiri di atas lahan seluas 5.706 m². Dinamakan Wajakensis berdasarkan pertimbangan bahwa di daerah Tulungagung Selatan pernah mendunia berkat temuan fosil Wajak 1 dan Wajak 2 yang kemudian dikenal sebagai Homo Wajakensis (Manusia Purba dari Wajak).
Museum
ini sebenarnya memiliki koleksi yang cukup tua dibandingkan dengan daerah lain.
Namun, karena ruangan museum yang tidak begitu lebar dan lebih mirip dengan
ruang kelas pada sekolahan, penataan koleksi tidak optimal. Bahkan, enam
prasasti langka terpaksa diletakkan di teras bagian utara dari bangunan museum.
Keenam prasasti ini pernah didatangi dan diteliti oleh arkeolog dari dalam
maupun luar negeri, akan tetapi hingga sekarang belum terlihat apa isi dari
prasasti tersebut.
Memasuki
satu-satunya pintu yang ada di museum, pengunjung akan disambut petugas museum
untuk mengisi buku tamu yang telah disediakan. Lalu, pengunjung akan
dipersilakan melihat koleksi-koleksi yang dipajang di dalam museum tersebut.
Penataan ini mengikuti denah ruangan yang berbentuk empat persegi panjang.
Koleksi-koleksi ditaruh mepet dengan
dinding, dan di bagian tengah diletakkan arca-arca secara berderet. Selain itu,
di dinding sebelah timur dan selatan terpampang story line perihal situs maupun candi yang terdapat di Kabupaten
Tulungagung.
Di
antara pajangan yang mepet dengan dinding dan yang berada di tengah,
terciptalah sebuah lorong yang akan dilalui oleh pengunjung museum. Sesuai
arahnya, pengunjung mengikuti lorong ke selatan lalu ke barat, terus ke utara
kemudian ke timur.
Searah lorong, pengunjung bisa melihat replika Homo Sapiens Wajakensis yang ditaruh dalam lemari kaca, yaitu sebuah fosil tengkorak manusia purba yang diperkirakan berusia ± 40.000 tahun yang lalu ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1880-1890 di daerah Wajak-Besole Tulungagung Selatan. Berdasarkan penelitian arkeologi yang dilakukan pada tahun 1889 di lereng barat Gunung Gamping, Desa Wajak, Kecamatan Campurdarat, ditemukan bukti bahwa pada masa lalu daerah ini telah didiami oleh Homo Sapiens Wajakensis. Fosil ini merupakan fosil homo sapiens pertama yang dijumpai di Indonesia. Dengan ciri-ciri memiliki volume otak 1.630 cc, bermuka datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol sedikit. Fosil ini merupakan perpaduan antara ciri ras Mongoloid dan ras Austromelanosoid. Di daerah ini juga ditemukan fosil tapirus indicus (tapir), manik-manik dan benda perunggu.
Koleksi
keris tilam sari dan keris tudung mediun bisa dilihat pengunjung di lemari kaca
bagian barat. Keris tilam sari adalah keris lurus dengan warangka ladrangan,
sedangkan keris tudung mediun merupakan keris luk 13 dengan warangka gayaman.
Kemudian, pengunjung juga bisa melihat osrok
mata dua yang terbuat dari dua lebar kayu berbentuk persegi yang pada salah
satu sisinya dipenuhi dengan paku besar. Pegangan terdiri dari dua bilah kayu
digunakan untuk membersihkan rumput di sawah. Dengan cara mendorong osrok di antara deretan tanaman padi
dengan deretan padi yang lain.
Di
dekat osrok, terlihat landak dan
lesung sedang. Landak, dibuat dari
besi dan pegangan dari kayu. Besi dipasang secara melingkar (seperti roda)
dengan ketajaman pada tiap sisinya. Pegangan terdiri dari dua bilah kayu karena
dibuat dari besi tajam, maka disebut landak
(seperti binatang landak yang punya banyak duri pada kulitnya). Digunakan untuk
membersihkan rumput di sawah dengan cara mendorong landak di antara deretan tanaman padi dengan deretan padi yang
lain. Sedangkan, lesung terbuat dari kayu jati untuk yang bagian tengahnya
diberi lubang memanjang, pada kedua sisinya terdapat lubang bulat kecil. Lesung
digunakan untuk menumbuk padi dengan alu, secara beramai-ramai pada musim panen
padi. Selain itu biasanya lesung juga bisa digunakan sebagai undangan tidak
resmi apabila sebuah keluarga mempunyai hajatan. Bunyi padi yang ditumbuk di
dalam lesung menandakan bahwa kegiatan secara resmi sudah dimulai dan tetangga
sekitar yang ingin membantu biasanya langsung datang.
Selain
itu, museum ini juga memiliki banyak peninggalan Hindu-Buddha berupa arca-arca
yang terbuat dari batu andesit, prasasti maupun serpihan-serpihan candi yang
ditemukan di Kabupaten Tulungagung seperti arca dwarapala, arca agastya, arca
nandi, arca ganesha, arca kera, yoni maupun batu mirip altar.
Arca
Dwarapala dalam museum ini terbuat dari batu porus berwarna keputihan (batu
kapur). Arca ini ditemukan di daerah pegunungan kapur di sekitar Desa Gamping,
Kecamatan Campurdarat, yang juga berbatasan dengan pegunungan marmer Besole
Besuki. Dwarapala menggambarkan bentuk raksasa penjaga pintu gerbang masuk
suatu bangunan suci, yang digambarkan dalam posisi duduk kaki kiri ditekuk (bersila) sedangkan kaki kanan
dalam posisi jengkeng. Arca ini
mempunyai dua tangan yang membawa gada.
Gada dianggap salah satu atribut yang
merupakan simbol penghancur kegelapan. Dwarapala selalu digambarkan dengan mata
melotot dan mulut menyeringai memperlihatkan gigi-giginya.
Agastya
adalah salah satu penggambaran Dewa Siwa sebagai Maha Guru, yang dalam
ikonografinya selalu digambarkan sebagai seorang laki-laki tua berbadan gendut
dalam sikap berdiri, mempunyai dua tangan yang masing-masing membawa kamandalu (kendi) dan aksamala (tasbih) yang sudah sangat aus.
Pada bagian sandaran terdapat trisula
(tombak bermata tiga) dan camara (alat pengusir lalat). Pada awalnya, agastya
adalah seorang penyebar agama Hindu di India Selatan yang kemudian dalam
perkembangannya sering dianggap sebagai salah satu perwujudan Dewa Siwa
sendiri, dalam perannya sebagai penyebar ajaran agama Hindu.
Nandi
adalah lembu sebagai wahana Dewa Siwa yang dalam perkembangannya dianggap
sebagai salah satu perwujudan Dewa Siwa sendiri dan banyak dipuja terutama di
daerah-daerah agraris yang banyak menggantungkan hidupnya pada sektor
pertanian. Lembu Nandi dianggap mampu memberikan kesuburan dan keberhasilan
dalam pateon agama Hindu.
Ganesha
adalah dewa berkepala gajah, putra Dewa Siwa dengan Parwati, yang dalam
ikonografinya Ganesha seringkali digambarkan duduk uttuku tukasana (dua telapak kaki bertemu di tengah). Sikap duduk
ini merupakan sikap duduk khas Ganesha. Ganesha dianggap sebagai simbol ilmu
pengetahuan, Dewa Perang sekaligus pembasmi kejahatan dan kebodohan.
Lalu,
arca kera. Arca ini ditemukan di sekitar Sungai Song yang berada di Desa
Pucangan, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung pada 23 Mei 2013 oleh Jasmuni
dalam timbunan tanah berbatu. Menurut sejumlah arkeolog, arca ini tergolong
langka dan unik. Sampai sekarang arca ini masih dalam penelitian BPCB Trowulan.
Yoni
yang terdapat dalam museum ini, terbuat dari batu andesit dan berbentuk
persegi. Salah satu sudutnya terdapat cerat, bagian atas tepat di tengahnya
terdapat lubang persegi tempat diletakkan Lingga. Yoni dianggap sebagai lambang
sakti istri Dewa Siwa, yaitu Parwati. Dalam suatu kompleks candi, Yoni dan
Lingga diletakkan di bilik utama sebagai pengganti Siwa dan Parwati. Lingga dan
Yoni dianggap simbol kesuburan, kelangsungan hidup dan regenerasi dalam segala
aspek kehidupan.
Sedangkan,
batu mirip altar yang ada di museum ini berangka tahun 1295 Saka atau 1373
Masehi dan batu candi yang berangka tahu tahun 1304 Saka atau 1382 Masehi. Batu
ini berasal dari Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten
Tulungagung.
Dilihat
dari koleksi-koleksi yang ada di Museum Wajakensis ini, sebenarnya memiliki
kesejarahan yang cukup tua sehingga bisa menjadi rekaman perjalanan peradaban
sebuah bangsa yang dapat dijadikan sarana pendidikan bagi masyarakat. Sebagai
museum umum, museum ini masih bisa berkembang dan dikembangkan menjadi museum
unggulan yang terdapat di Jawa Timur. ***
[250116]
Terima kasih telah berkenan membaca artikel ini. Semoga bermanfaat
BalasHapusterimakasih saya jadi lebiih tau
BalasHapus