The Story of Indonesian Heritage

Lingkungan Perumahan Laweyan

Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Dilihat dari segi sejarah, menurut Mlayadipuro (1984), keberadaan Kampung Laweyan Surakarta sudah ada sejak sebelum tahun 1500 M. Pada masa itu Kampung Laweyan dengan Pasar Laweyan dan Bandar Kabanarannya merupakan pusat perdagangan dan penjualan bahan sandang (lawe) Kerajaan Pajang yang ramai dan strategis (Priyatmono, 2004).
Ditinjau dari segi arsitektur rumah tinggal, Kampung Laweyan memiliki corak yang unik, khas, dan bersejarah disebabkan hampir sebagian besar rumah tinggal saudagar batiknya bercirikan arsitektur tradisional khas Laweyan. Atap bangunannya, kebanyakan menggunakan atap limasan bukan joglo. Dalam perkembangannya sebagai salah satu usaha untuk lebih mempertegas eksistensinya sebagai kawasan yang spesifik corak bangunan di Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur Indis (Jawa-Eropa) dan model “gedong” (Priyatmono, 2004).


Semasa Kerajaan Pajang tahun 1546, Laweyan terkenal sebagai daerah penghasil tenun. Batik di Laweyan baru dikenal semasa Kerajaan Kasunanan Surakarta dan mengalami masa kejayaan  di tahun 1960-an. Batik yang diproduksi di Laweyan adalah batik tulis (tradisional) dengan corak spesifik berbeda dengan batik yang dikembangkan di dalam tembok kraton. Laweyan semakin pesat ketika Kyai Ageng Henis (keturunan Brawijaya V) dan cucunya yaitu Raden Ngabehi Lor Ing Pasar/ Sutawijaya yang kelak menjadi raja pertama Mataram bermukim di Laweyan tahun 1546 M. Kyai Ageng Henislah yang kemudian mengajarkan cara membuat batik kepada masyarakat Laweyan. Kurang adanya proses regenerasi, sistem manajemen yang kurang bagus serta munculnya produk “batik” printing di tahun 1980-an menyebabkan industri batik di Laweyan mengalami gulung tikar hingga sekarang tinggal 15% dari jumlah industri yang pernah ada (Republika, 17 Juni 2003). Dalam perkembangannya perubahan fungsi kawasan yang semula didominasi oleh pengrajin batik menjadi non batik berpengaruh terhadap perubahan morfologi kawasan dan permukimannya (Priyatmono, 2004).


Dilihat dari sosial budaya masyarakatnya, Laweyan yang memiliki ciri yang khas. Menurut Priyatmono (2004), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Dulu para saudagar batik yang tinggal di Laweyan membangun rumah besar-besar dengan tembok menjulang. Para juragan batik juga membangun lorong atau jalan rahasia di dalam rumah mereka menuju rumah juragan batik lainnya di Laweyan. Kabarnya ketika itu mereka bersikap berseberangan dengan pihak keraton. Sehingga lewat jalan-jalan rahasia mereka bisa leluasa melakukan pertemuan-pertemuan dengan sesama saudagar batik untuk membahas kondisi sosial politik saat itu.
Terdapat enam situs bangunan kuno (benda cagar budaya) di kawasan Kampung Batik Laweyan yang termasuk dalam cagar budaya, sebagaimana yang tercantum dalam SK Walikota Surakarta Nomor 646/116/1/1997 tentang Penetapan Bangunan-Bangunan dan Kawasan Kuno Bersejarah di Kota Solo yang dilindungi UU No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Situs dan bangunan cagar budaya yang dilindungi adalah langgar Laweyan, langgar Merdeka, langgar Makmur, Makam Ki Ageng Henis, Bekas Pasar Laweyan, dan Bekas Bandar Kabanaran.
Kondisi yang tampak di kawasan Kampung Laweyan adalah lebih banyak bangunan kuno dan bersejarah yang terancam hancur perlahan-lahan. Satu per satu bangunan kuno dengan keindahan arsitekturnya, mulai rusak, dan sebagian lain berubah fungsi menjadi ruko atau bangunan baru yang arsitekturnya berbeda dengan karakteristik kawasan secara umum. Banyak di antara bangunan-bangunan tua tersebut yang dibiarkan dalam keadaan rusak dan tidak terpelihara. Bahkan bekas rumah Ketua SDI (Serikat Dagang Islam) H. Samanhoedi – salah satu pahlawan nasional – tampak sudah tak utuh lagi, bagian depannya digempur habis.
Selain itu, adanya perubahan pemilikan tanah menyebabkan tanah beralih ke tangan pedagang non pribumi dan beberapa birokrat besar, yang profesinya tidak ada sangkut pautnya dengan proses pembuatan batik mengakibatkan terjadinya perubahan dan alih fungsi bangunan.

Kepustakaan:
  • Andri Satrio Pratomo dkk., ____ , Pelestarian Kawasan Kampung Batik Laweyan Kota Surakarta, Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami