Jalan
Diponegoro, pada masa Hindia Belanda dulu dikenal dengan Reinersz Boulevard. Di jalan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
mengembangkan sebagai permukiman elite sebagai bagian integral dari kawasan
Darmo. Kawasan tersebut pada waktu itu disebut sebagai Bovenstad atau Kota Atas.
Sebagai
kawasan yang diperuntukkan bagi perumahan-perumahan elite tempo doeloe, daerah
di seputar kawasan Darmo tumbuh dengan segala fasilitas publik yang melengkapi
permukiman tersebut. Salah satunya adalah Rumah Sakit (RS) William Booth (Gebouw van de William Booth Stichting te
Soerabaja).
RS
William Booth terletak di Jalan Diponegoro No. 34 Kelurahan Darmo, Kecamatan
Wonokromo, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi rumah sakit ini berada di
depan Rumah Sakit Vincentius. Sebelah utara berbatasan dengan rumah warga,
sebelah timur berbatasan dengan Jalan Cimanuk, sebelah selatan berbatasan
dengan Jalan Ciliwung, dan sebelah barat berbatasan dengan Jalan Diponegoro.
Menurut
sejarahnya, pembangunan RS William Booth ini tidak terlepas dari peran Gereja
Bala Keselamatan, sebuah lembaga gereja yang berawal dari sebuah organisasi misi
Kristen di kawasan London Timur, Inggris, yang dipelopori oleh William Booth
seorang pendeta Metodis pada tahun 1865.
Mulai
tahun 1878 organisasi tersebut diberi nama Salvation
Army (Bala Keselamatan). Organisasi ini disusun mirip dengan organisasi
kemiliteran, petugas-petugas diberi pakaian seragam (putih) serta pangkat,
mulai dari jenderal sampai dengan prajurit, Kepercayaan didasarkan atas Injil
dan markas besarnya berada di London, Inggris.
Konsep
tentang “tentara” datang secara gradual, nama itu lahir dari sebuah inspirasi
yang tiba-tiba, beberapa bulan setelah semi-militer konstitusi telah ditentukan
sebelumnya. Hal ini bisa dipahami bahwa misi Kristen adalah sebuah tentara volunteer (Volunteer Army) dan William Booth menegaskan bahwa “misi Kristen
adalah sebuah tentara keselamatan (Salvation
Army). Jadi, William Booth mensintesakan semangat tentara seperti tindakan
agresif dan kepemimpinan terpusat di dalam gerejanya dengan semangat
evangelisasi (pekabaran Injil).
Mereka menyebut diri sebagai bala tentara Allah yang setiap hari maju berperang, rohani melawan iblis dan dosa yang menyebabkan penderitaan manusia serta mengalahkan segala bentuk kejahatan dalam kehidupan masyarakat, sekaligus memenangkan hati Kristus bagi jiwa-jiwa manusia yang paling jahat sekalipun. Karena itu, pakaia seragam dan perangkat musik mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengabdian mereka memberitakan serta memberlakukan Injil dan kasih Kristus melalui pelayanan kemanusiaan yang cakupannya sangat luas, terutama bagi lapisan masyarakat terbawah di kota-kota besar maupun di perdesaan.
Pada
waktu itu, masyarakat Inggris sedang mengalami krisis sosial sebagai dampak
dari Revolusi Industri. Oleh karena itu, pada awal kemunculannya organisasi ini
tidak hanya berperan dalam menyiarkan Injil di kalangan masyarakat London Timur
yang miskin melainkan juga membantu mencarikan jalan keluar untuk menolong
mereka dalam mengatasi masalah hidup. Pengaruh dari situasi dan kondisi
tersebut menyebabkan organisasi ini memiliki karakteristik unik dan bersifat
khas Gereja Bala Keselamatan, yaitu pelayanan sosial terhadap masyarakat tanpa
membedakan latar belakang mereka.
Di
Hindia Belanda gerakan organisasi Bala Keselamatan ini dimulai sejak 24
November 1894 di daerah Purworejo, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai Het Leger Des Heils. Di Surabaya, bidang
pelayanan sosial yang dilakukan oleh Gereja Bala Keselamatan adalah di bidang
kesehatan.
Di
Surabaya, Bala Keselamatan mengawali dengan membuka Klinik Ibu dan Anak maupun
pasien lainnya di sebuah ruang yang sempit di Benedenstad (Kota Bawah). Kota Bawah merupakan pusat regional yang
berada di Surabaya Utara yang menjadi awal mula sejarah perkembangan Kota
Surabaya. Pusat pemerintahan ketika itu masih berada di utara Jembatan Merah,
sehingga segala pusat kegiatan masyarakat termasuk di dalamnya perdagangan dan
jasa serta permukiman berada di sekitar Jembatan Merah, Ampel dan Kembang
Jepun. Kota Bawah ini sering disebut sebagai kota tuanya Surabaya (Oude stad).
Setelah
beberapa tahun klinik berjalan, pada tahun 1915 Bala Keselamatan mendirikan
Rumah Bersalin dengan menggunakan sebuah rumah bertingkat di Jalan Tambak
Bayan. Seiring berjalannya sang waktu, pekerjaan makin berkembang sehingga
Rumah Bersalin Tambak Bayan sudah tidak sanggup memenuhi kebutuhan. Bala
Keselamatan kembali mencari lahan untuk mengembangkan Rumah Bersalin tersebut.
Akhirnya, diperolehlah sebidang tanah yang berada di Reinersz Boulevard 34,
sekarang bernama Jalan Diponegoro. Di persil ini segera dibangun Rumah Sakit
Bersalin yang peletakkan batu pertamanya dilakukan oleh Ny. G. Hillen atas nama
Residen saat itu pada tanggal 3 Januari 1924. Pembangunannya berjalan selama
satu tahun dan pembukaan dilakukan pada tahun 1925. Menjelang perpindahan ini,
peralatan dan obat-obatan yang masih berada di Rumah Bersalin Tambak Bayan
secara berangsur telah diangkut ke tempat yang baru. Setelah itu, Rumah
Bersalin di Tambak Bayan tidak menerima pasien baru lagi dengan harapan pada
hari terakhir di Tambak Bayan tidak perlu memindahkan pasien ke tempat yang
baru.
Walaupun
rumah sakit yang baru telah ada, namun pelayanan di luar rumah sakit masih
dijalankan terus. Para opsir Bala Keselamatan langsung membagi tugas mereka
yang memiliki latar belakang pendidikan medis bertugas di rumah sakit, dan yang
lainnya di bagian administrasi atau tenaga rumah tangga. Kurangnya tenaga
membuat para opsir itu bertugas ganda, dengan jam kerja tidak terbatas.
Biasanya setelah bertugas di rumah sakit, sebagian lalu mengayuh sepedanya ke
klinik di kota. Yang tidak ke klinik bertugas jaga dan juga mengerjakan tugas
kerohanian.
Pekerjaan
berkembang terus sehingga tempat perlu diperluas dan di samping itu jenis
pertolongan tidak terbatas pada kasus ibu dan anak. Pada tahun 1939 bangunan
tambahan didirikan di sebelah kanan bangunan pertama. Bagian-bagian lain, seperti
ruang bedah, asrama, ruang anak-anak juga dibangun kemudian. Sehingga, semakin
berkembang tidak menjadi Rumah Sakit Bersalin lagi tetapi menjadi rumah sakit umum
yang diberi nama Rumah Sakit William Booth. Penamaan rumah sakit didasarkan
pada nama pendiri Bala Keselamatan.
Pada
masa pendudukan Jepang, Rumah Sakit William Booth diambil alih oleh pasukan
Jepang. Rumah sakit swasta ini dijadikan rumah sakit khusus sebagai bagian dari
Rumah sakit Umum Pusat. Setelah Indonesia merdeka, rumah sakit ini dipegang
oleh pemerintah hingga tahun 1947. Ketika rumah sakit dikembalikan lagi ke Bala
Keselamatan, maka semua dokter dan tenaga pemerintah ditarik kembali ke rumah
sakit milik pemerintah.
Itulah
lika-liku perjalanan Rumah Sakit William Booth. Paska ditinggalkan semua dokter
dan tenaga pemerintah, rumah sakit ini dikelola tanpa satu pun dokter kecuali
beberapa perawat dan opsir Bala Keselamatan. Untung keadaan ini tidak
berlangsung lama karena seorang dokter misionaris wanita tiba dan mulai
bertugas sepenuhnya dalam 24 jam. Selain dinas biasa, dokter tersebut juga
merupakan satu-satunya dokter jaga.
Selama
masa perang dan revolusi fisik, banyak peralatan rumah sakit terutama perabotan
rumah tangga hilang. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan yang menyatakan
bahwa pihak rumah sakit boleh mencari perabotan rumah sakit tersebut di rumah
penduduk sekitar dan bila dapat membuktikan perabotan tersebut sebagai milik
rumah sakit, rumah sakit tersebut boleh mengambilnya. Seorang opsir wanita
setiap selesai dinas di rumah sakit selalu bersepeda keliling untuk mencari
kursi, meja atau lemari yang hilang.
Pada
tahun 1971 rumah sakit ini membangun gedung untuk pasien paru-paru. Biaya untuk
membangun bagian ini diterima dari Compbell Trust di London. Tahun 1974
bersamaan dengan perayaan ulang tahun Rumah Sakit William Booth ke 50, kamar
operasi yang baru, laboratoriu, poliklinik dan bagian pendidikan yang berlantai
2 diresmikan. Bangunan ini merupakan sumbangan dari ICCO Nederland. Bulan
September 1982 bangunan rontgen bersama peralatannya diresmikan penggunaannya.
Bagian atas bangunan ini dipakai sebagai kantor dan ruang pertemuan. Biaya
untuk membangun gedung beserta alat-alat radilogi yang modern merupakan hasil
sumbangan dari NORAD Norwegia.
Pada
tahun 1984 dibangun gedung baru berlantai 3 yang akan digunakan sebagai asrama
siswa SPK Rumah Sakit William Booth. Gedung ini merupakan sumbangan dari SIDA
Swedia.
Rumah
Sakit William Booth teus berkembang menjadi lembaga pemberi pelayanan kesehatan
masyarakat yang menyeluruh, meliputi aspek peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakir, pengobatan maupun pemulihan kesehatan. Rumah sakit ini akan selalu
memberikan pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, terstruktur,
berkualitas dan mudah terjangkau oleh masyarakat.
Selaras
dengan perkembangan pelayanan kesehatan masyarakat dan teknologi kesehatan,
Rumah Sakit William Booth Surabaya berupaya menjadi sebuah rumah sakit yang
mampu berfungsi sebagai pemberi pelayanan kesehatan masyarakat, informasi
kesehatan dan pelayanan sosial di bawah naungan Yayasan Bala Keselamatan
Surabaya.
Rumah
Sakit William Booth memiliki luas bangunan 5.504 m² yang berdiri di atas lahan
seluas 14.540 m². Dari luas bangunan tersebut, terdapat bangunan induk
bergaya Amsterdam School dengan dominasi
atap dan bukaan yang tinggi serta kubah sebagai penanda ruang penerima (hall) dan ruang lonceng. Kesan lawas masih terlihat.
Berdasarkan
Surat Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/29/436.1.2/2011 tentang
Penetapan Bangunan Gedung Rumah Sakit William Booth Jalan Diponegoro Nomor 34
Surabaya sebagai Bangunan Cagar Budaya, bangunan induk tersebut telah
ditetapkan sebagai cagar budaya yang ada di Kota Surabaya. *** [160115]
Kepustakaan:
Purnowo, 2008. Pelayanan
Sosial Gereja Bala Keselamatan dalam Masyarakat (Studi Peran Gereja Bala
Keselamatan dalam Pengelolaan Panti Asuhan Putra Tunas Harapan), dalam
Skripsi di Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Yance Pany, 1999. Analisis
Tingkat Kepuasan Pasien Atas Jasa Rawat Inap di Rumah Sakit William Booth
Surabaya, dalam Internship di Program Pascasarjana, UNDIP Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar