Sebenarnya
saya kerap melintas Jalan Bayangkara
yang berada di Kota Surakarta, atau yang dikenal dengan sebutan Kota Solo. Tapi
karena kurang perhatian, saya tidak mengira kalau di jalan tersebut terdapat
rumah lawas yang berarsitektur khas. Sepintas mirip dengan bangunan villa pada
umumnya.
Pada
waktu menjemput anak wedok yang
bersekolah di SMPN 15 Surakarta, saya berusaha menyambangi bangunan kuno
tersebut. Keunikan bangunan tersebut mendorong saya untuk mengetahui perihal
keberadaannya. Rumah lawas ini
terletak di Jalan Bayangkara No. 34 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan,
Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi rumah kuno ini berada di selatan
bundaran Baron atau di sebelah utara Masjid Al Haadi.
Dalam buku Sala Membangun yang diterbitkan oleh Tim Penyusun Buku Kenang-Kenangan Peresmian Proyek Pemugaran Stadion Sriwedari, dalam rangka menyambut peresmian Purna Pemugaran Stadion Sriwedari sebagai Monumen PON-I dan Hari Olahraga Nasional 9 September 1983, diterangkan bahwa rumah kuno yang didominasi warna biru muda ini merupakan rumah kediaman Suryohadinagoro yang digunakan sebagai tempat perundingan pelaksanaan Case Fire antara Kolonel Van Ohl (Belanda) dengan Letnan Kolonel (Letkol) Slamet Riyadi (Indonesia) atas dasar perintah Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 Agustus 1949.
Isi
dari perundingan itu adalah gencatan senjata antara Belanda yang diwakili oleh
Kolonel Van Ohl dengan Letkol Slamet Riyadi saat pertempuran empat hari di Solo
pasca agresi militer II Belanda. Puncaknya ketika Letkol Slamet Riyadi
mengambil prakarsa mengadakan “serangan umum Kota Solo” yang dimulai tanggal 7
Agustus 1949, selama empat hari empat malam. Serangan itu membuktikan kepada
Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase,
tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah Kota Solo yang
dipertahankan dengan pasukan kavaleri persenjataan berat, artileri pasukan
infanteri dan komando yang tangguh. Dalam pertempuran selama empat hari tersebut,
109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk meninggal karena aksi teror
Belanda, 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan di pihak
Badan Keamanan Rakyat (BKR) 6 orang gugur.
Kejadian lain yang lebih menggugah rasa percaya diri bangsa ditunjukan kembali oleh Letkol Slamet Riyadi yaitu setelah terjadi gencatan senjata, dan pada waktu penyerahan Kota Solo ke pangkuan Republik Indonesia dari pihak Belanda (29 Desember 1949). Dari pihak Belanda diwakili oleh Kolonel (Overste) Van Ohl sedangkan dari pihak Indonesia oleh Letkol Slamet Riyadi. Kolonel Van Ohl demikian terharu, bahwa Letkol Slamet Riyadi yang selama ini dicari-carinya ternyata masih sangat muda. “Oh ... Overste tidak patut menjadi musuhku, Overste pantas menjadi anakku, tetapi kepandaiannya seperti ayahku.”
Rumah
ini sekarang kosong, sehingga halamannya tampak kotor dan beberapa bagian
bangunan terlihat mengalami pelapukan. Di bagian halaman depan terdapat
prasasti yang menyatakan bahwa di lokasi pernah ada perundingan Case Fire
antara Komandan PPS Letkol Slamet Riyadi dengan pihak Belanda yang diwakili
oleh Kolonel Van Ohl. Prasasti tersebut diresmikan oleh Menko Polkam Jenderal
TNI (Purn) H. Soerono. Prasasti inilah menjelaskan rumah lawas ini dikenal
dengan Monumen Panularan.
Selain itu, ada juga prasasti yang berbunyi : “Prasejarah Saka Leluhur Para Karaton Bayangkara Pinuhu Sesepah Sesepuh Mardikaning Negara”. Prasasti ini dikeluarkan di Surakarta Hadiningrat pada tanggal 3 Maret 1903 tertanda oleh Eyang Broto Hadiningrat.
Monumen
Panularan ini tercatat dalam Surat Keputusan (SK) Wali Kotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Surakarta Nomor: 646/116/I/1997 sebagai Cagar Budaya dengan No.
15-48/E/Lw/2012. Cagar Budaya ini dilindungi oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. *** [020416]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar