Surakarta,
atau yang acapkali disebut dengan Solo, merupakan salah satu kota pusaka yang
ada di Indonesia. Sebagai kota pusaka, Solo banyak menyimpan berbagai warisan
penting dalam kebudayaan. Warisan penting tersebut, salah satunya bisa dilihat
dari kehadiran benda-benda cagar budaya yang terdapat di kota ini.
Kendati
Kota Solo telah mengalami perubahan fisik kotanya, namun beberapa bagian kota
masih memperlihatkan sebuah kawasan yang terhitung tua. Kawasan lawas tersebut di antaranya adalah
kawasan Loji Wetan. Kawasan Loji Wetan ini terletak di Kelurahan Kedunglumbu,
Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kawasan ini
berada di sebelah timur Benteng Vastenburg, dan tidak begitu jauh dari Pasar Gedhe Hardjonagoro. Kawasan Loji Wetan juga bertempat dekat dengan KratonKasunanan Surakarta Hadiningrat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, kawasan merupakan daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu, seperti tempat tinggal, pertokoan, industri, dan sebagainya. Sedangkan, loji berasal dari kata loge (bahasa Belanda), yaitu kantor dagang Belanda atau markas VOC. Walaupun sewaktu didirikan pada perkiraan tahun 1830-an, gedung-gedung tersebut tidak semata-mata digunakan sebagai tempat pertemuan, tetapi juga sebagai tempat tinggal maupun gudang. Adapun kata wetan merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa yang maknanya menunjukkan arah mata angin, yaitu timur.
Jadi
pengertian dari judul tulisan ini merupakan suatu daerah yang memiliki kekhasan
bangunan-bangunan besar yang berada di sebelah timur Benteng Vastenburg. Orang
Jawa menyebut rumah Belanda tersebut sebagai loji, sehingga kawasan permukiman
orang-orang Belanda tersebut dinamakan dengan Loji Wetan.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan beberapa peraturan di wilayah Surakarta, seperti penempatan penduduk, peraturan dalam perdagangan, pendidikan, dan lain-lain. Peraturan tersebut terkait dengan adanya perbedaan etnis yang ada, khususnya di Surakarta yang memiliki beberapa ras penduduk seperti Jawa, China, Arab, Belanda-Eropa, dan Bombay (India, Pakistan, Bangladesh). Mereka terbagi dengan penempatan wilayah di Surakarta kala itu. Loji Wetan sebagai pemukiman bangsa Eropa, kawasan sekitar Pasar Gedhe untuk etnis China dan kawasan Pasar Kliwon untuk orang-orang Arab serta pribumi. Pembagian permukiman ini di samping untuk memperlihatkan strata sosial, juga untuk memudahkan Pemerintah Hindia Belanda memantau Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dalam mengatur masyarakatnya.
Riesky Maharani dalam skripsinya yang berjudul ‘Perubahan Tata Ruang Kawasan dan Keragaman Fasade Bangunan Kolonial di Kawasan Loji Wetan’ (2007) menjelaskan, pada kawasan Loji Wetan yang berada di belakang Benteng Vastenburg merupakan tempat berlangsungnya kinerja pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Pemerintah Hindia Belanda menata pembagiannya dengan mendirikan Benteng Vastenburg yang digunakan sebagai kantor pemerintahan, sedangkan perumahan untuk pegawai pemerintahan Hindia Belanda di belakang Benteng Vastenburg di mana permukiman tersebut dilengkapi dengan sarana dan prasarana seperti poliklinik, gudang senjata, dan sekolah yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan.
Kartu
pos terbitan tahun 1900 yang berjudul ‘Bloemstraat’
memperlihatkan keadaan Loji Wetan pada waktu itu (Olivier Johannes, 2015). Pada
permukiman tersebut terdapat sebuah jalan yang bersuasana tenang. Jalan yang
kini bernama Jalan Sungai Barito, pada zaman Hindia Belanda dikenal dengan Bloemstraat yang berarti Jalan Tepung.
Dinamakan demikian, karena dulu di dekat lokasi ini terdapat pabrik ragi yang
dalam prosesnya didahului dengan menumbuk beras menjadi tepung.
Di kedua sisi jalan tampak rumah dari awal abad ke-19 dengan tiang-tiang bergaya Indische Empire yang sebenarnya terlalu tebal untuk mengangkat teritisan yang relatif ringan. Selain itu, ada juga rumah dengan tiang besi atau gantungan atap besi berlengkung yang lebih modern. Bentuk bangunan kolonial tersebut terlihat megah dan kokoh.
Pada
kartu pos tersebut juga terlihat bahwa di tengah permukiman Loji Wetan pada
saat itu terdapat ‘Toko kakak-beradik Haye, keperluan rumah tangga dan barang
mewah, tempat termurah’ (Toko Gebs Haije,
Huishoudelijkt en Luxe Artikelen Goedkoopste Adres). Toko inilah yang
menerbitkan kartu pos tersebut.
Ketenangan
suasana yang dipotret dalam kartu pos tersebut, akhirnya hilang setelah pasukan
tentara Jepang menduduki Surakarta pada tahun 1942. Penghuni permukiman Loji
Wetan menjadi interniran. Mereka yang tertangkap dimasukkan ke dalam kamp
interniran dan disiksa, sedangkan yang bisa menyelamatkan diri dari tangkapan
pasukan Jepang umumnya melarikan diri dengan kembali ke negeri Belanda.
Sehingga akhirnya kawasan Loji Wetan sempat mengalami kekosongan dan tak
terurus. Baru setelah Indonesia merdeka, kawasan tersebut mulai tampak nadi kehidupannya
kembali. Hanya saja, penghuninya sudah tidak seperti dulu lagi melainkan
berganti ke penghuni warga pribumi maupun warga Tionghoa.
Perubahan kepemilikan ini sedikit banyak juga akan mempengaruhi perkembangan di kawasan Loji Wetan, karena itu banyak terjadi perubahan dan beralih fungsi. Bangunan yang menghadap ke barat atau ke arah Benteng Vastenburg dulunya merupakan lokasi permainan seperti biliar maupun kawasan kuliner yang sekarang telah berubah menjadi kawasan pertokoan.
Semula
di kawasan Loji Wetan ini terdapat sekitar 150 bangunan bercorak Kolonial, akan
tetapi pada saat ini hanya masih sekitar 75 bangunan yang masih tersisa (Riesky
Maharani, 2007: 1). Dari sisa tersebut, ada bangunan yang mengalami perubahan
dalam bentuk fasade, keadaan rumah yang ditinggalkan pemiliknya, dan ada juga
bangunan yang berubah fungsi tetapi masih tetap mempertahankan keaslian
bangunannya serta ada juga yang telah mengalami perubahan secara menyeluruh.
Seiring
dengan usulan pelabelan sebagai kawasan kota lama Solo, kawasan kompleks
Benteng Vastenburg mulai dibersihkan dan dibenahi sebagai bentuk penyelamatan
kawasan cagar budaya. Di seputar kawasan kompleks Benteng Vastenburg ini juga
masih ada heritage kampung Belanda
Loji Wetan juga perlu adanya upaya pelestariannya. Sementara ini, kawasan Loji
Wetan terlihat sepi baik pada waktu siang hari maupun malam hari. Sakingnya
sepinya, pancaran kemegahan kampung tua Belanda Loji Wetan seolah-olah juga
turut tertelan dengan ‘kesunyian’ kampung tersebut. Perlu adanya greget untuk
menghidupkan kembali suasana kampung Belanda tempo doeloe. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengangkat kawasan Loji
Wetan sebagai destinasi heritage yang
moncer di Kota Solo. *** [280517]
Kepustakaan:
Raap,
Olivier Johannes. (2015) Kota di Djawa
Tempo Doeloe, Jakarta, KPG
https://dok.joglosemar.co/baca/2014/06/11/loji-wetan-bekas-wilayah-elite-eropa.html
Maharani,
Riesky. (2007). Perubahan Tata Ruang dan Keragaman Fasade Bangunan Kolonial di
Kawasan Lojiwetan. Diunduh dari: http://eprints.ums.ac.id/15277/2/Bab_1.pdf (29
Juni 2017)
http://kbbi.web.id/kawasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar