Jalan
Slamet Riyadi merupakan jalan utama yang berada di Kota Surakarta, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Kota Solo. Sebagai jalan utama, Jalan Slamet
Riyadi memiliki riwayat yang panjang. Diawali dari keinginan untuk membuka
jalur yang menghubungkan Semarang dan Solo, Pemerintah Hindia Belanda berusaha
membangun sebuah jalan besar di Solo. Jalan besar tersebut membujur dari arah
barat menuju ke timur sekitar 5 kilometer panjangnya. Jalan tersebut setelah
diresmikan penggunaannya diberi nama Wilhelminastraat
(Jalan Wilhemina). Penamaan jalan tersebut untuk menghormati ratunya yang
berada di negeri Belanda, yaitu Ratu Wilhelmina. Kemudian jalan tersebut
semakin tersohor ketika di sepanjang jalan tersebut dibangun pula sebuah jalur
kereta api dari Purwosari menuju ke Sangkrah. Sejak itu, jalan tersebut
berganti nama menjadi Poerwosarieweg
(Jalan Besar Purwosari), dan sekarang dikenal dengan nama Jalan Slamet Riyadi.
Sebagai
jalan lawas, jalan tersebut memiliki
kisah yang menarik dengan segala geliat kehidupan yang ada di sepanjang jalan
tersebut. Jalan tersebut merupakan ruang strategis yang dimanfaatkan Pemerintah
Hindia Belanda untuk membangun simbol kekuasaan kolonialnya. Itu sebabnya, di
sepanjang jalan tersebut banyak berdiri bangunan lawas yang menghiasinya. Salah satunya adalah Rumah Dinas Wali Kota
Surakarta. Rumah dinas ini terletak di Jalan Brigjend Slamet Riyadi No. 261
Kelurahan Penumping, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi rumah dinas ini berada di sebelah barat Stadion Sriwedari, atau sebelah
timur Solo Grand Mall.
Bangunan Rumah Dinas WaliKota Surakarta ini awalnya merupakan rumah tinggal milik Johannes Augustinus Dezentje (1797-1839) yang dibangun pada tahun 1830. Dezentje, atau yang akrab dipanggil dengan nama Tinus ini adalah seorang pionir perkebunan Belanda pertama di wilayah Surakarta dan juga dikenal sebagai tuan tanah di Ampel, Boyolali (de legendarisch Solose planter en landheer van Ampel). Ia memiliki lahan perkebunan seluas 1275 hektar, yang membentang dari lereng Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.
Ia
adalah anak laki-laki dari pasangan August Jan Casper Dezentje (1765-1826) dan
Johanna Magdalena Kops (1776-1852). Ayah Tinus adalah seorang pengawal Raja
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan pangkat letnan. Pada 1816, Casper
Dezentje menyewa tanah apanage milik
Kasunanan yang membentang dari Salatiga, Ampel hingga Boyolali, dari hasil
mengumpul gajinya sebagai seorang perwira tersebut. Tanah apanage inilah yang kemudian diwariskan kepada Tinus.
Setelah
dewasa, Tinus menikah Johanna Dorothea Boode pada 23 Oktober 1814, dan kemudian
bertempat tinggal di rumah yang sekarang menjadi Rumah Dinas Wali Kota
Surakarta bersama anak-anaknya. Selang dua puluh satu tahun kemudian, Tinus
menikah lagi dengan Raden Ayu Tjondro Koesoemo, seorang putri dari Kasunanan
Surakarta Hadiningrat. Pernikahannya diadakan di Kraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat, dan pada saat pernikahan, Raden Ayu Tjondro Koesoemo diberi nama
baptis Sara Helena (Bosma & Raben, 2008: 108). Setelah menikah, Tinus
dengan Raden Ayu Tjondro Koesoemo menetap di Ampel. Kediaman Tinus di Ampel
menyerupai rumah bangsawan Kasunanan, yaitu berupa Dalem yang ada pendoponyo bak kadipaten. Anak-anak mereka umumnya
diberi inisial A pada awalan namanya, seperti Arnold, Alexander, Adrian,
Alphonse, Augustinius, dan Annipelma.
Sebagai pengusaha perkebunan yang terkemuka di zamannya, Tinus sering mengadakan pesta ala Eropa di rumahnya yang berada di Solo pada saat perayaan-perayaan khusus maupun pada saat akhir pekan. Tamu-tamu yang diundang dalam pesta tersebut bukan hanya berasal dari kalangan orang Eropa saja melainkan juga para kerabat Kraton. Pada pesta tersebut, biasanya para tamu diajak berdansa bersama pasangannya masing-masing dengan diiringi alunan musik, yang konon sampai terdengar di sekitarnya. Karena sering digunakan untuk pesta dansa tersebut, orang-orang Jawa yang berada di sekitar tempat tinggal Tinus menyebut acara pesta tersebut sebagai gandrungan.
Kata
gandrungan berasal dari bahasa Jawa
yang mempunyai kata dasar gandrung. Gandrung ini artinya sangat rindu akan
kasih, tergila-gila karena asmara, atau mendambakan seseorang. Jadi, gandrungan yang dimaksud adalah orang
yang sedang kasmaran. Sehingga, orang-orang Eropa yang sedang berdansa
berpasangan tersebut di mata orang Jawa, sebagai orang yang sedang gandrung. Akhirnya, lambat-laun rumah
besar milik Tinus tersebut dikenal dengan Loji Gandrung. Kata loji sendiri
artinya rumah yang besar, bagus dan berdinding tembok. Aslinya dari bahasa
Belanda, loge. Namun setelah
diucapkan oleh orang Jawa menjadi loji.
Loji
Gandrung ini memiliki luas bangunan 3.500 meter persegi yang berdiri di atas
lahan seluas 6.295 meter persegi, dan mempunyai gaya arsitektur Indis. Katas
‘Indis’ bermula dari Nederlandsch Indie
atau sering disebut dengan Indisch saja,
yang artinya Hindia Belanda. Arsitektur Indis ini lahir dari munculnya budaya
Indis, yaitu perpaduan antara budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal
(Jawa). Wujud dari akulturasi budaya inilah yang kemudian menciptakan
arsitektur bergaya Indis.
Sepeninggal
Tinus, bangunan Loji Gandrung ini ditinggali oleh keturunan Tinus dari istri
pertamanya yang bernama Johanna Dorothea Boode. Pada waktu terjadi pendudukan
Jepang atas Solo, bangunan Loji Gandrung ini juga sempat dijadikan markas bagi
pimpinan pasukan tentara Jepang yang bertanggungjawab atas wilayah Surakarta.
Peristiwa
penting lainnya yang terjadi di Loji Gandrung adalah bangunan ini pernah
digunakan oleh Kolonel Gatot Subroto sebagai markas untuk menyusun strategi
melawan Belanda pada Agresi Militer II (1948-1949). Kala itu, Gatot Subroto
dipercaya menjadi Gubernur Militer untuk wilayah Surakarta, Semarang, Pati dan
Madiun. Setelah itu, bangunan Loji Gandrung digunakan sebagai markas Militer
Brigade V yang dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi ketika terjadi Serangan Umum
Solo pada 1949.
Pada
waktu meletusnya peristiwa G30S yang dilancarkan oleh PKI, bangunan Loji
Gandrung ini pernah menjadi kamp untuk menginterograsi dan menyiksa para tapol
tersebut.
Peristiwa
demi peristiwa menghiasi bangunan Loji Gandrung ini. Terkadang bangunan menjadi
saksi bisu dari berbagai kejadian di masa lampau. Oleh karena itu, bangunan
Loji Gandrung selain mempunyai nilai arsitektural (ruang, keindahan,
konstruksi, teknologi, dan lain-lain), juga mempunyai sejarah. Makin lama
bangunan tersebut berdiri, makin membuktikan tinggi nilai sejarah dan
budayanya. Sudah sepantasnya bila bangunan Loji Gandrung ini menjadi cagar
budaya dan ikon destinasi heritage
bagi Kota Solo. *** [010517]
Kepustakaan:
Bosma, Ulbe & Raben, Remco: translated by Wendie
Shaffer. (2008). Being “Dutch” in the
Indies: a history of creolisation and empire, 1500-1920. Singapore: NUS Press
Van Bruggen, M.P. & Wassing, R.S. (1998). Djokja Solo: Beeld van de Vorstensteden.
Nederlands: Asia Maior
http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/public/objek/detailcb/PO2016021000503/Loji-Gandrung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar