Sewaktu
diajak ibu-ibu Kader Kepanjen bepergian ke Pantai Batu Bengkung, tanpa sengaja
melintasi sebuah bangunan gereja tua yang memiliki arsitektur yang khas yang
berdiri di tepi jalan raya menuju pantai Balekambang. Gereja tua itu bernama
Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Wonorejo. Gereja ini terletak di Jalan Wonokerto-Bantur, Desa
Wonorejo, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Gereja ini
berada di sebelah timur Mushola Al Hikmah, atau sebelah utara Balai Desa Wonorejo
±
300 m.
GKJW
Jemaat Wonorejo merupakan salah satu gereja
pribumi yang tersebar di wilayah Jawa Timur, dan bersifat sinodal. Munculnya
jemaat di desa ini tidak lepas dari berdirinya Desa Wonoreja sebagai sebuah
Desa Kristen yang berada di wilayah Malang Selatan. Para penduduk bumiputra
pada awal kehadiran Kristen di Malang memiliki peran yang tidak kecil terutama
sebagai pembuka desa. Di Malang Selatan, ketika dilakukan pembukaan desa-desa
baru, biasanya dipimpin oleh seorang bumiputra Kristen. Mereka membuka desa
baru dengan membuka hutan belantara yang tidak dihuni dan memenuhi syarat untuk
dittinggali. Ini terjadi pada pembukaan hutan yang kemudian menjadi Desa
Kristen Wonorejo. Wolterbeek (dikutip dari Shinta Dwi Prasasti, 2012: 36)
menyebutkan “nalika taoen 1884 wonten
tijang ingkang sami wiwit mbabad wana wonten ing Wonoredjo prenahipun ing
tenggeran sakidoelipoen Swaroe, tjelak doesoen onderdistrict Bantoer”.
Dalam sejarah Desa Wonorejo dijelaskan bahwa orang yang berperan dalam melanjutkan babad alas ialah Kyai Trunasemita. Ia adalah putra kedua Ki Ibrahim Tunggul Wulung, tokoh bedhah krawang (babad alas) komunitas Wonorejo, asal dari Juwana, Pati, yang sempat bertapa di lereng Gunung Kelud, dan memeluk agama Kristen sejak dibaptiskan pada 6 Juli 1857 di bawah asuhan Pendeta J.E. Jellesma (Pasamuwan Mojowarno-Jombang).
Kyai
Trunasemita bersama Jakubus Mangun dan Eprajim membuka hutan untuk dijadikan
lahan pertanian dan permukiman di daerah Wonorejo. Ketiga orang itu merupakan
pelopor penduduk bumiputra yang menjadi pembuka desa tersebut. Keberadaan
perintis desa memiliki arti penting dalam kehidupan sosial budaya desa
tersebut. Para perintis desa memang pada tahap selanjutnya juga bisa menjadi
pemimpin desa, yang kemudian membawa desa itu menjadi desa Kristen yang
memiliki basis ekonomi pertanian.
Langkah selanjutnya setelah pembukaan desa bagi jemaat Kristen adalah pengasuhan jemaat. Kurangnya jumlah pendeta Zending dan sikap antipasti zendeling pada bumiputra membuat salah seorang zendeling yaitu Jellesma tertarik untuk mendidik penduduk bumiputra menjadi pekabar Injil untuk masyarakat mereka. Pendidikan ini membuahkan hasil para guru Injil yang nantinya biasa memegang peran penting pada tiap jemaat Kristen yang baru terbentuk. Di desa-desa Kristen, penduduk bumiputra memiliki peran juga sebagai guru Injil. Begitu juga dengan Wonorejo, menurut Wolterbeek (dikutip dari Shinta Dwi Prasasti, 2012: 38) “Ingkang dados panoentoen kawitan ing ngrikoe poenika goeroe Indjil Rasidin.”
Pada
awal berdirinya desa Kristen posisi guru Injil memang kerap berhubungan dengan pembuka desa. Kedua posisi ini dipegang
oleh dua orang yang berbeda. Namun posisi pemimpin desa setelah masa jabatannya
habis bisa juga menjadi guru Injil pada desa yang sama.
Setelah komunitas Kristen mulai terbentuk di Desa Wonorejo, jemaat mulai memikirkan untuk mendirikan sebuah tempat ibadah atau gereja. Tempat ibadah merupakan salah satu sarana yang penting dalam proses penyebaran suatu agama. Begitu juga kehadiran desa Kristen di Wonorejo, juga diikuti dengan keberadaan tempat ibadah, sekalipun semula dalam kondisi keterbatasan dana dan bahan.
Awalnya,
tempat ibadah komunitas Kristen di desa itu berada di rumah tetua jemaat.
Kemudian gereja di Desa Wonorejo telah mengalami dua kali perpindahan lokasi
hingga di lokasi yang sekarang ini. Sayangnya, pembangunan gereja seperti yang
tampak sekarang ini tidak ada catatan resmi yang menjelaskan secara rinci.
Diperkirakan pembangunannya dilakukan setelah pendirian terlebih dahulu gereja
di Swaru (3 Desember 1912), karena di sejumlah literatur yang ada, perkembangan
GKJW di daerah Malang diawali di Swaru (1857), Peniwen (1880) dan disusul
Wonorejo-Bantur (1887).
Dilihat
dari fasadnya, bangunan GKJW Jemaat Wonorejo memiliki gaya arsitektur bangunan
gereja yang ada di Eropa pada umumnya. Beratap limasan dengan kemiringan. Hanya
saja tidak ada porch ruang masuk pintu utama, yang ada porch di bagian belakang gereja.
Pintu
utama terletak di bagian depan di sisi kiri dan kanan. Pintunya lumayan tinggi,
dan di atasnya terdapat lengkungan. Sedangkan, letak jendela berderet pada dinding sisi kiri dan
kanan dari bangunan yang simetris ini. Perletakan jendela yang cukup tinggi ini
mempunyai fungsi sebagai sirkulasi udara agar udara yang berada di dalam gereja
tidak terlalu kering, sehingga kesejukan tetap terjaga.
Yang
menarik lagi dari bangunan gereja ini, di bawah gevel terdapat tulisan dengan
menggunakan aksara Jawa yang berbunyi: “Allah
Ingkang Murbeng Wisesa Kaluhuran Aswata”, yang artinya Allah yang mempunyai
kebijaksanaan dan hikmat adalah sumber kebaikan hidup. Maka, harapannya dengan
berdirinya gereja itu, diharapkan jemaat Wonorejo memuliakan nama-Nya. *** [050817]
Kepustakaan:
Prasasti, Shinta Dwi. (2012). Peranan Penduduk
Bumiputera Dalam Proses Penyebaran Agama Kristen di Malang Tahun 1857-1931. Bulletin Narasimha No. 5/V/2012, hal. 36-43
http://desawonorejo2.blogspot.co.id/2014/07/sejarah-desa-wonorejo.html
http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel044E0D9CB8C7E8E91C8F7B9F9C7747B0.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar