Sewaktu menunggu dijemput ibu-ibu kader Kepanjen yang terlebih dahulu berada di Kota Blitar, saya pun menunggu di Alun-Alun Kota Blitar. Hal ini dilakukan agar mudah menemukannya, karena keberadaan alun-alun di suatu daerah pasti mudah dikenali.
Sambil menunggu jemputan, saya pun berusaha berkeliling di sekitaran alun-alun itu. Pada saat mengelilingi alun-alun di sebelah timur, saya melihat bangunan lawas dan luas. Ukurannya tampak muka dari bangunan kuno itu seimbang dengan ukuran lebar yang dimiliki oleh alun-alun itu.
Bangunan lawas itu merupakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIB Blitar. Lapas ini terletak di Jalan Merapi No. 2 RT. 04 RW. 02 Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur. Lokasi Lapas ini berada di sebelah timur Alun-Alun Kota Blitar.
Menurut catatan sejarah yang ada, bangunan lapas ini didirikan pada tahun 1881 oleh pemerintah Hindia Belanda setelah alun-alun selesai dibangun. Dulu, masih bernama Rumah Penjara Blitar atau dalam bahasa Belandanya, De Gevangenis in Blitar lag aan de zuidkant van de alon-aloon (Penjara di Blitar berada di sisi selatan alun-alun).
Dalam tata letak alun-alun, diterapkan sebuah pakem Catur Tunggal yang juga digunakan oleh daerah-daerah lain di wilayah Jawa Timur seperti Lumajang, Probolinggo dan Jember, yakni dikelilingi oleh kediaman penguasa pada bagian utara, penjara pada bagian timur, kantor pemerintahan pada bagian selatan, dan masjid pada bagian barat. Jadi, penjara atau lapas umumnya berada di sebelah timur alun-alun. Bagi pemerintah Hindia Belanda, lokasi penjara yang demikian itu juga memungkinkan untuk mempermudah garis koordinasi antara penguasa dengan tempat tahanan.
Dalam laporannya Holterman yang termuat di Rapport internering Blitar (Laporan internal Blitar) dijelaskan, bahwa pada masa kepemimpinan A. Badal kondisi penjara kurang baik. Asupan nutrisi untuk para tahanan sangat sedikit. Selnya berjubel melebihi kapasitas. Hal ini juga diceriterakan oleh Walraven ketika berkesempatan mengunjungi penjara yang ada di sebelah timur alun-alun itu, bahwa penjara itu ‘jelek’.
Dalam perjalanannya, bangunan penjara yang memiliki luas 6.070 m² ini pernah mengalami beberapa kali perubahan nama. Di awali dari nama Rumah Penjara Blitar (1881-1964), kemudian berganti menjadi Lembaga Pemasyakatan Blitar (1964-1995), dan pada 1995-2003 bangunan itu berganti nama menjadi Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIB Blitar. Selajuntnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.05.PR.07.03 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003, bangunan peninggalan Hindia Belanda berubah nama lagi menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Blitar. Oleh karena itu, bangunan tersebut sekarang dikenal dengan Lapas Klas IIB Blitar.
Lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat melaksanakan pembinaan narapidana, dan anak didik pemasyarakatan, termasuk juga dengan apa yang dilakukan oleh Lapas Klas IIB Blitar ini. Lapas ini juga melaksanakan tugasnya dengan melakukan pembinaan narapidana/anak didik, memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja, dan melakukan bimbingan sosial/kerohanian narapidana/anak didik. Hal ini bertujuan agar supaya para narapidana atau anak didik pemasyarakatan setelah bebas bisa menjalani hidupnya secara ‘normal’ kembali. *** [100718]
Sambil menunggu jemputan, saya pun berusaha berkeliling di sekitaran alun-alun itu. Pada saat mengelilingi alun-alun di sebelah timur, saya melihat bangunan lawas dan luas. Ukurannya tampak muka dari bangunan kuno itu seimbang dengan ukuran lebar yang dimiliki oleh alun-alun itu.
Bangunan lawas itu merupakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIB Blitar. Lapas ini terletak di Jalan Merapi No. 2 RT. 04 RW. 02 Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur. Lokasi Lapas ini berada di sebelah timur Alun-Alun Kota Blitar.
Menurut catatan sejarah yang ada, bangunan lapas ini didirikan pada tahun 1881 oleh pemerintah Hindia Belanda setelah alun-alun selesai dibangun. Dulu, masih bernama Rumah Penjara Blitar atau dalam bahasa Belandanya, De Gevangenis in Blitar lag aan de zuidkant van de alon-aloon (Penjara di Blitar berada di sisi selatan alun-alun).
Dalam tata letak alun-alun, diterapkan sebuah pakem Catur Tunggal yang juga digunakan oleh daerah-daerah lain di wilayah Jawa Timur seperti Lumajang, Probolinggo dan Jember, yakni dikelilingi oleh kediaman penguasa pada bagian utara, penjara pada bagian timur, kantor pemerintahan pada bagian selatan, dan masjid pada bagian barat. Jadi, penjara atau lapas umumnya berada di sebelah timur alun-alun. Bagi pemerintah Hindia Belanda, lokasi penjara yang demikian itu juga memungkinkan untuk mempermudah garis koordinasi antara penguasa dengan tempat tahanan.
Dalam laporannya Holterman yang termuat di Rapport internering Blitar (Laporan internal Blitar) dijelaskan, bahwa pada masa kepemimpinan A. Badal kondisi penjara kurang baik. Asupan nutrisi untuk para tahanan sangat sedikit. Selnya berjubel melebihi kapasitas. Hal ini juga diceriterakan oleh Walraven ketika berkesempatan mengunjungi penjara yang ada di sebelah timur alun-alun itu, bahwa penjara itu ‘jelek’.
Dalam perjalanannya, bangunan penjara yang memiliki luas 6.070 m² ini pernah mengalami beberapa kali perubahan nama. Di awali dari nama Rumah Penjara Blitar (1881-1964), kemudian berganti menjadi Lembaga Pemasyakatan Blitar (1964-1995), dan pada 1995-2003 bangunan itu berganti nama menjadi Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIB Blitar. Selajuntnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.05.PR.07.03 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003, bangunan peninggalan Hindia Belanda berubah nama lagi menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Blitar. Oleh karena itu, bangunan tersebut sekarang dikenal dengan Lapas Klas IIB Blitar.
Lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat melaksanakan pembinaan narapidana, dan anak didik pemasyarakatan, termasuk juga dengan apa yang dilakukan oleh Lapas Klas IIB Blitar ini. Lapas ini juga melaksanakan tugasnya dengan melakukan pembinaan narapidana/anak didik, memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja, dan melakukan bimbingan sosial/kerohanian narapidana/anak didik. Hal ini bertujuan agar supaya para narapidana atau anak didik pemasyarakatan setelah bebas bisa menjalani hidupnya secara ‘normal’ kembali. *** [100718]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar