The Story of Indonesian Heritage

Jembatan Gladak Perak

Menemani kawan yang sedang mengurus perizinan di Lumajang, memberikan pengalaman adventure tersendiri. Berangkat dari Kepanjen pagi dan sampai di Lumajang siang hari. Waktu tempuh perjalanan sebenarnya sekitar 2,5 jam dengan ritme kecepatan yang standar lewat jalur selatan, namun karena beberapa kali singgah perjalanannya pun memakan waktu 4 jam.
Jalur selatan ini dikenal dengan kelokan-kelokan jalan yang menantang. Dari satu bukit ke bukit lain, dari satu lembah ke lembah lain. Di kiri ada tebing, dan di kanannya terdapat jurang. Meski demikian, pada saat melewati kelokan yang cukup ekstrim seringkali dibarengi dengan pesona pemandangan yang menawan. Perjalanan jadi tak menjemukan kendati pantat terasa panas.


Setelah berada pada km 88 dari arah Malang, Anda akan menjumpai sebuah jembatan yang bernama Jembatan Besuk Kobo’an, namun masyarakat setempat lebih mengenal dengan Gladak Perak. Gladak artinya jembatan, dan perak menunjukkan warna cat pada jembatan itu. Dinamakan demikian karena dulunya jembatan ini acap memantulkan cahaya warna perak yang menyilaukan jika terkena pantulan sinar matahari.
Akhirnya, Gladak Perak menjadi sebutan yang disematkan pada jembatan yang melintas di atas sungai Besuk Sat yang mengalirkan muntahan material atau lahar Gunung Semeru. Letak Gladak Perak ini berada pada rangkaian jalur berliku kawasan perbukitan Piket Nol. Jembatan yang membentang sekitar 130 meter ini merupakan pemisah antara Kecamatan Pronojiwo dan Kecamatan Candipuro, keduanya merupakan kecamatan yang ada di Kabupaten Lumajang.


Ada dua jembatan yang membentang, yang pertama yakni Gladak Perak yang dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda dari tahun 1925 sampai dengan tahun 1930, dan sekarang sudah tidak digunakan lagi karena kondisinya yang kurang memadai untuk arus lalu lintas. Yang kedua adalah jembatan yang dibangun dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2001 dengan menggunakan struktur beton.
Pada masa Agresi Militer Belanda I tahun 1947, Gladak Perak pernah diledakkan oleh Zeni Pioneer untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda dari Malang masuk ke Kabupaten Lumajang. Peledakan yang sempat memutuskan Gladak Perak itu, kemudian dibangun kembali pada tahun 1951-1952.


Dulu, sebelum dibangun jembatan yang baru, jembatan Gladak Perak inilah yang menjadi penghubung dua kota, yaitu Lumajang dan Malang kalau kita mengambil jalur selatan. Karena jembatan Gladak Perak sudah tua, sempit dan besinya karatan, dibangunlah jembatan baru. Tapi kalau untuk jalan-jalan atau naik sepeda, jembatan ini masih cukup aman.
Keunikan jembatan Gladak Perak bila dilihat dari jembatan baru, menjadikan jembatan itu sekarang menjadi tujuan lokasi untuk mengambil gambar atau foto selfie. Terlebih lokasinya yang diapit oleh tebing dengan sungai di bawahnya yang curam, memberikan pesona tersendiri bagi yang gemar memotret.


Kondisi ini menjadikan sekitar jembatan itu kemudian tumbuh menjadi kawasan ekonomi yang hidup. Di ujung jembatan baru, bermunculan warung-warung makan dan minum. Lalu, kawasan ini berkembang dan menjadi lokasi rest area yang menyenangkan. Karena selain bisa beristirahat sambil minum kopi di tengah hawa yang sejuk, juga ditambah pemandangan indah di sekitar jembatan Gladak Perak.
Kawasan perbukitan Piket Nol sendiri merupakan suatu tempat tertinggi di jalur selatan Jawa dengan ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Dari Piket Nol ini, apabila cuaca cerah kita bisa melihat pemandangan indah puncak Gunung Semeru, dan bahkan juga bisa melihat hamparan laut selatan. Dulu semasa kolonial Belanda, jalur ini difungsikan sebagai tempat pemeriksaan angkutan yang membawa hasil bumi dan dikontrol langsung oleh tentara kolonial Belanda. Karena pos tersebut jarang dijaga, maka nama Piket yang berarti menjaga dan Nol yang berarti kosong, menjadi sebuah nama hingga sekarang.
Selain itu, sungai Besuk Sat yang berada di bawah Gladak Perak seakan juga turut memperkaya kisah yang ada di sekitar jembatan tua itu. Dalam papan yang terpampang di ujung jembatan baru diterangkan bahwa sungai Besuk Sat memiliki panjang 16.000 km dengan lebar rata-rata 22 m. Debit maksimum 7.000 m³/dt, dan debit minimum 4.650 m³/dt. Sungai Besuk Sat berhulu di lereng Gunung Semeru dan bermuara di Laut Selatan.
Konon, sungai ini terbentuk karena adanya aliran lahar yang mengalir dari Gunung Semeru yang membawa banyak material sisa letusan, seperti bebatuan, kerikil, dan pasir. Dari hulu hingga hilir sungai ini akan dengan mudah ditemukan material hasil sisa letusan itu. Akibatnya di area bawah Gladak Perak banyak masyarakat sekitar dan luar yang memanfaatkannya sebagai sumber mata pencaharian, seperti mencari dan menambang pasir yang melimpah di sepanjang sungai tersebut.
Jika Anda berkesempatan melewati jalur selatan Jawa seperti saya ini, cobalah berhenti sejenak untuk menyaksikan keindahan Gladak Perak yang penuh kisah. *** [300718]

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami