The Story of Indonesian Heritage

Stasiun Kereta Api Panarukan

Stasiun Kereta Api Panarukan (PNR) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Panarukan, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas I yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 9 Jember dengan ketinggian +3 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Raya Probolinggo-Situbondo, Dusun Somangkaan, Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Lokasi stasiun ini berada di sebelah tenggara Dermaga Baru Panarukan ± 130 m.
Bangunan stasiun ini merupakan peninggalan kolonial Belanda, yang diresmikan bersamaan dengan dibukanya jalur rel kereta api Kalisat-Situbondo-Panarukan pada 1 Oktober 1897. Pengerjaan jalur rel dan Stasiun Panarukan dilakukan oleh perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), sebagai bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur timur yang kelas 2 (Oosterlijnen-2).

Stasiun Panarukan (Foto: Fachrul Rozi)

Jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan ini terealisir atas inisiatif dari George Birnie, pemilik Naamloze Vennootschap Landbouw Maatschappij Oud Djember (NV LMOD). Birnie berkepentingan untuk mengusulkan pembangunan jalur rel itu kepada Pemerintah Hindia Belanda, ditujukan untuk menunjang pengembangan industri perkebunan tembakau, kopi, tebu maupun indigo yang mulai marak pada awal abad ke-19 di Karesidenan Besuki.
Birnie adalah pemilik perusahaan tembakau terbesar di Jember di bawah naungan NV LMOD. Bisnisnya terus berkembang, dan ia pun mendirikan perusahaan transportasi Panarukan Maatschappij yang menggunakan jalur rel tersebut, dan membuka pergudangan (pakhuis) di sekitar Pelabuhan Panarukan.

Bagian Peron Stasiun Panarukan (Foto: Fachrul Rozi)

Dulu dari Stasiun Panarukan ini terdapat percabangan jalur menuju ke Pelabuhan Panarukan (Panaroekanhaven) sejauh 1 kilometer. Jalur relnya berukuran kecil ketimbang jalur rel Kalisat-Situbondo-Panarukan. Jalur tersebut digunakan untuk mengangkut barang dari dan menuju ke Pelabuhan Panarukan.
Panarukan dahulu pernah ramai dengan gemerlap kehidupan kolonial. Pelabuhan Panarukan menjadi pintu gerbang untuk mengekspor tembakau maupun hasil perkebunan lainnya menuju ke Belanda atau daratan Eropa lainnya. Bahkan, Madoera Stoomtram Maatschappij (MT) juga memanfaatkan Pelabuhan Panarukan untuk mengirim garam dari Kalianget dengan kapal-kapal kecil (Kalianget-Panarukan/haven scheepvaartlijn). Setibanya di Pelabuhan Panarukan, garam-garam itu disimpan di dalam gudang di sekitar pelabuhan untuk selanjutnya didistribusikan ke daerah lain melalui kereta api.

Stasiun Panarukan tampak depan (Foto: Fachrul Rozi)

Pada tahun 1990 jalur rel kecil itu dinonaktifkan seiring semakin sepinya pelabuhan dalam aktivitas bongkar muat barang. Diperkirakan karena mengalami pendangkalan akibat sedimentasi Sungai Sampean, kapal-kapal besar sudah tidak bisa bersandar untuk merapat ke Pelabuhan Panarukan. Sehingga, Pelabuhan Panarukan mulai ditinggalkan, dan dialihkan ke Banyuwangi maupun Surabaya.
Pada tahun 2004 giliran jalur rel Kalisat-Situbondo-Panurakan juga mengalami hal serupa dengan jalur rel kecil tersebut. Imbasnya Stasiun Panarukan ditutup layanannya. Hal ini lantaran prasarana perkeretaapian yang ada telah tua sehingga kalah bersaing dengan moda transportasi angkutan darat lainnya, baik angkutan pribadi maupun angkutan umum.
Dilihat dari jejak relnya terlihat bahwa Stasiun Panarukan memiliki dua jalur rel dengan jalur 1 sebagai sepur lurus. Arah timur laut  menuju ke Pelabuhan Panarukan, dan arah timur menuju ke Stasiun Tribungan.
Dilihat dari bangunannya, Stasiun Panarukan mempunyai kemiripan gaya arsitekturnya dengan Stasiun Situbondo. Namun nasibnya sama-sama terbengkelai. Bangunan stasiunnya dimanfaatkan oleh warga untuk berjulan maupun menjemur ikan. Kumuh dan bau amis. *** [270320]

Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
Sterling Evans, Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s. Edited by Willem van Schendel, Western Historical Quarterly, Volume 48, Issue 3, Autumn 2017, Pages 320–321, https://doi.org/10.1093/whq/whx015
https://gayahidup.republika.co.id/berita/gaya-hidup/travelling/nu9ghn365/semalam-di-pelabuhan-tua-panarukan
http://www.studiegroep-zwp.nl/halten/Halte-13-Trajecten2.htm

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami