Tari
Lawung Ageng merupakan tarian ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I
(1755-1792). Tarian ini menceritakan tentang prajurit yang sedang berlatih
perang dengan menggunakan properti bernama lawung.
Lawung adalah sebuah tombak yang berujung
tumpul.
Mengingat
tari ini bersifat olah yuda, maka
tari ini pada umumnya diperagakan oleh 16 penari pria, yang terdiri atas 2
orang botoh, 4 orang lurah, 4 orang jajar, 4 orang pengampil,
dan 2 orang salaotho.
Dua
orang botoh mengenakan kain parang
barong ceplok gurda, celana cinde, bara cinde, stagen cinde, kamus timang,
sampur cinde, kaweng cinde buntal, kiat bahu candrakirana, kalung sungsun,
sumping mangkara ron dan keris gayaman serta oncen keris.
Empat
orang lurah mengenakan kain parang
barong, celana cinde, bara cinde, stagen cinde, kamus timang, sampur cinde,
kaweng cinde, buntal, kiat bahu nganggrang, kalung sungsun, dan keris branggah
serta oncen keris.
Empat
orang jajar mengenakan kain kawung
ageng ceplok gurda, celana cinde, bara cinde, stagen cinde, kamus timang,
sampur cinde, kaweng cinde, buntal, kiat bahu nganggrang, kalung tanggalan
oren, keris gayaman dan oncen keris, serta klinthing.
Dua
orang salaotho mengenakan kain parang
seling, celana panji putih, kopel kulit, baju beskap biru, kacu, iket lembaran,
dan klinthing.
Tarian
ini merupakan usaha dari Sultan HB I untuk mengalihkan perhatian Belanda
terhadap kegiatan prajurit Kraton Yogyakarta. Karena pada masa itu dalam
suasana perang, Sultan harus mengakui dan tunduk segala kekuasaan Belanda di
Kasultanan Yogyakarta. Ia harus patuh pada segala perintah maupun peraturan
yang telah ditentukan, termasuk olah
keprajuritan. Latihan keprajuritan dengan menggunakan senjata di larang oleh
Belanda. Oleh karena itu, Sultan mengalihkan olah keprajuritan ke dalam bentuk tari yaitu tari lawung. Melalui
tari lawung ini, Sultan berusaha untuk membangkitkan sifat kepahlawanan
prajurit Kraton pada masa perang tersebut. ***
[Diolah dari sumber di Museum
Tekstil Jakarta]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar