Melangkah
ke arah timur setelah selesai melihat-lihat bangunan Bruderan FIC dan SMPN 2
Yogyakarta, Anda akan ketemu dengan bangunan kuno lainnya yang tak kalah
menariknya. Bangunan yang fasadnya memperlihatkan gevel-gevelnya ini dikenal
dengan Kompleks Sekolah Marsudirini. Kenapa dinamakan demikian? Karena di dalam
bangunan sekolah tersebut terselenggara beraneka jenjang pendidikan di bawah
naungan Yayasan Marsudirini Perwakilan Yogyakarta. Jenjang pendidikan tersebut,
meliputi TK Marsudirini (Mater Dei),
SD Marsudirini 1 dan 2, SMP Marsudirini (Maria
Immaculata), dan SMA Marsudirini (Santa
Maria).
Kompleks
sekolah ini terletak di Jalan Panembahan Senopati No. 32 Kampung Yudonegaran
RT. 09 RW. 01 Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi kompleks sekolah ini berada di
sebelah timur SMPN 2 Yogyakarta, atau sebelah barat Vihara Buddha Prabha.
Kehadiran
Kompleks Sekolah Marsudirini ini tidak terlepas dari jasa Monseigneur (Mgr)
Lijnen. Tim Penulis Yayasan Marsudirini dalam bukunya, Kemarsudirinian Buku Siswa X untuk SMA/K Kelas X Semester I & II
(Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010) mengisahkan, Mgr. Lijnen adalah salah
seorang di antara pastor-pastor Belanda yang bertugas di Hindia Belanda.
Mula-mula ia bertugas di Padang lalu dipindahkan ke Semarang menjadi Pastor
Paroki Gedangan. Ia adalah seorang pastor yang mempunyai jiwa sangat sederhana
dan ugahari. Segala kelebihan yang ia miliki digunakan untuk keperluan gereja.
Berkat jasa dan pengorbanannya, Paus Pius I menganugerahinya bintang kehormatan
dan ia berhak memakai gelar Monseigneur.
Sebagai Pastor Paroki Gedangan, ia melihat kesibukan para pengurus panti asuhan Katolik yang sudah bertahun-tahun ada di parokinya. Ia berusaha mendapatkan tenaga, sarana-prasarana untuk meningkatkan perbaikan pendidikan bagi gadis-gadis remaja Hindia Belanda. Maka ia kemudian menghadap Mgr. Franken, Uskup Clophinipi, mohon persetujuan pergi ke negeri Belanda untuk memperoleh rohaniwati yang bersedia mengambilalih tugas mengurusi lembaga panti asuhan Gedangan.
Pada
bulan Januari 1869, Mgr. Lijnen tiba di
negeri Belanda. Ia mengunjungi biara induk Kongregasi Suster-Suster Santo
Fransiskus di Heythuysen Belanda untuk memohon tenaga yang sangat ia dambakan.
Meskipun Moeder Aloysia (pemimpin Susteran OSF) tidak berada di tempat, ia
tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Diceriterakannya secara panjang lebar
tentang tanah Jawa kepada para Suster sambil membangkitkan semangat misioner
mereka. Para Suster mendengarkan ceriteranya dengan penuh semangat.
Beberapa
waktu dibutuhkan oleh Moeder Aloysia dan Dewannya untuk mempertimbangkan secara
matang tentang tempat, jarak, dan situasi yang belum menentu serta
keterpencilan misi Hindia Belanda.
“Saya
tidak akan mengirimkan Suster ke tempat yang tidak dapat diadakan visitasi
secara teratur,” tegas Moeder Aloysia.
Mgr.
Lijnen, seorang misionaris yang tak kenal lelah itu berkata, “Moeder, aku akan
masuk ke kapelmu dan tidak akan keluar sebelum aku mendapat berita bahwa yatim
piatuku diberi beberapa orang Suster.”
Tuhan
mendengarkan doa Mgr. Lijnen. Rencana menjadi kenyataan. Moeder Aloysia merasa
tergerak hatinya untuk menerima tawaran pelayanan kasih di tanah misi.
Pendaftaran secara sukarela segera diumumkan pada pesta pertobatan Santo Paulu
tanggal 25 Januari 1869.
Dua
ratus Suster menyatakan kesediannya untuk dikirim ke tanah misi. Ini merupakan
suatu pernyataan semangat merasul yang sungguh luar biasa. Tuhan benar-benar
berkarya di hati para Suster untuk memenuhi panggilan-Nya. Sepuluh Suster
dipilih untuk diutus. Nama-nama mereka diumumkan pada Hari Raya Santo Yosef
tanggal 19 Maret 1869. Mereka adalah Moeder Alphonsa Houben sebagai pemimpin,
Sr. Marina Deideren, Sr. Aurelia van de Pas, Sr. Lucie Porten, Sr. Yosepha
Wisink, Sr. Plechelma Scholten, Sr. Odilia Ten Pol, Sr. Antonine Reuner, Sr.
Nicoline Yacobe, dan Sr. Suzanna Broam. Mereka berasal dari beberapa komunitas.
Tidak
terbayangkan, betapa besar keberanian dan kebanggaan mereka. Berani
meninggalkan tanah air dan segala yang mereka cintai, bangga karena boleh
menjadi perintis karya misidi tempat yang sungguh sangat jauh. Para Suster
dengan rela dan berani berkelana demi Tuhan. Para Suster misionaris ini
dipersiapkan dengan menjalani masa persiapan selama 6 bulan. Mereka mengikuti
retret penyegaran selama 10 hari. Perpisahan dengan para Suster diadakan secara
sederhana, akrab, dan mengesankan.
Pada
tanggal 4 September 1869, Mgr. Lijnen mempersembahkan Perayaan Ekaristi Agung meriah.
Moeder Aloysia, Moeder Celestine, dan Sr. Stanislas mengantar kesepuluh Suster
misionaris ke Wisma Keuskupan di Roermond untuk mendapatkan berkat perjalanan
dari Mgr. Paredis, Uskup di Roermond. Perjalanan diteruskan ke Rotterdam.
Perayaan Ekaristi terakhir di tanah air tercinta dipersembahkan oleh Mgr.
Lijnen di Gereja Jesuit di Rotterdam. Dalam khotbahnya ia mengucap syukur
kepada Tuhan atas segala anugerah yang dilimpahkan kepada 10 Suster misionaris.
Anugerah istimewa itu telah memungkinkan para Suster untuk dengan berani
menempuh kehidupan baru di tanah misi yang jauh. Mereka adalah tenaga tangguh
dan terpercaya yang dapat diandalkan untuk menjadi alat penyalur kasih Tuhan
bagi anak-anak yatim piatu di Semarang.
Setelah para misionaris bersiap diri untuk berangkat ke tanah misi Hindia Belanda, kapal Jacoba Cornelia juga telah siap di pelabuhan untuk mengangkut para misionaris. Jacoba Cornelia adalah nama sebuah kapal layar besar. Kira-kira pukul 13.00 kapal Jacoba Cornelia meninggalkan Roterdam.
Dengan
penuh rasa haru dan bangga para sanak keluarga dan para Suster mengantar para
misionaris. “Selamat tinggal tanah airku yang tercinta, selamat tinggal
orangtua, sanak keluarga, sahabat dan teman sepanggilan. Kedamaian telah
kauberikan kepadaku. Iman, harapan, dan cinta telah kautanamkan dalam diriku.
Kini aku meninggalkan semuanya untuk selamanya. Tuhan berkatilah semua yang
telah berjasa dan telah mencintai saya”. Demikianlah ungkapan hati mereka
sampai daratan menghilang dari pandangan mereka.
Perjalanan
awal lancar, cepat, dan tenang. Mereka mengalami angin ribut pada tanggal 9
September 1869, namun masih dapat teratasi dengan baik. Tetapi sehari kemudian,
kapal diangkat dan dipukul ombak ganas. Tanggal 12 September 1869, kapal Jacoba
Cornelia diserang badai yang sangat dahsyat. Semua penumpang tak putus-putusnya
berdoa penuh kepercayaan mohn belas kasihan Tuhan untuk terhindar dari bahaya.
Kapal Jacoba Cornelia mengalami kerusakan berat. Situasi menjadi sangat
mengkhawatirkan. Semua berdoa, mempersembahkan kurban hidup mereka kepada Tuhan
jika memang itulah yang menjadi kehendak Tuhan. Tuhan mendengarkan doa mereka
semua. Angin dapat beralih dan kapal dapat diputar.
Pada
tanggal 13 September 1869, kapal Jacoba Cornelia tiba di Ramsgate. Setelah
situasi agak tenang, Moeder Alphonsa menulis surat ke Belanda menceriterakan
semua yang telah mereka alami secara rinci.
Beberapa
waktu kemudian Moeder Alphonsa menulis surat lagi dan menceriterakan keadaan
Sr. Suzanna yang sakit radang paru-paru karena kedinginan. Kemudian disusul
berita telegram yang menyatakan bahwa Sr. Suzanna sakit keras dan tidak dapat
ikut berlayar lagi. Menanggapi berita itu dengan segera Moeder Aloysia
berangkat ke Ramsgate bersama Sr. Cunigonde Iding untuk menggantikan Sr.
Suzanna. Sesampainya mereka di Ramsgate, mereka menemukan Sr. Suzanna telah
sehat dan siap berlayar. Sr. Cunigonde merasa kecewa. Maka Moeder Aloysia
memutuskan keduanya boleh berangkat.
Pada
tanggal 20 Oktober 1869, kapal Jacoba Cornelia meneruskan perjalanannya ke Hindia
Belanda. Perjalanan lancar. Pada tanggal 21 Januari 1870 para awak kapal sudah
dapat melihat pantai Pulau Jawa dan Sumatera dari kajauhan. Pukul 23.00 , kapal
Jacoba Cornelia berlabuh di pantai pelabuhan Bapa Nicolas. Perjalanan
dilanjutkan keesokan harinya tanggal 22
Januari 1870 pukul 4 pagi. Udara segar dan angin sepoi-sepoi mengiringi
perjalanan mereka. Kira-kira pukul 11.00, kapal Jacoba Cornelia berlabuh di
Batavia.
Kesebelas
misionaris menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah misi Hindia Belanda.
Mereka dijemput oleh Pastor Moersel dan dibawa dengan trem ke Biara Ursulin.
Dengan ramah para Suster Ursulin menerima dan memberikan penginapan kepada para
misionaris.
Setelah
beberapa hari beristirahat di Batavia, para Suster meneruskan perjalanan mereka
ke Semarang. Mereka tiba di pelabuhan Semarang pada tanggal 5 Februari 1870
pukul 01.00. Mgr. Lijnen segera diberitahu tentang kedatangan para Suster. Pada
keesokan harinya, pagi-pagi buta tanggal 6 Februari 1870 ia menjemput para
Suster di kapal Jacoba Cornelia lalu menghadap Mgr. Claessen. Penuh keramahan
dan kebahagiaan ia menyambut para Suster. Ucapan selamat datang dan perkenalan
pertama diwarnai oleh rasa syukur dan terima kasih disertai harapan semoga para
Suster dapat membaktikan diri mereka dengan sebaik-baiknya demi kepentingan
anak-anak yatim piatu di Semarang.
Kedatangan
para Suster di Hindia Belanda pertama kali memang bertujuan untuk mendidik dan
memelihara anak-anak yatim piatu. Sejalan dengan perubahan waktu, aktivitas
para Suster tidak lagi hanya dalam rumah yatim piatu. Ketika jumlah anak yatim
piatu semakin menurun karena diambil oleh orangtuanya, maka karya para Suster
diarahkan ke dunia pendidikan, kesehatan, dan sosial. Untuk menangani dunia
pendidikan, para Suster mulai membuka sekolah-sekolah, seperti karya para
Suster OSF di Yogyakarta. Pada tanggal 1 April 1902 para Suster mulai membuka
Taman Kanak-Kanak (Froebelschool)
dengan 12 murid dan 18 anak putri untuk belajar jahit menjahit dan pekerjaan
tangan. Kemudian para Suster tersebut membuka Sekolah Dasar pada 1 Juli 1902
yang dinamai Leeshool.
Pada
tanggal 19 April 1904, diadakan upacara peletakan batu pertama pembangunan
kompleks biara dan ruang-ruang sekolah. Kemudian pada tanggal 8 Desember 1904
bangunan biara dan sekolah yang baru diberkati dan diberi nama Maria School (Sekolah Santa Maria). Pada
tanggal 28 Juni 1920 dibuka pendidikan Sekolah Dasar Interamata yang kelak
menjadi cikal bakal SD Marsudirini.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 1952, yang menyatakan bahwa
sekolah-sekolah harus dikelola oleh satu yayasan, maka pada awalnya
sekolah-sekolah yang telah didirikan oleh para Suster OSF yang berkarya di
Yogyakarta bernaung di bawah Yayasan Kanisius. Tetapi agar tidak membebani
Yayasan Kanisius dengan urusan-urusan tambahan, pada tahun 1954 dibentuklah
Yayasan Marsudirini yang bertugas mengelola dan membina sekolah-sekolah. Nama
Marsudirini berasal dari gabungan kata Mar,
Su, Di, Ri, dan Ni. Mar
merupakan singkatan dari Maria, Su kependekan dari Suci, Di
singkatan dari Dyah, Ri merupakan kependekan dari
Rinumpaka, dan Ni adalah singkatan dari Niskala. Sehingga, bila kata-kata
gabungan tersebut menjadi satu rangkaian kata, yaitu Marsudirini, mempunyai
makna Maria Perawan Berhiaskan Kemurnian.
Bangunan
Kompleks Sekolah Marsudirini bergaya arsitektur Indis dengan fasad yang khas
berupa gevel. Bangunan ini menghadap ke utara dan memanjang dari timur ke
barat. Bentuk pintu dan jendela menggunakan krepyak dengan model daun pintu dan
jendela ganda (kupu tarung).
Bagian
bangunan yang digunakan sebagai biara atau Susteran adalah bagian tengah.
Bangunan ini cukup tinggi dan di bagian atapnya terdapat salib. Denah bangunan
ini kalau dilihat atas tampak berbentuk salib.
Bangunan
Kompleks Sekolah Marsudirini sampai sekarang masih berfungsi seperti pada awal
dibangun, dan telah ditetapkan sebagai bangunan warisan budaya berdasarkan
Surat Keputusan (SK) Walikota Yogyakarta Nomor 798/Kep/2009. *** [160815]
Kepustakaan:
https://books.google.co.id/books?id=NP6pO_3YIeIC&pg=PA17&lpg=PA17&dq=suster+osf&source=bl&ots=N7waOh_KQ1&sig=Y0su35Sg9_1VbYJLUrPWm1RwN78&hl=id&sa=X&ved=0CBgQ6AEwATgUahUKEwiV76ue-9jlAhWSkY4KHb0dAnU#v=onepage&q=suster%20osf&f=false
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/2014/06/23/selayang-pandang-kompleks-sekolah-marsudirini/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar