Kesempatan
melihat sebuah klenteng di Kota Yogyakarta, berlangsung pada waktu penulis
selesai melakukan pertemuan dengan salah seorang Dosen Psikologi dari UI di
Prawirotaman (16/08). Pulangnya dari Prawirotaman, penulis sengaja melakukan
jalan kaki menuju Stasiun Yogyakarta karena memang berkeinginan menjajal backpacker dalam rute tersebut. Salah
satu bangunan kuno yang dijumpai adalah sebuah klenteng tua yang memiliki
arsitektur khas Tiongkok. Klenteng tersebut dikenal dengan nama Vihara Buddha
Prabha.
Vihara
ini terletak di Jalan Brigjend Katamso No. 3 Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan
Gondomanan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi vihara
ini berada di sebelah timur Kompleks Sekolah Marsudirini, atau tepatnya berada
di selatan perempatan lampu merah Gondomanan.
Menurut
catatan yang disimpan oleh pengelola klenteng, Vihara Buddha Prabha ini mulai
dibangun pada tanggal 15 Agustus 1900 dan selesai pada tahun 1907 atas usaha
seorang mantan Mayor Tionghoa bernama Yap Ping Liem, di atas tanah hibah yang
diberikan pada tahun 1845 oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V yang memerintah untuk kedua kalinya dari
tahun 1828 hingga 1855. Hibah tersebut memang dimaksudkan untuk membangun rumah
ibadah bagi masyarakat Tionghoa yang bermukim di Yogyakarta.
Awalnya nama bangunan vihara ini adalah Hok Tik Bio, yaitu tempat kebaktian bagi Hok Tik Sin yang oleh orang Tionghoa dipercaya sebagai Dewa Bumi. Namun, pada masa Orde Baru berkuasa, nama klenteng yang berbau Tiongkok diganti namanya menjadi Vihara Buddha Prabha. Karena pada waktu itu hanya terdapat lima agama resmi yang diakui oleh pemerintah, sehingga unsur Buddha yang tetap diizinkan untuk digunakan.
Vihara
Buddha Prabha yang memiliki lahan seluas 1.150 m² ini menghadap ke barat dan
dikelilingi oleh halaman yang cukup luas. Bangunan vihara ini berdenah persegi
panjang, yang terdiri atas ruang utama di tengah, ruang sisi utara, ruang sisi
selatan, dan ruang belakang, sedangkan di tengah-tengah bangunan vihara
terdapat pelataran terbuka. Ciri utama dari vihara ini adalah atapnya berbentuk
Ngang San dengan bubungan yang kedua ujungnya melengkung ke atas. Atapnya
dihiasi dengan dua patung naga berekor tegak ke atas yang sedang mengapit bola
api. Bola api ini merupakan simbol dari mutiara milik Sang Buddha. Dalam
tradisi Tionghoa, naga melambangkan kekuatan dan perlindungan, sedangkan bola
api melambangkan kesucian.
Pada
dinding, pilar, dan bagian lain dari bangunan vihara ini, terdapat banyak
lukisan atau ukiran berlatarbelakang budaya Tiongkok dengan berbagai ragam
hias. Pada ruang utama vihara ini terdapat beberapa altar sembahyang lengkap
dengan patungnya. Altar yang berada di tengah ruangan merupakan altar pemujaan
bagi Buddha Gautama, Dhyani Bodhisatva Avalokiteswara, Prajna-Paramita, dan
Maitreya. Selain itu juga terdapat altar untuk memuja Hok Tik Cing Sin, Day
Yang Sing Kun, Day Ing Poo Sat, Kong Tik Coen Ong, dan Thian Siang Sing Bo yang
merupakan Dewa Utama dalam Taoisme.
Pada
ruang samping kiri terdapat altar untuk pemujaan bagi Hiang Thian Siang,
sedangkan di ruang samping kanan terdapat altar untuk memuja Kwan Tee Koen dan
Kong Hu Cu. Di ruang belakang terdapat altar untuk melakukan persembahan kepada
tokoh-tokoh Buddha yang dilambangkan dalam patung-patung berukuran kecil yang
menggambarkan Buddha Gautama, Dhyani Buddha Amitabha, Bhaisajyaguru Buddha,
Dhyani Bodhisatva Avalokiteswara dan Maitreya. Di ruang atas yang merupakan
ruang tambahan, terdapat altar untuk Buddha Gautama, Dhyani Buddha Amitabha,
Bhaisajyaguru, Ananda, dan Sariputra.
Bangunan
vihara ini merupakan bangunan kuno yang telah terdaftar sebagai warisan budaya
dan heritage tertanggal 26 Maret 2007
berdasarkan Surat Perintah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007, dan di halaman depan vihara juga telah dipasangi
papan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal
Kebudayaan yang menunjukkan bahwa bangunan vihara ini merupakan cagar budaya
yang dikenal luas oleh masyarakat Yogyakarta sebagai Klenteng Gondomanan. *** [160815]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar