Museum
Khusus Sunan Drajat, atau yang selanjutnya disebut Museum Sunan Drajat saja
merupakan salah satu Museum Daerah yang terdapat di Provinsi Jawa Timur, dan
merupakan satu-satunya museum yang berada di Kabupaten Lamongan untuk saat ini.
Museum ini terletak di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan,
Provinsi Jawa Timur. Lokasi museum ini berada di lingkungan makam Sunan Drajat,
atau tepatnya berada di sebelah timur cungkup
makam Sunan Drajat.
Museum
ini mulai dibangun pada tahun 1991, dan selesai pada tahun 1992. Diresmikan
oleh Gubernur Jawa Timur pada 1 Maret 1992, dan mulai berfungsi pada 30 Maret
1992. Ide awal mendirikan museum ini diprakarsai oleh Bupati Kabupaten
Lamongan, H.R. Mohamad Faried, S.H., untuk menghormati jasa-jasa Sunan Drajat
sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan, dan sekaligus
untuk melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah peninggalannya,
keluarga, dan para sahabatnya yang berjasa untuk penyiaran agama Islam. Itulah
kenapa dinamakan Museum Khusus, karena koleksi museum ini terdiri dari kumpulan
bukti material manusia atau lingkungannya yang berkaitan dengan dakwah Sunan
Drajat.
Bangunan
Museum Sunan Drajat cukup sederhana. Atapnya menunjukkan gaya arsitektur joglo
Jawa Timur, namun bagian ruangannya sudah berdinding tembok semua. Ruangannya
tidak terlalu luas dan tidak bersekat sehingga semua koleksi museum ini berada
dalam satu ruangan.
Memasuki museum ini, pengunjung akan langsung menatap sebuah bedug besar yang diletakkan di tengah ruang pamer museum ini. Lantainya yang digunakan untuk meletakkan bedug tersebut berbentuk oktagonal, sehingga pengunjung diharapkan akan mengikuti pajangan koleksi yang ada di museum ini. Bedug adalah alat bunyi yang terbuat dari kayu dan kulit, yang digunakan sebagai tanda waktu melaksanakan ibadah shalat bagi umat Islam. Bedug ini dibuat oleh Pangeran Wonotirto, keturunan Sunan Drajat ke III sekitar abad ke-17.
Setelah
bedug, pengunjung akan melihat-lihat koleksi museum ini searah jarum jam.
Pajangan pertama setelah bedug, pengunjung akan menemukan koleksi Fragmen Unsur
Bangunan Masjid Sendang Duwur. Menurut legendanya, masjid Sendang Duwur adalah
pemberian Mbok Rondo Mantingan dari Jepara kepada Raden Nur Rahmat (Sunan
Sendang) sekitar abad 15. Konon, pemindahannya hanya memerlukan waktu satu
malam.
Koleksi
berikutnya adalah Keramik Asing. Keramik merupakan salah satu komoditi
perdagangan sejak zaman dahulu. Dari sumber berita Tiongkok abad ke-10 – 18,
dapat diketahui bahwa masyarakat Jawa pada saat itu sangat menggemari keramik.
Jenis yang banyak ditemukan adalah guci, mengkok, vas bunga, sloki, piring, dan
sebagainya. Di depan keramik ini, ada koleksi Kitab Amhjah dan Naskah Lontar.
Kitab Amhjah berisi tentang sejarah dan hikayat 25 Rasul pilihan Allah SWT.
Kitab yang berbahan kulit ini biasanya digunakan oleh sahabat Sunan Drajat
untuk mengajar mengaji para pengikutnya. Sedangkan, naskah lontar yang ada
terbuat dari lontar dan kayu. Naskah lontar ini memakai huruf Jawa baru, dan
berisi Serat Yusuf dalam bentuk tembang macapat.
Lanjut ke pajangan koleksi berikutnya adalah Gamelan Singo Mengkok, Peralatan Kentrung, dan Alat Woro-woro. Gamelan Singo Mengkok merupakan seperangkat gamelan sebagai syiar agama Islam di daerah Paciran. Dahulu para sahabat Sunan Drajat mengiringi tembang Pangkur (Panguti Isine Al-Qur’an) ciptaan Sunan Drajat pada abad ke-16. Ukiran Singo Mengkok adalah ukiran berupa wujud singa yang duduk dengan sikap siap menerkam. Kesenian ini adalah sebuah akulturasi dari budaya Hindu Buddha dan Islam, mengingat masyarakat sekitar adalah pemeluk agama Hindu. Agar mudah diterima masyarakat sehingga gamelan tersebut dinamakan Singo Mengkok sebagai lambang kearifan, kelembutan, nafsu dan kesempurnaan manusia.
Peralatan
kentrung yang dipamerkan berupa terbang dan jedor. Pada zaman dahulu, peralatan
ini digunakan untuk media dakwah penyebaran agama Islam, yaitu sebagai
pengiring pesan atau tutur. Biasanya
menceriterakan kisah Nabi-Nabi serta ceritera yang ada di dalam kitab suci
Al-Qur’an. Sedangkan, alat woro-woro
adalah alat yang digunakan oleh santri Sunan Drajat dalam mengabarkan sesuatu
atau memberi pengumuman, sesuai yang terpajang dalam museum ini adalah kentongan dan bende.
Koleksi
berikutnya adalah genta gantung, jadug,
batik Drajat, dan tombak. Genta gantung merupakan salah satu perlengkapan
upacara dalam agama Hindu atau Buddha. Genta ini ditemukan di Desa Candisari,
Kecamatan Sambeng, pada 6 November 1991, dan terbuat dari bahan perunggu.
Sebelum agama Islam masuk ke Paciran, masyarakatnya masih banyak yang memeluk
agama Hindu sehingga penemuan genta ini merupakan hal yang lumrah. Jadug, atau cuplek adalah tempat lampu ublik
(pelita) yang digunakan untuk penerangan mengaji Sunan Drajat.
Batik
Drajat adalah rangkaian motif dan perlambang flora dan fauna yang mempunyai
makna hubungan vertikal dan horisontal. Motif batik Drajat terdiri atas bunga
teratai, burung garuda, singa, mahkota dan kubah masjid. Sulur bunga teratai
atau lotus, di dalam mitologi Jawa Kuno atau dalam khasanah budaya pra Islam
memiliki makna lambang kelanggengan atau keabadian, kesucian, dan kebangkitan
kembali. Burung garuda, dalam ekspresi budaya Jawa merupakan penggambaran salah
satu dari delapan sifat kepemimpinan, yang biasa disebut dengan Asta Brata. Asta Brata ini merupakan ajaran keutamaan yang bijaksana, lebih
mementingkan jagad (negara) di atas
kepentingan pribadi. Binatang singa, dalam mitologi setempat dipenuhi atau
diilhami sifat kebijaksanaan sebagai penangkal watak dan perilaku jahat.
Sedangkan, mahkota dan kubah masjid melambangkan kekuasaan jagad atau negara
serta simbol dan perlambang keesaan Tuhan.
Tepat
di depan batik Drajat, atau di belakang bedug, terdapat koleksi beberapa
pusaka, seperti tongkat, pedang suduk bliring wedok, dan mata tombak. Tongkat
yang dipamerkan dalam museum ini terdiri atas tongkat yang terbuat dari besi
dan yang terbuat dari bahan kayu. Tongkat ini umumnya digunakan oleh santri
pengikut Sunan Drajat pada waktu menyebarkan agama Islam.
Melangkah
lagi usai menikmati koleksi pusaka, pengunjung bisa menyaksikan kayu pagar
pacak suci, kursi goyang kuno, padupan,
kotak botekan, genteng sirap, sangku,
pipisan, ukiran kayu, dan jadug panjang. Kayu pagar pacak suci merupakan bagian
dari pagar yang ada di depan makam Sunan Drajat yang terbuat kayu. Kursi goyang
merupakan salah satu peninggalan Sunan Drajat yang digunakan pada saat
istirahat. Kursi ini bahannya dari kayu jati, dan dibuat pada abad ke-14.
Koleksi padupan yang dimiliki museum
ini terbuat dari tanah liat, yang dipergunakan untuk tempat membakar dupa pada
saat berlangsung acara Maulud Nabi sehingga ruangan berbau harum. Sedangkan, sangku peninggalan Sunan Drajat terbuat
dari tembaga sebagai alat takaran beras Sunan Drajat dalam membagikan zakat
fitrah pada hari raya Idul Fitri. Pipisan
merupakan alat perlengkapan rumah tangga yang digunakan untuk menumbuk racikan
jamu.
Selain
itu, pada outlet pajangan yang sama terdapat makna filosofis tujuh sap tangga
menuju makam sitihinggil Sunan Drajat. Sap tangga kesatu adalah memangun resep teyasing sasomo (kita
selalu membuat senang hati orang lain. Jroning
suku kudu eling lan waspodo, merupakan makna filosofis pada sap tangga
kedua, yang artinya dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada.
Makna filosofis sap tangga ketiga adalah laksitaning
subroto tan nyipto marang pringgo bayangin lampah, yang berarti dalam
perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala
bentuk rintangan. Sap keempat adalah memper
harsaning pancadriya, yang bermakna kita harus elalu menekan gelora
nafsu-nafsu.
Heneng-hening-henung, merupakan filosofi
kelima yang memiliki makna bahwa dalam keadaan diam kita akan memperoleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur.
Sap tangga keenam berbunyi mulyo guno
panca waktu, yang artinya suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita
capai dengan shalat lima waktu. Dan, sap tangga ketujuh atau sap yang terakhir
berbunyi menehono teken marang wong kang
wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang
wudo, dan menehono ngiyup marang wong
kang kudanan. Artinya, beri ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakan
kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan orang yang tidak punya
malu, dan berilah perlindungan orang yang menderita.
Setelah
ini, pengunjung akan menemui koleksi keramik asing lagi yang di depannya
terdapat pajangan koleksi kitab Al-Qur’an yang dibuat pada zaman Sunan Drajat
pada abad ke-16, dan ditulis tangan. Kitab yang terbuat dari kulit domba ini,
dulu digunakan oleh Sunan Drajat untuk mengajar mengaji para sahabat dan
pengikutnya.
Koleksi
yang dipamerkan berikutnya adalah koleksi batu, koin, keramik, dan fosil.
Koleksi batu yang ada, meliputi batu relief, lumpang, dan batu bencet. Koleksi
koin berupa mata uang Tiongkok yang berjumlah sekitar 423 yang terbuat dari
perunggu. Koleksi keramik pada pajangan ini, terdiri atas fragmen gerabah,
fragmen kerang, dan guci atau tempayan. Sedangkan, pada koleksi fosil
kebanyakan adalah fosil kerang.
Usai
koleksi ini, pengunjung bisa mengakhiri dalam melihat-lihat koleksi yang
dimiliki oleh Museum Sunan Drajat ini, dan keluar dari ruang pamer tersebut
melalui pintu yang sama, yaitu pintu utama museum.
Kehadiran
Museum Sunan Drajat ini merupakan langkah baik yang telah diciptakan oleh Pemerintah
Kabupaten Lamongan dalam menghormati kulturnya, dan sekaligus untuk
menyelamatkan warisan budaya bendawi yang ada di Kabupaten Lamongan. *** [071115]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar