Kabupaten
Lamongan mempunyai beberapa sumberdaya arkeologi masa Islam yang disakralkan
yang digunakan sebagai destinasi wisata religi. Hal ini tidak terlepas dari
adanya aktivitas penyebaran agama Islam di Lamongan yang dilakukan oleh Mbah
Banjar, Mbah Mayang Madu, Sunan Drajat, dan Sunan Sendang Duwur.
Namun
diakui, sumberdaya arkeologi masa Islam di Lamongan masih terpusat pada kompleks
dan makam Sunan Drajat. Makam ini terletak di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi makam ini berada di sebelah
barat Museum Sunan Drajat.
Sunan
Drajat adalah salah seorang putra Sunan Ampel dari perkawinannya dengan Nyi
Ageng Manila atau dikenal juga dengan Dewi Condrowati, yang lahir pada tahun
1470 Masehi. Sewaktu masih kecil, ia dikenal sebagai Raden Qosim. Raden Qosim
menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampel
Denta, Surabaya dengan mengaji kepada ayahandanya yang sekaligus juga gurunya. Setelah
dewasa, Raden Qosim diperintah oleh ayahandanya, Sunan Ampel, untuk melakukan
dakwah di pesisir barat Gresik, yaitu daerah kosong dari ulama besar antara
Tuban dan Gresik, dan sekaligus membantu Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu dalam
menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Dikisahkan,
Raden Qosim mulai perjalanannya dengan biduk nelayan dari Gresik sesudah ia
singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanannya ke arah barat tersebut, perahu
yang ditumpangi Raden Qosim terdapat lima awak perahu yang siap
mengantarkannya. Menurut kepercayaan yang dianut oleh lima awak kapal tersebut,
Laut Jawa yang dilayarinya itu mempunyai Dayang yang mbaureksa (menguasai dan mengatur) atau yang berkuasa adalah Dewa
Baruna.
Oleh karena, para awak perahu yang juga nelayan itu harus memberi sesaji dan menyebarkan bunga yang semerbak bau wanginya agar laut bersahabat baik terhadap para nelayan dan memberi hasil yang berlimpah-limpah. Melihat hal itu, Raden Qosim menjelaskan hal itu semua menurut ajaran Islam terutama pengertian mengenai Sang Hyang Widi. Pada penjelasan ini, Raden Qosim memperkenalkan perihal Tuhan Yang Maha Esa, dan sekaligus mengajarkan bagaimana caranya sembah bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan melalui menjalankan rukun Islam. Raden Qosim mulai menjelaskan siapa yang tidak percaya dan menghina Tuhan Yang Maha Esa akan mendapatkan malapetaka.
Pada
waktu Raden Qosim menjelaskan di perahu yang ditumpangi, awak perahu merupakan
nelayan yang bengal dan tidak percaya kepada uraian Raden Qosim tersebut.
Mereka malah mencemooh penjelasan Raden Qosim, dan pada pencomoohan yang
terakhir tergoncanglah perahu tersebut. Isi perahu tercerai berai dan para
penumpangnya terlempar ke laut. Kelima awak perahu timbul tenggelam
dipermainkan ombak dan terkatung-katung dibawa ombak yang tak tentu arah.
Mereka terheran-heran melihat Raden Qosim yang selalu berbicara tentang Tuhan
Yang Maha Esa dan sebagai orang daratan yang tidak bisa berenang serta belum
pernah melihat lautan malah selamat dari permainan ombak tersebut.
Raden
Qosim atas pertolongan Allah SWT, ditolong oleh ikan hiu yang diiringi ikan
talang langsung menuju pantai. Dengan naik punggung ikan tersebut, ia selamat
mencapai pantai dan mendarat di suatu kelompok perumahan. Di perkampungan
tersebut, Raden Qosim disambut dengan antusias oleh orang kampung beserta tetua
kampung bernama Mbah Mayang Madu yang didampingi oleh Mbah Banjar, dan untuk
sementara Raden Qosim tinggal di rumah pemangku kampung yang bernama Mbah
Mayang Madu. Perkampungan ini merupakan rumah-rumah para nelayan, yang menurut
ceritera rumah-rumah tersebut berjumlah 17 rumah dalam keadaan yang sangat
menyedihkan atau memprihatinkan karena sangat sederhana sekali dan pedukuhan
ini dinamai Jelak.
Selang lima hari sejak kedatangan Raden Qosim, perkampungan tersebut menjadi gempar karena ada lima orang terdampar dalam keadaan yang menyedihkan di tepi pantai. Ternyata mereka adalah awak perahu yang pernah ditumpangi Raden Qosim. Lalu, mereka ditolong penduduk setempat dan setelah keadaannya berangsur baik serta tahu kalau di tempat itu juga ada orang yang mendarat di tempat yang sama dengan menunggangi ikan hiu, maka mereka bersama-sama berusaha menemui Raden Qosim di rumah Mbah Mayang Madu. Setelah bertemu dengan Raden Qosim, bersimpuhlah mereka dan meminta ampun serta bertobat. Orang kampung yang melihatnya merasa heran dan terperanjat setelah mendapat keterangan bahwa Raden Qosim adalah seorang ulama penyebar agama baru, yaitu Islam.
Selama
menetap di Kampung Jelak, Raden Qosim dinikahkan dengan Kemuning, putri Mbah
Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qosim mendirikan sebuah surau untuk mengumpulkan
orang-orang kampung, mengajari agama Islam, dan beribadah. Surau tersebut
akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk, dan diberi nama
Pesantren Sunan Drajat.
Kampung
Jelak yang semula hanyalah sebuah dusun kecil dan terpencil, lambat laut
berkembang menjadi kampung yang besar dan ramai. Namanya pun berubah menjadi
Banjaranyar. Kemudian, selang tiga tahun tinggal di Jelak, Raden Qosim berusaha
mencari tempat sebagai pusat kegiatan dakwahnya ke arah selatan, sekitar satu
kilometer dari Jelak. Pencarian tempat baru ini didasari pertimbangan mencari
tempat lebih tinggi yang menurut kepercayaan masyarakat pada waktu merupakan
tempat yang sakral atau disucikan, dan tentunya terbebas dari banjir pada musim
hujan.
Setelah
mendapat izin dari Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka
lahan baru di daerah perbukitan di selatan, Raden Qosim pun dengan dibantu oleh
sejumlah muridnya yang ada di Kampung Jelag melakukan babat alas (membuka hutan belantara) yang dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Alhasil,
lahan seluas 9 hektar yang dibuka tersebut dibuatlah permukiman serta padepokan
yang digunakan untuk tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada
penduduk. Dari atas bukit tersebut, Raden Qosim menghabiskan waktunya dalam
menjalankan dakwahnya. Dari sinilah orang-orang menamakannya dengan istilah Kadrajat, yang artinya kederajatan Raden
Qosim menjadi bertambah tinggi. Ihwal itulah, yang kemudian daerah tersebut
terkenal dengan sebutan Drajat, dan akhirnya menjadi nama desa hingga sekarang.
Sedangkan, Raden Qosim yang menjadi cikal bakal membuka lahan tersebut dan
akhirnya mengajarkan Islam di daerah tersebut diberi gelar nama baru sebagai
Sunan Drajat, dan sekaligus menjadi salah satu Wali Songo yang menyebarkan
agama Islam di Pulau Jawa.
Dalam
berdakwah, Sunan Drajat menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat setempat
pada waktu itu. Untuk mengajak masyarakat setempat agar mau berkunjung ke surau
yang didirikannya itu, Sunan Drajat sering melantunkan tembang dengan diiringi
gamelan pada awalnya. Karena pada waktu itu, prasarana yang digemari oleh
masyarakat adalah gamelan dan tembang. Sunan Drajat pun akhirnya menggubah
tembang-tembang yang terkanal dengan tembang Pangkur. Pangkur artinya Pangudi Isine Al-Qur’an. Tembang
tersebut dikumandangkan dengan membeberkan dan menceriterakan segala apa yang
ada dalam Al-Qur’an atau syair-syair yang bersumber dari ajaran Al-Qur’an.
Setelah
menembang, Sunan Drajat selalu memberikan wejangan
baik terhadap masyarakat desa pada umumnya miskin untuk selau memiliki rasa
gotong-royong, rasa persaudaraan dan rasa asih-asuh
serta welas terhadap sesama. Dalam
mewujudkan semua itu, Sunan Drajat mengajarkan sikap kepada penduduk setempat
agar:
Memangun resep teyasing sasomo
(kita selalu membuat senang hati orang lain)
Jroning suko kudu eling lan
waspodo
(di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
Laksitaning subroto tan nyipto
marang pringgo bayaning lampah
(dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli
dengan segala bentuk rintangan)
Meper Hardaning Pancadriya
(kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
Heneng-Hening-Henung
(dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan
hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur)
Mulyo guno Panca Waktu
(suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima
waktu)
Menehono teken marang wong kang
wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang
wudo, menehono ngiyup marang wong kang kodanan
(Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakanlah kehidupan
masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu,
serta beri perlindungan kepada orang yang menderita)
Ajaran-ajaran
yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits tersebut, akhirnya berkembang di
Paciran. Lambat laun, penduduk desa menerimanya dengan suka cita. Biasanya
selepas pulang dari sawah, tegalan maupun lautan bagi yang nelayan akan naik ke
bukit tersebut untuk berguru kepada Sunan Drajat.
Setelah
Sunan Drajat wafat, beliau dimakamkan di dalam lingkungan padepokan atau pondok
pesantren mini yang didirikan di atas bukit tersebut. Bekas pusat dakwah milik
Sunan Drajat inilah yang sekarang dikenal dengan kompleks makam Sunan Drajat,
yang banyak diziarahi oleh masyarakat dari berbagai daerah.
Kepurbakalaan
kompleks makam Sunan Drajat ini keseluruhan bangunannya berlokasi di atas
perbukitan kecil, sedang makam utamanya berada di bagian paling tinggi dan pada
posisi belakang. Peziarah bisa mengunjungi makam tersebut melalui pintu yang
berada di selatan. Bagi yang rombongan naik bis, dari parkir di sisi timur
makam berjalan menuju ke selatan. Sedangkan, bagi pengendara sepeda motor bisa
diparkir tepat di depan pintu masuk makam.
Menuju
makam Sunan Drajat, peziarah akan melewati pintu gapura terbuat dari kayu
berbentuk paduraksa, dengan ukuran
tinggi 170 cm dan lebar 145 cm. Pintu gapura ini dikelilingi pagar-pagar kayu
yang terartur rapi. Kemudian peziarah akan dipandu dengan jalan setapak dan
sejumlah atribut tulisan penunjuk arah.
Selurus
pintu gapura, peziarah akan menemui sebuah pendopo. Pendopo ini berfungsi untuk
tempat melepas sandal atau sepatu bagi para pengunjung yang akan berziarah ke
makam Sunan Drajat. Pendopo ini berukuran panjang 10 meter dan lebar 6 meter.
Di kanan kiri pendopo ini terdapat makam lama yang diperkirakan adalah para
santri Sunan Drajat selama berguru di bukit ini.
Setelah
melewati pendopo, peziarah akan melewati gapura berbentuk candi bentar yang
sudah tidak utuh lagi, dan terbuat dari batu bata. Candi bentar merupakan
bangunan bagian candi yang berbentuk gapura yang terbelah secara sempurna tanpa
penghubung pada bagian atas. Candi bentar telah ditemukan pada masa
Hindu-Buddha, yaitu pada masa Majapahit yang kemudian berkelanjutan pada masa
Islam. Berdasarkan maknanya, candi bentar mempunyai makna antara lain konsep
penciptaan manusia dan sebagai pintu keluar dan pintu masuk menuju tempat yang
dianggap suci atau sakral. Memasuki candi bentar ini, peziarah akan melewati
tujuh tangga.
Di
sebelah timur gapura bentar terdapat balai
rante. Bangunan ini beratap sirap, dan bertiang 6 buah. Keseluruhan balai rante ini terbuat dari kayu.
Konon, balai rante ini berasal dari Kerajaan Majapahit. Dikisahkan, setelah
Kerajaan Majapahit mulai mengalami masa suram, maka tatanan pemerintahan pusat
kacau. Sehingga, banyak merajalela pencurian dan perampokan termasuk hilangnya
dua benda pusaka kerajaan yang dianggap sakral, yaitu balai rante dan bayang
gambang. Beberapa tahun kemudian, benda peninggalan Majapahit tersebut
ditemukan di tepi laut pesisir pantai utara, tepatnya di wilayah Desa
Kemantren, Kecamatan Paciran. Akhirnya penduduk Kemantren menyerahkan balai rante ke Desa Drajat, sedangkan bayang gambang dipelihara dalam kompleks
Masjid Jami’ Desa Kemantren hingga sekarang.
Langkah
peziarah berikutnya adalah tangga yang terbuat dari bebatuan kapur sebanyak 10 undakan atau tangga. Sepuluh tangga ini
diapit oleh gapura berbentuk paduraksa,
namun gapuranya sudah rusak akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1950.
Setelah melewati gapura paduraksa ini, peziarah lanjut mendaki lagi dengan
menaiki 3 undakan (anak tangga). Pada
halaman ini terdapat bangunan berbentuk pendopo joglo yang tinggi dan luas di
mana di tengah-tengahnya terdapat bangunan makam Sunan Drajat berbentuk cungkup yang beratap sirap dengan hiasan
memolo atau mustaka di puncaknya.
Secara
arsitektural, bentuk bangunan makam Sunan Drajat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu cungkup utama dan sitihinggil. Di dalam bangunan cungkup terdapat ruangan, yaitu ruang
dalam tempat makam Sunan Drajat dan isterinya, dan ruang langkan yang berfungsi sebagai tempat berdoa para peziarah.
Jadi,
cungkup yang merupakan bangunan utama
makam Sunan Drajat ini terletak pada halaman paling belakang sebagai bangunan
tersakral. Denah ini mengadopsi sistem punden berundak hasil akulturasi dari
kepercayaan masyarakat sebelumnya, yaitu Hindu dan Buddha, di mana tempat yang
paling tinggi merupakan tempat tersakral.
Setelah
rangkaian nyekar Sunan Drajat paripurna,
peziarah bisa menuju ke arah timut cungkup.
Di situ ada replika surau yang
didirikan oleh Sunan Drajat dan santrinya di lokasi asal surau tersebut. Di sebelah utara surau, terdapat sumur yang konon dibuat oleh Sunan Drajat. Di
sekitaran surau dan sumur ini, udara
terasa sejuk sekali karena adanya pohon beringin besar nan rindang.
Sambil
menuju pintu keluar makam, peziarah akan melewati sebuah museum. Museum
tersebut bernama Museum Khusus sunan Drajat. Dinamakan demikian karena koleksi
yang dipamerkan pada museum tersebut berhubungan dengan Sunan Drajat. Peziarah
bisa masuk ke dalam museum tersebut secara gratis, tapi bila tidak berkenan,
peziarah bisa langsung keluar dari kompleks makam Sunan Drajat karena pintu
keluarnya kebetulan berada di depan museum tersebut.
Pada
pintu keluar ini, peziarah akan menuruni tangga yang kemudian terhubungan
dengan halaman parkir yang sangat luas. Di antara undakan dengan halaman parkir tersebut, terdapat beberapa kios
cindera mata maupun warung makan yang telah disediakan oleh Pemerintah
Kabupaten Lamongan. *** [071115]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar