Atas
informasi dan hantaran dari seorang teman asal Paciran, sampailah kami di
sebuah masjid lawas yang berada di
atas bukit. Dengan menaiki sekitar 25 undakan
(anak tangga), kami memasuki halaman masjid yang berujud paving block atau conblock
sehingga kelihatan bersih dan teratur.
Saat
kunjungan ke masjid tersebut, suasana masjid cukuplah ramai karena kebetulan
akan dilangsungkan shalat jenazah terhadap salah satu warga setempat yang
meninggal karena kecelakaan di daerah Jember dalam perjalanan mengurus sekolah.
Dari niat ingin melakukan shalat dhuhur, harus pending untuk mengikuti rangkaian shalat jenazah dulu.
Kami
pun akhirnya mengambil air wudlu yang lokasinya berada di sebelah kiri. Pada
saat mau masuk masjid, terlihat tulisan Arab berwarna putih dengan background warna hijau yang di pasang di
atas pelisir bangunan sebelum memasuki serambi masjid. Tulisan Arab tersebut
berbunyi Masjid Nur Rahmat Sendang Duwur. Masjid ini terletak di Jalan Nur
Rahmat, Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi
Jawa Timur. Lokasi masjid ini berbatasan dengan rumah penduduk di sebelah
timur, di sebelah barat dan utara berbatasan dengan kompleks makam Waliyullah
Sunan Sendang Raden Nur Rahmat, dan di sebelah selatan dengan pemakaman umum.
Keingintahuan
kami akan riwayat masjid ini, menyebabkan kami harus mengikuti prosesi shalat
jenazah sampai akhir yang kemudian dilanjutkan shalat dhuhur berjamaah dengan
teman yang mengantar saya. Jadi, kami harus berlama-lama sedikit di masjid
tersebut.
Menurut riwayatnya, masjid ini didirikan oleh Raden Nur Rahmat pada tahun 1561 M dengan candrasengkala (kronogram) yang berbunyi Gunaning Sarira Tirta Hayu. Candrasengkala adalah rumusan tahun dengan kata-kata yang setiap kata melambangkan angka, dibaca dari depan dan ditafsirkan dari belakang. Kronogram Jawa ini menggunakan sistem perhitungan bulan. Pembuatan candrasengkala biasanya juga dihubungkan dengan suatu kejadian atau kondisi masyarakat pada waktu itu.
Jadi,
candrasengkala yang ditemukan pada
pahatan dalam masjid Nur Rahmat ini menunjukkan bahwa masa pembuatan masjid
tersebut. Gunaning = 3, Sarira = 8, Tirta = 4, dan Hayu = 1.
Sesuai aturan penafsirannya maka candrasengkala
tersebut berarti tahun 1483 Saka, yang bila dikonversi ke dalam tahun Masehi
menunjukkan tahun 1561. Sedangkan, candrasengkala
tersebut juga menjelaskan bahwa pada waktu itu daerah tersebut sangatlah sulit
air sehingga untuk membangun sebuah masjid haruslah ada air yang cukup untuk
melaksanakan shalat. “Badan manusia akan
selamat kalau dibasuh dengan air.” Artinya, manusia hendaknya senantiasa
berwudlu, terus melakukan shalat jika hidupnya ingin selamat.
Raden
Nur Rahmat lahir pada tahun 1320 M di Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong,
Kabupaten Lamongan. Ia adalah putra Raden Abdul Kohar bin Malik bin Syekh Abu
Yazid Al Baghdadi. Syekh Abu Yazid Al Baghdadi adalah seorang ulama terkenal
yang berasal dari Baghdad (Irak), sehingga Raden Nur Rahmat masih memiliki
darah seorang ulama dari Baghdad.
Pada
saat Raden Nur Rahmat melakukan dakwah di daerah Bukit Tunon, kharisma ulama
muda ini sampai terdengar kepada Sunan Drajat. Sunan Drajat pun akhirnya
berkeinginan menemuinya. Setelah berdialog dan menguji kesaktian Raden Nur
Rahmat, Sunan Drajat merasa yakin akan kemampuan Raden Nur Rahmat dalam
mengajarkan agama Islam di daerah tersebut. Sunan Drajat pun berkenan membantu
Raden Nur Rahmat dengan menunjukkan bahwa di sela bebatuan tersebut terdapat
sumber mata air yang melimpah (membentuk sendang
atau semacam kolam kecil). Setelah itu, Raden Nur Rahmat diberi gelar dengan
sebutan Sunan Sendang oleh Sunan Drajat. Lalu, diperintahkanlah Sunan Sendang
Duwur pergi ke Mantingan, Jepara, untuk membeli Langgar Mbok Rondo Mantingan
(Ratu Kalinyamat) dengan membawa uang sajuta
salebak, artinya pada saat itu uang tersebut hanya berupa nominal uang
lokal pada zaman itu dan tidak bisa dirupiahkan.
Dalam perjalanannya Sunan Sendang berhasil menemui Mbok Rondo Mantingan, dan menyatakan maksud kedatangannya. Namun, mendapat jawaban dari Mbok Rondo Mantingan tersebut bahwa langgarnya tidak dijual dan tidak boleh dibeli. Kemudian Sunan Sendang pulang ke Paciran dengan bersedih karena tugas yang diembannya tidak berhasil.
Suatu
hari Sunan Sendang sedang tertidur. Dalam tidurnya itu, ia didatangi oleh Sunan
Kalijaga dan membangunkannya. Setelah Sunan Kalijaga memberikan nasihat
kepadanya, kemudian Sunan Sendang berangkat lagi ke Mantingan, Jepara, untuk
menemui Mbok Rondo kembali. Pada waktu kunjungan yang kedua ini, ternyata Mbok
Rondo justru berkenan mengabulkan permintaan Sunan Sendang, bahkan tidak usah
dibeli tapi diberikan dengan begitu saja asal Sunan Sendang dapat mengangkat
bangunan itu dan memindahkannya. Sunan Sendang kemudian bermunajat kepada Allah
SWT, dan lalu memboyong langgar dari Mantingan ke Sendang Duwur. Dalam proses
memboyong langgar ke Sendang Duwur itu ada sebuah pintu yang jatuh di Paciran (beberapa
waktu lalu pintu tersebut masih disimpan di Masjid Paciran). Peristiwa tersebut
diabadikan penduduk setempat untuk menamai Desa Paciran, karena secara historis
di lokasi tersebut ada sebagian dari bangunan langgar berupa pacira, seperti ampik-ampik omah (Jawa) yang cicir
(jatuh).
Setelah
langgar milik Mbok Rondo Mantingan tersebut berhasil diletakkan di atas Bukit
Tunon, maka jadilah bangunan langgar seperti aslinya. Langgar tersebut akhirnya
digunakan sebagai tempat untuk mengajarkan Islam di daerah Sendang Duwur.
Ketelatenan Sunan Sendang dalam mengajarkan Islam di daerah tersebut, akhirnya
lambat laun semakin bertambah penduduk setempat yang belajar Islam dan mengaji
di langgar tersebut.
Sepeninggal
Sunan Sendang, langgar tersebut dipelihara dan di rawat para santri yang pernah
berguru kepada Sunan Sendang hingga beranak pinak. Sekarang langgar tersebut
menjadi sebuah masjid yang bernama Masjid Nur Rahmat Sendang Duwur.
Bangunan
masjid ini memiliki atap yang berbentuk tajug
tumpang tiga dengan mustaka di puncaknya. Atap puncak masjid bertutupkan
kayu sirap. Tumpang di bawahnya
menggunakan genteng dan telah terjadi perombakan beberapa kali. Masjid ini
memiliki ruang utama berukuran 16 x 16 m, yang dibatasi oleh empat dinding dari
tembok. Di dalam ruang utama terdapat 17 buah tiang kayu, yaitu empat buah
tiang di tengah-tengah, empat tiang sebelah timur, tiga tiang masing-masing di utara,
barat, dan selatan. Di dalam ruang utama terdapat mihrab, mimbar dan maksurah,
dan dekat pintu masuk ke ruang utama masjid ini terdapat tangga ke tumpang.
Masjid
ini mengalami renovasi dengani timur terdapat s menambah serambi masjid di
sebelah timur, utara, dan selatan. Serambi ini terbuat dari beton. Di dalam
serambi ada dua bedug yang ditopang oleh rangka kayu. Di sebelah timur serambi
masih tersisa lahan untuk halaman masjid yang diberi pagar tralis. Halaman
masjid tersebut ada 3 gentong besar yang separuh badannya ditanam di tanah.
Dulu gentong tersebut digunakan untuk menyimpan air yang akan dipakai untuk
berwudlu. Airnya diambil dari sendang, terus di bawa ke atas, dan dimasukkan
dalam gentong tersebut. *** [071115]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar