Informasi
ini diperoleh tanpa sengaja. Pada waktu kami singgah di pinggir jalan yang ada
dawet siwalan khas pesisir pantura, semula kami ditanya dengan pertanyaan khas
dari daerah. Berasal dari mana, dan mau ke mana? Dari menjawab pertanyaan
tersebut kepada penjual dawet bahwa kami habis dari Makam Sunan Drajat,
terjadilah obrolan ringan. Lalu muncullah informasi dari penjual dawet tersebut
bahwa di Lamongan ini juga terdapat makam Mbah Mayang Madu.
“Mbah Mayang Madu niku moro sepuhipun Sunan
Drajat,” tandas penjual dawet tersebut. Dari situlah naluri keingintahuan
muncul, dan langsung minta diantarkan ke makam tersebut. Makam tersebut
kebetulan tidak jauh dari tempat di mana ia berjualan. Hanya menyeberang jalan
raya, terus melewati lorong yang berada di timur TK Al Mu’awanah sampailah ke
lokasi makam tersebut. Penjual dawet itu kebetulan ingat makam tersebut, karena
beberapa hari yang lalu menghadiri peresmian Situs Makam Mbah Mayang Madu. Makam
ini terletak di Dusun Banjaranyar, Desa Banjarwati, Kecamatan Paciran,
Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Lokasi makam ini berada di sebelah
barat Masjid Jelaq, atau di selatan TK Al Mu’awanah.
Kisah
Mbah Mayang Madu ini bermula dari adanya kapal yang ditumpangi oleh seorang pedagang
muslim asal Banjarmasin pecah terbentur karang dan karam di laut pada tahun
1440-an. Tubuh pedagang itu akhirnya terdampar di tepi pantai Jelaq, dan
kemudian ditolong oleh Mbah Mayang Madu, penguasa kampung Jelaq pada saat itu.
Pedagang tersebut akhirnya dirawat di rumah Mbah Mayang Madu, dan dipersilakan tinggal untuk beberapa saat. Pada waktu tinggal di rumah ketua kampung tersebut, pedagang tersebut terketuk hatinya untuk mengajarkan agama Islam di tengah-tengah kampung nelayan tersebut. Kebetulan pada waktu itu, penduduk kampung nelayan Jelaq pada umumnya masih menganut agama Hindu termasuk Mbah Mayang Madu juga. Pedagang itu mulai berdakwah dan mensyiarkan ajaran Islam kepada penduduk Jelaq dan sekitarnya.
Lambat
laun perjuangan pedagang asal Banjarmasin tersebut mulai membuahkan hasil. Mbah
Mayang Madu yang awalnya beragama Hindu. Dengan melihat kepribadian yang ada
pada pedagang tersebut dalam menyampaikan ajaran Islam, maka Mbah Mayang Madu
akhirnya tertarik untuk masuk agama Islam dan ikut mensyiarkan agama Islam di
daerah Jelaq dan sekitarnya. Karena pedagang muslim tersebut berasal dari
Banjarmasin, maka penduduk setempat akhirnya menyebutnya dengan nama Mbah
Banjar.
Pada
suatu hari, Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu berkeinginan untuk mendirikan
tempat pengajaran dan pendidikan agama agar syiar Islam semakin berkembang,
namun mereka menemui kendala dikarenakan masih kurangnya tenaga edukatif yang
mumpuni di bidang ilmu diniyah. Akhirnya mereka pun sepakat untuk menghadap
Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya. Gayung pun bersambut, Sunan Ampel
memberikan restu dengan mengutus putranya Raden Qosim untuk turut serta
membantu perjuangan kedua tokoh tersebut.
Akhirnya,
Raden Qosim pun berangkat ke Paciran dan singgah sebentar ke tempat Sunan Giri
di Gresik kemudian dilanjutkan berlayar ke Paciran. Kisah pelayaran Raden Qosim
ini serupa dengan yang di alami Mbah Banjar, yaitu mengalami musibah di lautan.
Kapalnya pecah dihantam gelombang, dan akhirnya Raden Qosim diselamatkan oleh
ikan Cucut menuju ke tepi pantai dengan dikawal oleh ikan Talang. Menurut
tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1485 M. Di sana, Raden Qosim
disambut baik oleh Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Raden Qosim kemudian menetap di kampung nelayan Jelaq, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelaq, Raden Qosim mendirikan sebuah surau di suatu petak tanah yang terletak di areal Pondok Pesantren Putri “Sunan Drajat”.
Beliau
pun mengatakan bahwa barang siapa yang mau belajar mendalami ilmu agama di
tempat tersebut, semoga Allah menjadikannya manusia yang memiliki derajat
luhur. Karena doa Raden Qosim inilah para pencari ilmu pun berbondong-bondong
belajar di tempat beliau dan Raden Qosim mendapat gelar Sunan Drajat. Sementara
itu, untuk mengenang perjuangan Mbah Banjar maka dusun yang sebelumnya bernama
Kampung Jelaq diubah namanya menjadi Banyuanyar untuk mengabadikan nama Mbah
Banjar dan anyar sebagai suasna baru di bawah sinar petunjuk Islam.
Setelah
beberapa lama beliau berdakwah di Banjaranyar, maka Raden Qosim mengembangkan
daerah dakwahnya dengan mendirikan masjid dan pondok pesantren yang baru di
Kampung Sentono. Beliau berjuang hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di
belakang masjid tersebut. Kampung di mana Sunan Drajat mendirikan masjid dan
pondok pesantren itu akhirnya dinamakan pula sebagai Desa Drajat.
Awalnya,
makam Mbah Mayang Madu ini sangatlah sederhana. Dipagari dengan susunan batu
kapur, dan di tengah-tengah deretan pagar tersebut terdapat pintu berbentuk
paduraksa untuk menuju batu nisan Mbah Mayang Madu. Yang uniknya, di atas pintu
paduraksa berwarna putih tersebut terdapat ornamen seperti pada atap klenteng.
Namun semenjak peresmian Situs Makam Mbah Mayang Madu pada 11 September 2015,
makam ini memiliki cungkup yang
megah. Atapnya terdiri ata 4 tumpang berbentuk seperti atap pagoda berbahan
genteng, dan ditopang oleh sejumlah tiang terbuat dari beton serta lantainya
terbuat dari keramik. Sedangkan, pada makam Mbah Mayang Madu tertutup oleh
tembok dengan pintu menghadap selatan. Kendati telah direnovasi, kekhasan makam
Mbah Mayang Madu sebagai sebuah makam kuno masih bisa terlihat, terutama dari
pintu gapura paduraksa. *** [071115]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar