Awal
mula pembentukan kota Cakranegara adalah sebagai kota kerajaan Hindu di Pulau
Lombok, yang pada masa itu merupakan koloni Kerajaan Hindu Karangasem di Pulau
Bali. Kota Cakranegara dibangun pada tahun 1691 dan ditata berdasarkan kaidah
kosmologi Hindu-Bali.
Semula
Cakranegara disebut sebagai Kerajaan Singasari yang kemudian berkembang menjadi
Kerajaan Karangasem Sasak. Menjelang akhir tahun 1838, Kerajaan Mataram Lombok
yang berkuasa pada waktu itu menyatukan kerajaan-kerajaan lainnya yang berada
di Pulau Lombok dan memindahkan kota kerajaannya ke wilayah Karangasem Sasak
dan pada tahun 1866 mengganti nama Singasari menjadi Cakranegara.
Cakranegara
sebagai kota kerajaan Hindu di Pulau Lombok, pada masa itu merupakan koloni
Kerajaan Hindu Karangasem di Pulau Bali. Sehingga, kawasan Cakranegara ini
dulunya juga dibangun berdasarkan kaidah kosmologi Hindu-Bali dan pada kondisi
eksisting beberapa cirinya masih dapat dilihat dari kebertahanan artefak kota
dan bangunan cagar budaya ada di dalamnya.
Salah
satu warisan budaya umat Hindu di Lombok yang berupa bangunan pura banyak
terdapat di wilayah Cakranegara, Mataram, Pagesangan, Pagutan, dan sekitarnya.
Pura-pura ini merupakan peninggalan yang memliki nilai penting bagi
perkembangan tradisi dan budaya. Salah satu pura yang menjadi bagian dari
sejarah keberadaan umat Hindu di Lombok adalah Pura Meru Cakranegara.
Pura ini terletak di Jalan Selaparang, Kelurahan Mayura, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi pura ini berada di sebelah selatan Taman Mayura ± 100 meter.
Pura
Meru ini didirikan pada tahun 1720 oleh Kerajaan Singasari yang juga dikenal
dengan Kerajaan Karangasem Sasak. Pembangunan Pura Meru ini, di samping sebagai
sarana kegiatan ritual keagamaan juga bertujuan untuk menjaga persatuan dan
kesatuan di antara penguasa di masing-masing kerajaan kecil yang masih
mempunyai hubungan kekeluargaan.
Pura
Meru memiliki ukuran tapak datar dengan panjang ± 174 meter dengan lebar 51
meter, atau memiliki luas sekitar 8.873 m². Pada tahun 1979 dilakukan
pemugaran, khususnya pada candi bentar dan bale
kulkul yang memberi petunjuk (sepertinya) bentuk dan ragam hiasnya sudah
mendapat penyempurnaan motif pepalihan
dan ukiran Bali menurut Lontar Asta
Kosala Kosali. Adanya pemugaran ini juga sedikit mengubah konsep arah masuk
utama dari luar pura. Yang pada mulanya posisi candi bentar berada pada sumbu
simetri yang sama dengan aksis kori agung,
dulu candi bentar ini dari barat lurus ke Jeroan,
sampai utara begitu pula kedudukan bale
kulkul yang sekarang dibangun pada sudut barat laut halaman terluar pura.
Tapak
(site) Pura Meru memanjang ke arah
timur-barat yang terbagi atas empat bagian peruntukan (mandala) secara berturut-turut, yaitu utama mandala, madya mandala,
nista mandala, dan legar mandala. Antara mandala yang satu
dengan lainnya memiliki perbedaan ketinggian tanah yang dibatasi oleh tembok penyengker sesuai dengan makna tingkat
kesuciannya. Utama mandala berada
pada posisi yang paling tinggi, disusul kemudian makin rendah dari madya, nista sampai legar.
Pada halaman legar mandala terdapat bale kulkul dan candi bentar yang berada di sisi utara (sebelah kanan), rumah penjaga dan toilet. Candi bentar berada di sebelah utara menjulang tinggi memiliki sejenis peletasan yang berada di sisi dinding tembok sebelah utara.
Sebelum
memasuki areal madya, pada as tembok
pembatas antar halaman terdapat gelung
kori, yang di sisi kiri kanannya (dekat paduraksa tembok samping) terdapat pemedal alit, sebelah arca raksasa. Pada
halaman madya ini hanya berjejer dua
buah gugus bangunan, yang disebut dengan bale
petandakan dan bale gong. Di
sekitar bale petandakan dan bale gong, terdapat beberapa pohon
cempaka dan kamboja.
Menuju
ke wilayah utama mandala harus melewati kori
agung yang berada pada as tembok pembatas, yang di sebelah kiri kanannya
juga memiliki pemedal alit. Di utama mandala berjejer tiga buah
bangunan meru bertumpang sebelas sebagai simbol lambang Siwa, bangunan meru
bertumpang sembilan sisi selatan simbol Brahma, dan bangunan meru bertumpang
sembilan sisi utara merupakan simbol Wisnu. Meru tumpang sebelas beratap ijuk,
dan di ruang-ruang di setiap tumpang terbuat dari bahan kayu. Sedangkan, pada
meru bertumpang sembilan menggunakan bahan genteng yang pada list plank-nya menggunakan ring-ring.
Dalam utama mandala selain berjejer
dua buah bangunan meru bertumpang sembilan dan sebuah bangunan meru bertumpang
sebelas, di hadapan bangunan ini juga terdapat tiga buah pelinggih, yaitu padmasana,
ngerurah dan sanggar agung. Ketiganya
tidak beratap, bentuk menyerupai padma dengan
bebaturan berbentuk segi empat
panjang. Pelinggih yang paling kecil
berada di tengah-tengah (ngerurah).
Di depan persimpangan ini terdapat sebuah sumur berdiameter sekitar satu meter,
memiliki dua buah pilar dan sebuah balok yang bertumpu pada kedua pilar tadi.
Di sebelah sumur terletak bale payuman
(tempat banten) bertiang empat yang juga beratap genteng, kemudian di sebelah
selatannya terdapat bale tenget
bertiang enam, digunakan bila menyajikan tari-tarian sakral maka sekaa gong metabuh di sana. Hampir
sepanjang sisi kanan dan belakang area utama
mandala, berjejer sanggar atau persimpangan Ida Bathara yang melinggih.
Semua bangunan yang disebut sanggar ini merupakan gugus bangunan kecil bertiang
enamm terbuat dari kayu di cat putih beratap ijuk. Keseluruhan berjumlah 29
buah, 13 sepanjang sisi utara menghadap ke selatan dan 16 sisi timur menghadap
ke barat, yang berada di belakang bangunan meru. *** [161015]
Kepustakaan:
Joko Prayitno, 2013. Status Pura Meru Cakranegara dalam Perspektif Teologi, dalam Shopia
Dharma Vol. I Edisi Nomor 1 Juli-Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar