Sangiran
telah menyumbang 50 persen dari temuan fosil Homo erectus di seluruh dunia. Sehingga, Sangiran boleh dikata
merupakan ladang penelitian yang hingga kini menuai artefak prasejarah dan
puluhan ribu fosil. Satu demi satu fosil masih terus akan ‘muncul’ di Sangiran.
Situs purbakala Sangiran memiliki jangkauan yang cukup luas meliputi Krikilan,
Dayu, Mbukuran, Ngepung, dan Plupuh.
Sebagai
salah satu desa yang menyokong akan koleksi purbakala di Museum Sangiran, Dayu
pernah tampil sebagai daerah yang juga banyak dikunjungi oleh arkeolog, baik
dari dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1977, di Desa Dayu pernah dibangun
sebuah museum yang berfungsi sebagai tempat untuk menampung hasil penelitian
lapangan di wilayah situs purbakala atau kawasan cagar budaya Sangiran di
bagian sisi selatan dan sekaligus menjadi basecamp
para peneliti. Tapi museum tersebut akhirnya dibongkar seiring telah
dibangunnya museum baru yang gedungnya terlihat futuristik di Desa Krikilan,
Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, pada tahun 1983. Semua koleksi temuan
dari Desa Dayu diboyong juga ke museum baru tersebut, dan lokasi tempat museum
di Dayu dijadikan Pendopo Desa Dayu.
Masih
banyaknya fosil yang acapkali ditemukan di Desa Dayu ini, dan prospek yang
bagus bagi kepariwisataan, tercetus ide untuk mendirikan sebuah museum lagi di
Desa Dayu. Mewujudkan ide tersebut ternyata tidaklah mudah, berliku dan
memerlukan pergulatan pemikiran yang matang. Hal ini dikhawatirkan akan adanya
dualisme museum di kawasan purbakala Sangiran.
Akhirnya digelontor dana kurang lebih sekitar 25 miliar dari APBN untuk mendirikan museum di Desa Dayu. Mulai dibangun pada tahun 2013, dan diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Boediono pada 19 Oktober 2014. Museum ini diberi nama Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Dayu, namun sering disingkat menjadi Museum Dayu saja. Museum ini terletak di Dusun Dayu, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi museum ini bisa dijjangkau dari jalan di sebelah selatan Pasar Gondangrejo ke arah timur sekitar 5 kilometer.
Museum
Dayu memiliki gedung yang tak kalah menariknya dengan ‘museum induknya’, yaitu
Museum Sangiran. Dibangun mengikuti kontur tanah yang berlembah di mana
fosil-fosil sering ditemukan. Museum Dayu ini memang berdiri di atas lahan yang
khusus dipilih dan dirancang sebagai sajian contoh lapisan tanah dari 4 zaman
dalam rentang masa 100 ribu hingga 1,8 juta tahun silam. Bentuk bangunannya pun
seperti vila ketimbang museum pada
umumnya.
Setiap
pengunjung dikenakan tiket sebesar Rp 5.000,- untuk masuk ke museum ini. Loket
berada bagian depan halaman museum. Setelah itu, pengunjung bisa memasuki
museum melalui pintu utama yang terbuat dari kaca. Di dalam gedung ini,
pengunjung mengisi buku tamu dulu sambil menunjukkan tiket masuk museum kepada
petugas. Di sini, pengunjung bisa istirahat dulu di hall yang lumayan luas, atau menyaksikan sejenak ruang pamer dari
balkon yang berada di belakang hall tersebut.
Perlu diketahui, bahwa antara gedung utama museum dan ruang pamer lokasinya
tidak satu gedung.
Tapi kalau rasa penasaran ingin tahunya tak bisa ditahan, pengunjung bisa langsung menuju ke ruang pamer yang ada di belakang gedung utama museum tersebut. Untuk menuju ke ruang pamer yang dimiliki museum ini, pengunjung harus memiliki stamina yang kuat karena harus menuruni sejumlah undakan (anak tangga). Turun dari undakan yang pertama, pengunjung bisa melihat koleksi yang terdapat di Anjungan Notopuro. Di anjungan ini, dipajang fragmen tulang paha gajah purba yang ditemukan oleh Harjo Sutomo pada 9 Oktober di Desa Tanjung, Kecamatan Gondangrejo. Selain itu, terpampang juga banner mengenai Notopuro, dan satu TV yang bila ditekan tombolnya akan berisi kisah mengenai Anjungan Notopuro.
Turun
undakan lagi, ada semacam pendopo
kecil untuk beristirahat sejenak sambil menghela nafas untuk melanjutkan
menuruni undakan berikutnya. Pada
saat menuruni undakan tersebut,
pengunjung bisa membaca prasasti yang dipasang di lapisan tanah. Lapisan tanah
ini merupakan lapisan pasir anggota Formasi Kubah bagian atas dari Kala
Plestosen Tengah yang berumur sekitar 350.000 tahun yang lalu. Kemudian, saat
belok kiri sambil menuruni undakan
ditemukan prasasti lagi yang menerangkan tanah yang ada di situ. Sedimen pasir
dengan struktur silang siur merupakan ciri khas endapan Formasi Kabuh. Struktur
ini terbentuk oleh arus air (sungai) yang lemah dengan arah aliran yang
berubah-ubah. Lapisan ini terendapkan sekitar 400.000 tahun yang lalu.
Setelah
itu, pengunjung akan menemukan Anjungan Kabuh. Di anjungan ini hampir sama
isinya. Ada banner dan TV serta koleksi fosil. Pada Formasi Kabuh ini, dipajang
tengkorak banteng purba yang ditemukan oleh Lasimin, Sukidi, dan Suginem pada
30 Oktober 1996 di Garas, Brangkal, Gemolong.
Turun
undakan lagi, bertemulah pengunjung
dengan Anjungan Grenzbank. Di anjungan ini juga ada banner dan TV serta fragmen gading gajah purba. Fosil ini ditemukan
oleh Purwanto pada 28 Maret 2014 di Glagahombo, Ngebung, Kalijambe, Sragen.
Menuruni
undakan lagi, pengunjung sampai pada
lokasi di mana terdapat tujuh gazebo
yang mengitari arena bermain anak, seperti ayunan, prosotan (papan peluncur), dan lain-lain. Arena ini yang digemari
oleh anak-anak saat berkunjung ke museum ini. Di arena ini juga dilengkapi dengan
mushola dan toilet serta taman yang asri. Banyak pengunjung yang suka
beristirahat di sini.
Setelah
meniti tangga, melewati deret anjungan Notopuro, Kabuh dan Grenzbank serta
arena bermain anak, bagai menyisir perjalanan waktu surut ke belakang kini pengunjung
menjejakkan kaki di kawasan sisa rawa-rawa 1,8 juta tahun silam. Dengan melewati
sebuah jembatan, pengunjung bisa masuk ke Ruang Diorama. Di dalam ruangan ini,
pengunjung bisa menyaksikan diorama mengenai kehidupan manusia purba kala itu.
Terus keluar dari Ruang Diorama di pintu selatan, dijumpailah Ruang Pamer 1.
Masuk ruangan ini, pengunjung akan menemukan rangka dari banteng purba, fosil
tengkorak manusia purba, dan profil para peneliti manusia purba.
Kemudian
dari Ruang Pamer 1 ada undakan menuju
ke ruang bawah. Ruang ini berkisah mengenai proses ekskavasi yang dilakukan di
lapangan. Setelah itu, pengunjung akan mengakhiri melihat-lihat koleksi yang
dimiliki oleh museum ini, dan keluar melalui pintu keluar sambil menyisir
tembok belakang Ruang Pamer 1. Di tembok ini, dihiasi dengan sejumlah lukisan
dinding perihal kehidupan flora dan fauna pada masa purba dulu. Pada saat ada
belokan ke kiri, pengunjung bisa menemukan prasasti lagi yang dipasang di tanah
yang diterangkan dalam prasasti tersebut. Lapisan pasir dan pasir krikilan
anggota Formasi Kabuh bagian bawah, terendapkan sekitar 700.000 tahun yang
lalu. Keberadaan sendimen ini menunjukkan lingkungan situs Sangiran sudah
menjadi daratan.
Lalu,
pengunjung akan keluar melalui rute yang telah dilalui sebelumnya. Dalam
perjalanan keluar tersebut, pengujung masih bisa bertemu dengan satu prasasti
lagi yang menenrangkan bahwa horison tipis caliche
pada lapisan pasir anggota Formasi Kabuh menunjukkan bahwa sekitar 400.000
tahun yang lalu pernah terjadi iklim yang sangat panas dan kering.
Itulah
Museum Dayu yang mencoba mengeksplanasi fosil-fosil yang terdapat di situs
Dayu. Situs Dayu adalah satu bab dalam kitab sejarah panjang Sangiran, yang
lembarannya terbentang di hadapan kita. Fosil dan kandungan batuannya merekam
memori kehidupan flora, fauna, manusia, bahkan iklim belahan bumi kita semenjak
purbakala.
Untuk
menuju museum ini tidaklah terlalu sulit. Dari terminal Tirtonadi Solo,
pengunjung bisa mengambil jalur Solo-Purwodadi. Pada Km 10, atau tepatnya Pasar
Gondangrejo, pengunjung bisa melanjutkan dengan ojek. Karena dari Jalan
Solo-Purwodadi menuju museum, belum pernah berjumpa dengan angkutan desa yang
melewati museum. *** [211215]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar