Memboceng
motor Honda Supra X, saya diajak keliling Singosari oleh teman penelitian
sewaktu di Aceh. Target sebenarnya adalah Stasiun Kereta Api Singosari, namun
saya diajak singgah sebentar di sebuah situs yang tak jauh keberadaannya dengan
stasiun tersebut. Situs tersebut bernama Petirtaan Watugede. Petirtaan ini
terletak di Jalan Watugede, Dusun Sanan, Desa Watugede, Kecamatan Singosari,
Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi petirtaan ini berada sekitar 300
m sebelah timur Stasiun Singosari. Petirtaan Watugede berada di perbatasan
antara Jalan Stasiun dengan Jalan Watugede. Sebelah utara atau seberang jalan
berbatasan dengan permukiman warga, pada sisi timur berbatasan dengan sebuah
bangunan bengkel milik warga, sebelah barat berbatasan dengan bangunan bekas
pabrik Penyamakan Kulit Watugede, dan sebelah selatan selain berbatasan dengan
pabrik tersebut juga berbatasan dengan sebuah sungai tempat pembuangan air yang
berasal dari Petirtaan Watugede.
Bangunan
petirtaan, atau masyarakat awam menyebutnya dengan pemandian, merupakan salah
satu dari tipe peninggalan bangunan masa Hindu Buddha yang dikenal sampai saat
ini. Petirtaan memiliki kata dasar tirta. Tirta berarti air. Air dalam tradisi Hindu Buddha merupakan hal
yang penting. Sehingga tempat mendirikan candi atau bangunan yang dianggap
‘suci’ lainnya pada umumnya lokasnya tidak lepas dari unsur air.
Dalam
hal keagamaan, air yang dimaksudkan di sini adalah air suci yang dapat membuat
suci seseorang. Air suci demikian layak disebut dengan tirta nirmala atau tirta
amerta yang dipercaya mempunyai khasiat banyak. Selain membersihkan
dosa-dosa maupun menyembuhkan berbagai penyakit, tirta amerta juga dipandang sebagai air keabadian.
Dalam buku Registrasi dan Penetapan yang dikeluarkan oleh BPCB Mojokerto (2008) dijelaskan, bahwa Petirtaan Watugede memiliki luas bangunan 112, 5 m² dengan luas lahan 2.516 m². Bangunan Petirtaan Watugede berada 9 m lebih rendah dibanding permukaan lahan di sekitarnya, terdiri dari dua petak kolam. Dasar kolam yang terletak di utara lebih tinggi dibanding kolam yang terletak di selatan. Dinding kolam selatan saat ini tertimbun tanah. Kolam utara berdenah peregi panjang berukuran 22,50 x 18 m, memiliki tangga di sisi barat. Struktur bangunan terbuat dari batu bata rata-rata berukuran 35 x 24 x 7 cm. Namun sayangnya bangunan pada saat ini tidak lagi sempurna karena bagian atas struktur, bata dan panjang struktur sudah tidak terdapat lagi. Situs petirtaan ini sempat tertimbun tanam beberapa tahun lamanya, dan kemudian ditemukan oleh seorang arkeolog Belanda pada tahun 1925.
Air
yang terdapat pada kolam berasal dari mata air di bawah pohon Lo yang terdapat
pada timur kolam/petirtaan. Dilihat dari asal sumber airnya, Petirtaan Watugede
ini berupa sumber air alami yang mendapat tambahan dan pengerjaan lebih lanjut
secara artifisial. Misalkan membuatkan pancuran (jaladwara) sebagai jalan keluarnya air, memperkeras tepian kolam
dengan batu bata, menambahkan arca-arca dewata dan lainnya lagi. Sumber air
tersebut diduga merupakan Taman Boboji yang disebut dalam Kitab Pararaton, yang
merupakan tempat pemandian Ken Dedes, istri Akuwu Tunggul Ametung, penguasa
Tumapel.
Di
taman itulah Ken Arok melihat sesuatu yang bercahaya dari selangkangan Ken
Dedes, sehingga ia bertekad menjadikan wanita itu istrinya dengan cara membunuh
Tunggul Ametung. Menurut para pendeta Hindu Buddha zaman itu, perempuan yang
memiliki tanda demikian disebut arda
nariswari, perempuan utama yang akan melahirkan orang-orang ternama. Dalam
Kitab Paraton, terekam percakapan antara pendeta Lohgawe dengan Ken Arok:
“Sumahur sira danghyang: “Sapa ikut kaki”.
Lingira ken Angrok: “Wonten, bapa, wong
wadon katinghalan rahasyanipun deningsun”.
Lingira danghyang Lohgawe: “Yen hana istri
mangkana, kaki, iku stri nariçwari
arane, adimukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring wong wadon
iku, dari ratu añakrawarti”.
Meneng sira ken Angrok, ri wekasan angling:
“Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun puniku rabinira sang akuwu ring
Tumapel; lamun mangkana manira-bahud angeris sirakuwu, kapasti mati de mami,
lamun pakanira angadyani”.
Sahunira danghyang: “Mati, bapa kaki,
Tunggul ametung denira, anghing ta ingsun ta yogya yan angadyanana ring
kaheripira, tan ulahaning pandita, ahingan sakaharepira”.
Dang
Hyang menjawab: “Siapakah dia, buyung?”
Kata
Ken Arok: “Bapa, memang ada sesorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh
hamba.”
Kata
Dang Hyang: “Jika ada perempuan yang demikian, buyung, ia disebut Nariswari,
yang berarti perempuan paling utama, buyung, siapa pun ia, meski berasal dari
rakyat jelata sekali pun ia, jika memperistri perempuan itu, akan menjadi
maharaja.”
Ken
Arok diam, akhirnya berkata: “Bapa Dang Hyang, perempuan yang bersinar
kemaluannya itu adalah istri Sang Akuwu di Tumapel. Jika demikian saya akan
bunuh akuwu, dan akan saya ambil istrinya. Tentu ia akan mati, itu kalau Bapa
mengizinkan.”
Jawab
Dang Hyang: “ Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja
tidak pantas memberi izin itu kepadamu. Itu bukan tindakan seorang pendeta,
batasnya adalah kehendakmu sendiri.”
Setelah
berhasil membunuh Akuwu Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi akuwu di Tumapel sebagai penggantinya. Menurut Kitab
Negarkertagama, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1104 Çaka
atau tahun 1182 Masehi. Kemudian ia menikahi Ken Dedes yang pada waktu itu
sedang hamil lima bulan dari perkawinannya dengan Tunggul Ametung. Dari
perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok memperoleh tiga orang putra dan
seorang putri, yaitu Mahisa Wongateleng, Panji Saprang, Agni Baya, dan Dewi
Rimbu.
Sedangkan,
perkawinan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung mendapatkan seorang putra bernama
Anusapati, yang kemudian menjadi anak tiri Ken Arok. Dari perkawinannya
sebelumnya, yaitu dengan Ken Umang, Ken Arok mempunyai tiga orang putra dan
seorang putri, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi.
Sejak
ia menjadi akuwu di Kutaraja, semua
penduduk di daerah sebelah timur gunung Kawi segan kepadanya. Kekuasaan dan
kewibawaannya makin lama makin besar. Orang Tumapel senang jika Ken Arok suka
menjadi raja. Kebetulan pada waktu itu sedang terjadi sengketa antara Raja
Kertajaya (Dandang Gendis) dan para pendeta Siwa-Buddha. Raja Dandang Gendis
menginginkan agar para pendeta menyembah belaiu. Para pendeta menolak perintah
itu, karena belum pernah terjadi pendeta menyembah raja. Raja Dandang Gendis
lalu memperlihatkan kesaktiannya. Tombak didirikan di atas tanah. Ia lalu duduk
di atas ujung tombaknya. Meskipun demikian, para pendeta tetap menolak untuk
menyembahnya. Mereka meninggalkan Daha, mengungsi ke Tumapel, berlindung di
bawah kekuasaan Ken Arok. Dalam kedudukannya sebagai akuwu, Ken Arok ingat akan keturunan orang-orang yang pernah
berbuat baik kepadanya. Mereka dipanggilnya ke Tumapel untuk menerima balas
jasa.
Demikianlah, Bango Samparan dari Karuman, Mpu Palot dari Turiyantapada, anak Mpu Gandring dari Lulumbang, anak pendeta Lohgawe dan sebagainya diundang ke Tumapel dan menetap di sekeliling Ken Arok. Anak Kebo Ijo yang bernama Kebo Randi dijadikan pekatik.
Kemudian
Ken Arok dinobatkan sebagai Raja Tumapel dengan mengganti nama negaranya
menjadi Singosari (Singhasari) dengan gelar abiseka Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabumi. Setelah mengalahkan Dandang Gendis (Raja Kertajaya dari Kediri) di
Desa Ganter, seluruh Daha takluk kepada Singosari, dan Ken Arok sebagai raja
yang berkuasa penuh dalam wilayah luas di sebelah timur Gunung Kawi.
Dalam
sejarah Singosari dan Majapahit, dari putra dan putri Ken Arok itu yang
memegang peranan ialah Anusapati, Tohjaya, dan Mahisa Wongateleng. Terutama
Mahisa Wongateleng dan Anusapati mempunyai hubungan dengan perkembangan sejarah
Majapahit. Mahisa Wongateleng mempunyai keturunan Raden Wijaya yang menjadi
raja pertama Kerajaan Majapahit, sedangkan Anusapati menurunkan raja
Kertanegara sebagai raja terakhir dari Kerajaan Singosari. Pemerintahan Tohjaya
tidak mempunyai arti untuk perkembangan sejarah Kerajaan Singosari dan
Majapahit.
Jadi,
berdasarkan ceritera di atas, petirtaan ini sebenarnya merupakan tempat
pemandian suci yang sering digunakan oleh kalangan istana Kerajaan Singosari di
Desa Watugede, sehingga sekarang dikenal dengan Petirtaan Watugede. Dulu, Ken
Dedes setiap mau mandi di petirtaan ini senantiasa menggunakan kereta yang
ditarik oleh kuda dan dikawal oleh pasukan istana.
Petirtaan
Watugede ini telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya berdasarkan Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.56/PW.007/MKP/2010 tentang
Penetapan Lapangan Golf Ahmad Yani Surabaya, Petirtaan Songgoriti, Stupa
Sumberawan, Petirtaan Watugede, Kompleks Makam Maulana Malik Ibrahim, Kompleks
Makam Sunan Giri, Kompleks Makam Sunan Prapen, Kompleks Makam Leran, Makam
Sunan Drajat, Makam Sendang Duwur, Kompleks Makam Sunan Boang, Petirtaan
Panataran, Petirtaan Jolotundo, Gapura Jedong, Balai Sahabat, Yang Berlokasi di
Wilayah Provinsi Jawa Timur sebagai Benda Cagar Budaya, Situs, dan/atau Kawasan
Cagar Budaya Yang Dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selain itu, Petirtaan Watugede sekarang ini
juga menjadi salah satu obyek wisata alam yang ada di Singosari, Kabupaten
Malang. Tempatnya asri karena banyak tumbuhan besar nan rindang yang ada dalam
obyek wisata tersebut dengan diselingi suara gemercik air yang berasal dari
kolam tersebut. Cocok buat menyegarkan pikiran yang penat karena rutinitas
harian. Sayangnya, tempat parkirnya kurang memadai bila pengunjung harus
membawa mobil sendiri karena lokasinya sudah mepet dengan jalan. ***
[010815]
Kepustakaan:
Korrie Layun Rampan, 2015. Anomali: Kumpulan Puisi, Karawang: Delacita
Rahadhian PH, dan Fery Wibawa C, 2015. Kajian Arsitektur Percandian Petirtaan di
Jawa (Identifikasi), LPPM Universitas Katolik Parahyangan
Slamet Muljana, 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah
Kerajaan Majapahit, Yogyakarta: LKis
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbtrowulan/2015/02/09/petirtaan-watugede/
https://www.facebook.com/media/set/?set=a.504275742931869.131448.119320814760699&type=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar