Dua
kali sudah saya sempat berkunjung ke Taman Narmada di Pulau Lombok. Pertama,
pada tahun 2010 ketika selesai bertindak sebagai Focus Group Discussion Moderator pada the Study of Evaluation of Water Supply and Sanitation Project for Low
Income Communities di Nusa Tenggara Barat. Kedua, pada tahun 2015 pada saat
selesai mendampingi orang dari Lembaga Donor yang ingin melakukan monitoring
pada Performance Oversight &
Monitoring Endline Survey for the Evaluation of the Education Partnership –
Component 1 (School Construction) di Taliwang, Sumbawa Barat.
Rasanya
tak bosan. Malah rasa ingin tahu akan sejarah mengenai keberadaan Taman Narmada
ini semakin besar. Hasrat ‘kekunaan’ menuntun untuk menggerakkan bibir guna
bertanya, dan menggerakan jari-jemari untuk melakukan mind-mapping dari sebuah kisah yang diperoleh di lokasi. Taman
Narmada ini terletak di Desa Narmada, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok
Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi taman ini tepat berada di depan
Pasar Narmada, atau sekitar 10 kilometer sebelah timur Kota Mataram.
Taman
Narmada ini dibangun oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Gede Karang Asem,
pada tahun 1727. Nama Narmada diambil dari Narmadanadi, yaitu anak Sungai
Gangga yang disucikan di India. Bagi umat Hindu, air merupakan suatu unsur suci
yang memberi kehidupan kepada semua makhluk di dunia ini. Air yang memancar
dari dalam tanah (mata air) diasosiasikan sebagai tirta amerta (air keabadian) yang memancar dari Kensi Sweta Kamandalu. Dahulu
kemungkinan nama Narmada digunakan untuk menamai nama mata air yang membentuk
beberapa kolam dan sebuah sungai tempat tersebut. Lama-kelamaan digunakan untuk
menyebut pura dan keseluruhan kompleks Taman Narmada.
Awalnya, taman ini dibuat sebagai tempat untuk menyelenggarakan sejumlah upacara keagamaan, selain juga digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja saat musim kemarau. Oleh karena itu, Taman Narmada ini juga dikenal pula dengan nama Istana Musim Kemarau, sebab jika musim kemarau tiba istana raja yang berada di Cakranegara (Puri Ukir Kawi) ditinggalkan oleh raja untuk beristirahat di Taman Narmada.
Pura
Kalasa di puncak tertinggi taman ini dibangun menyerupai miniatur Gunung
Rinjani, Konon, Raja Anak Agung Gede Karang Asem membangun pura ini karena
usianya sudah tua sehingga tidak mampu menaiki Gunung Rinjani untuk melakukan
sembahyang. Karena itu bangunan pura dibuat berundak-undak agar menyerupai
jalan di gunung. Pura Kalasa merupakan satu kesatuan dengan Telaga Agung.
Telaga Agung dibuat sebagai miniatur Danau Segara Anak di Gunung Rinjani
sebagai pengganti tempat pelaksanaan Upacara Pakelem setiap purnama kelima
tahun Çaka
(Oktober – November) , karena raja sudah tidak mampu lagi ke Gunung Rinjani.
Upacara
Pakelem yaitu suatu upacara yang dikaitkan dengan kesuburan dan turunnya hujan,
yang disebut juga Upacara Meras Danu. Di tepi telaga terdapat pancuran
berbentuk patung gajah, patung ksatria, dan miniatur candi dengan bentuk
matahari yang keseluruhannya menunjukkan tahun 1801 Çaka atau 1879 Masehi menunjukkan
selesai rehab Telaga Agung.
Sebenarnya pintu utama masuk ke Taman Narmada ini melalui Candi Bentar yang berada persis di tepi Jalan Utama Mataram-Lombok Tengah, atau tepatnya pas berada di pertigaan yang mengarah ke Suranandi. Namun, karena alasan keamanan pengunjung atau kemacetan arus lalu lintas, pintu masuknya dipindahkan melalui samping yang berada di depan Bale Loji, dan loketnya pun ada di samping pintu masuk.
Di
kawasan taman terdapat halaman pertama yang disebut Jabalkap. Jabalkap
terdiri dari bangunan dengan dua kolam kembar yang dikelilingi pohon manggis
dan semula terdapat dua buah bangsal yang berfungsi sebagai tempat penjagaan.
Halaman berikutnya, Mukedas. Halaman kedua dari Taman Narmada inilah yang akan
menjadi halaman pertama yang pengunjung tapaki karena terletak tepat di pintu
masuk. Dalam halaman ini, terdapat Bale Loji
yang merupakan bangunan rumah yang memiliki serambi terbuka, dan berfungsi
sebagai tempat tinggal raja dan istrinya. Di samping Bale Loji, ada Merajan (Sanggah). Merajan merupakan bangunan suci tempat pemujaan raja kepada para
leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai Dewa Wisnu, Brahma
dan Siwa. Kemudian, melangkah ke arah depan merajan
terdapat halaman Pasarean. Semula
pada halaman Pasarean ini ada Bale Loji, Bale Terang, dan Bale
Pawedayan yang berfungsi sebagai tempat membaca kitab Wedha dan bangsal
sebagai tempat penjagaan.
Bangunan
Bale Terang berbentuk rumah panggung
yang terdiri dari ruang bawah yang berfungsi sebagai gudang, bagian atasnya
terbagi atas tiga bagian yakni dua kamar pada ujungnya (utara dan selatan),
yang berfungsi sebagai tempat tidur raja, dan ruang tengahnya terbuka berfungsi
sebagai tempat raja melihat pemandangan ke arah timur (ke arah Meru).
Kemudian
pengunjung harus menuruni anak tangga menuju kolam padmawangi yang di tengahnya mengalir air mancur. Di sebelah utara
kolam berdiri sebuah rumah kecil yang disebut Bale Pertirtaan. Di dalam Bale
Pertirtaan terdapat mata air tirta
amerta padmawangi yang bersumber dari Gunung Rinjani dan dipercaya dapat
membuat awet muda. Pengunjung bisa meminta air tersebut melalui pemangku di
sana.
Di sebelah timur mata air awet muda, sebuah tangga menjulang ke arah Pura Kalasa menanti untuk didaki. Kalasa berasal dari nama sebuah sungai suci di India tempat bersemayam Dewa Siwa (Dewa Pelebur). Pura ini memang menjadi tempat suci untuk menyembah Dewa Siwa.
Tidak
seperti pura-pura lain yang dibagi menjadi tiga bagian utama secara berjajar,
tempat suci ini hanya memiliki dua halaman yang membentuk persegi. Di halaman
terluar pengunjung dapat melihat adanya Bale
Gong. Sedangkan di halaman dalam, yang dikelilingi dinding batu bata merah,
pengunjung dapat melihat tiga sanggah
yang melambangkan trinitas dalam kepercayaan agama Hindu.
Sekembalinya
dari Pura Kalasa atau Bale Petirtaan,
pengunjung bisa melewati jalan yang diapit oleh kolam renang dan Telaga Agung.
Terus mendaki ke atas dengan beberapa undakan
(anak tangga), sampailah ke halaman Bencingah.
Semula pada halaman Bencingah ini
terdapat dua bangunan bangsal yang berfungsi sebagai tempat penyimpan senjata
dan tempat menghadapnya senopati dan para prajurit. Di sini pengunjung akan
ditawari flying fox melintasi Telaga
Agung untuk mengasah adrenalin pengunjung. Selain itu, di Telaga Agung juga ada
sejumlah perahu untuk keliling telaga.
Setelah
dari halaman Bencingah, pengunjung
bisa keluar dari Taman Narmada. Pintu keluarnya dipadukan fasilitas pendukung
dari Taman Narmada, seperti toko cinderamata, warung makan, toilet dan area
parkir yang luas. *** [161015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar