Tanggal merah Hari Raya tahun ini, saya berkeliling sebentar ke daerah Ngajum yang lokasinya tidak begitu jauh dari Sekretariat SMARTHealth. Dengan bantuan speedometer motor, jarak tempuhnya diketahui sekitar 14 kilometer dengan jalan yang naik turun, dan banyak tikungan. Kendati demikian, perjalanan terasa nyaman mengingat sepanjang jalan disuguhi oleh pemandangan yang hijau nan asri sebagai kekahasan sebuah daerah yang berada di lereng pegunungan. Tujuan saya kali ini adalah mengunjungi Kepurbakalaan Kemuning (Jenar). Kepurbakalaan Kemuning ini terletak di Dukuh Kemuning, Desa Kranggan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi kepurbakalaan ini berada sekitar 200 meter di sebelah barat SDN Kranggan 02 No. 1043.
Untuk menempuh lokasi ini, pengunjung disarankan banyak bertanya, karena ada beberapa pertigaan yang akan dilalui. Seyogianya, ditempuh dari Pakisaji saja agar supaya pengunjung tidak mengalami kebingungan. Dari pertigaan Bendo, Pakisaji menuju ke arah barat sekitar 3 kilometer. Setelah melewati Desa Permanu, nanti pengunjung akan menemui pertigaan yang ada papan arahnya. Pilihlah yang ke arah Kesamben, lalu menuju yang ke arah Desa Kranggan.
Untuk menempuh lokasi ini, pengunjung disarankan banyak bertanya, karena ada beberapa pertigaan yang akan dilalui. Seyogianya, ditempuh dari Pakisaji saja agar supaya pengunjung tidak mengalami kebingungan. Dari pertigaan Bendo, Pakisaji menuju ke arah barat sekitar 3 kilometer. Setelah melewati Desa Permanu, nanti pengunjung akan menemui pertigaan yang ada papan arahnya. Pilihlah yang ke arah Kesamben, lalu menuju yang ke arah Desa Kranggan.
Kepurbakalaan Kemuning merupakan sebuah situs candi dan prasasti yang berada di Dukuh Kemuning, sehingga kepurbakalaan Kemuning sering juga disebut dengan Situs Kemuning. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Pepunden Kemuning, atau Petilasan Mbah Suko. Situs ini pernah dilaporkan oleh Dr. Frederik David Kan (F.D.K.) Bosch dalam Oudheidkundig Verslag Van De Oudheidkundige Dienst In Nederlandsch Indie tahun 1916. F.D.K. Bosch, atau juga sering dipanggil Frits Bosch, adalah seorang Kepala Oudheidkundige Dienst (Jawatan Purbakala), yaitu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mengelola bidang kepurbakalan. Tugas dari lembaga tersebut antara lain adalah menyusun, membuat daftar serta mengawasi peninggalan purbakala di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Dengan kembalinya Dr. Nicolaas Johannes (N.J.) Krom ke Belanda, maka diangkatlah Dr. F.D.K. Bosch sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst pada tahun 1916. Bosch memimpin lembaga ini selama 20 tahun. Selama kepemimpinannya banyak hal yang dilakukan untuk kemajuan kearkeologian di Hindia Belanda, di antaranya melakukan ke sejumlah lokasi di mana ditemukan peninggalan purbakala. Pada bulan Oktober 1916, F.D.K. Bosch yang memiliki keahlian dalam bidang arkeologi dan sekaligus ahli dalam membaca prasasti (epigraphist) berkebangsaan Belanda ini, sedang melakukan perjalanan dinasnya ke sejumlah daerah di Malang. Ketika berkeliling di daerah Ngajum, ia menemukan situs yang terdiri dari prasasti, fragmen batu bata merah, lingga dan yoni, serta arca Lembu Nandini.
Bosch
berusaha membaca prasasti tersebut, namun prasasti – yang kemudian dikenal
dengan Prasasti Kranggan – itu sudah terlalu usang karena aus, sehingga sulit
dimengerti isinya dengan jelas. Meskipun begitu, masih beruntung angka tahun
pembuatan prasasti tersebut masih bisa diketahui,yaitu tahun 1178 Çaka
atau 1256 M. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanegara sewaktu masih menjabat
sebagai raja muda (Yuwaraja/Kumararaja)
di Kediri. Kertanegara adalah putra dari Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan
Singhasari.
Prasasti Kranggan merupakan prasasti yang terbuat dari batu andesit (upala prasasti) yang memiliki ukuran tinggi 137 cm, lebar atas 76 cm, lebar bawah 65 cm, dan tebal 24,5 cm. Pengukuran ini dilakukan ketika Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melakukan inventarisasi pada tahun 1986. Selain prasasti, adanya lingga, yoni, bata merah tebal serta arca lembu di bawah pohon beringin, jelas menunjukkan bahwa dahulu terdapat bangunan candi agama Hindu. Tempat suci ini disinggung dalam prasasti Mulamalurung lempeng IV.b tahun 117 Çaka atau 1255 M, yang menandai (memulai) bangunan suci tanah perdikan di suatu tempat di bumi sebelah timur Gunung Kawi, oleh yang melaksanakan perintah, yaitu Sang Apanji Samaka, patih dari Raja Kertanegara:
…………………..
………Prahajya
n. Saŋ
wineh=anusaka dharma sīma
swatantra. Ngkāneŋ
bhūmi wetan=iŋ kawi. Maka saŋ
jñākŕtāsana 1. saŋ=apañji samaka. a
patih=ira narapati kŕtānagara
……….dst.
Kitab
Negarakertagama pupuh 76 bait 3 yang digubah oleh Rangkwi Padelengan Dang
Acarya Nadendra – yang kemudian dikenal dengan nama Mpu Prapanca - pada tahun 1365 Masehi, menyebutkan:
lwirniɳ darmma kasogatan kawinayanu
lpas i wipularama len kuti haji, mwaɳ yanatraya rajadanya kuwunatha surayaça
jarak / lagundi wadari, wewe mwaɳ packan / pasarwwan i lmah surat i pamanikan /
sranan / paniktan, panhapwan / damalaɳ tpas / jita wannaçrama jnar i
samudrawela pamuluɳ.
(Desa
perdikan kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara, Kuta haji, Janatraya,
Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi, serta Wadari, Wewe Pacekan,
Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan, Panghawan,
Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang.)
Desa-desa
perdikan di seluruh wilayah Majapahit yang berada di sekitar Singhasari sampai
lereng timur Gunung Kawi, di antaranya adalah Jenar. Diduga Jenar yang berarti
‘kuning’ itu adalah Dukuh Kemuning sekarang. *** [280317]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar