Surakarta,
atau yang dikenal juga dengan sebutan Solo, merupakan sebuah kota yang terkenal
akan corak budaya Jawa yang cukup menonjol. Selain dalam bidang budaya, Solo
juga terkenal akan banyaknya bangunan bersejarah dalam dinamika perkembangan
kehidupan sosio-kulturalnya. Bangunan-bangunan lawas tersebut seakan menjadi saksi akan keberadaan kota itu
sendiri.
Salah
satu bangunan kuno yang memiliki kisah hostoris adalah bangunan Gereja Kristen
Jawa (GKJ) Margoyudan. Gereja ini terletak di Jalan Wolter Monginsidi No. 44
Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi gereja ini berada di sebelah barat SD Kristen Banjarsari, atau SMA
Negeri 2.
Keberadaan
bangunan GKJ Margoyudan ini tidak terlepas dari keberadaan komunitas kristiani
yang berada di Kota Solo pada waktu itu. Pekabaran Injil di tengah-tengah
penduduk Nusantara awalnya tidak diusahakan oleh gereja tetapi merupakan
usaha-usaha orang-orang Kristen secara perseorangan, termasuk yang terjadi di Solo ini. Diawali
dari persekutuan yang dipelopori oleh dr. Jan Gerrit (J.G.) Scheurer. Scheurer
adalah seorang dokter yang aktif dalam melakukan pekabaran Injil di Jawa. Melalui
medical mission, Schurer membuka praktek
dokter dan sekaligus rumah doa di daerah Gilingan. Dengan dibantu istri dan
beberapa warga pribumi, ia menyulap rumahnya laksana klinik yang lengkap dengan
kamar bedahnya.
Dalam
melaksanakan praktek dokter tersebut, dr. Scheurer juga sekaligus mewartakan
Injil. Tiap hari minggu di tempat prakteknya, secara rutin diadakan kumpulan
untuk merenungkan firman Tuhan. Karena Scheurer di sana belum mendapat izin
praktek maka atas alasan “kedamaian dan ketertiban”, Residen Surakarta Hora
Siccama dengan mengutip Peraturan Pemerintah No. 123 melarangnya. Hal ini yang
menyebabkan Scheurer dan istrinya meninggalkan Solo dan kembali menuju ke
Purworejo (Th. Sumartana, 1994: 82).
Setelah ditinggal oleh dr. Scheurer, kumpulan tiap hari Minggu yang telah dirintisnya diteruskan oleh Joyo Kardomo dengan mengadakan kebaktian di rumahnya yang berada di Ngemplak dengan dihadiri ± 20 orang. Kumpulan ini akhirnya kian hari kian berkembang, sehingga rumah Joyo Kardomo tidak mampu menampung lagi anggota kumpulan kebaktian tersebut. Hal ini kemudian didengar oleh seorang warga Belanda bernama Stegerhoek.
Stegerhoek
adalah seorang berkebangsaan Belanda yang bermukim di Margoyudan, Solo. Ia
adalah seorang penganut kristiani yang taat, dan ia juga merupakan menantu dari
Ds. Aart Vermeer, seorang pendeta pertama di Purbalingga. Stegerhoek juga
bercita-cita ingin mewartakan Injil tetapi terkendala akan bahasa, karena ia
tidak bisa berbahasa Jawa. Kemudian ia menawarkan kepada kelompok Minggu
Ngemplak untuk mengunakan bengkel pertukangannya sebagai tempat kebaktian namun
masih berifat sembunyi-sembunyi.
Perjalanan
kelompok Minggu yang semakin berkembang ini tak lepas dari pasang surut.
Pelarangan demi pelarangan dari Pemerintah Hindia Belanda selalu menghantui
kumpulan tersebut. Sampai tahun 1909, segala kegiatan pemeliharaan iman
dipusatkan di rumah yang menjadi bengkel pertukangan kayu milik Stegerhoek.
Atas berkat Tuhan, pada tahun 1909 sebuah rumah sederhana yang letaknya di
sebelah timur bengkel pertukangan tersebut (sekarang menjadi SD Kristen
Banjarsari) dapat dibeli oleh Zending
atas bantuan Stegerhoek. Rumah tersebut kemudian dipergunakan sebagai tempat
kegiatan pemeliharaan iman termasuk kumpulan. Dengan demikian, bengkel
pertukangan Stegerhoek tidak dipergunakan lagi.
Setelah
tanah dibeli, Pendeta Dr. D. Bakker Sr berencana mendirikan sekolah. Usulannya
kemudian diajukan kepada Residen Belanda di Surakarta. Meski masih dibatasi
beberapa aturan, sekolah pun berhasil didirikan yang kemudian diberi nama
Sekolah Kristen Margoyudan. Bangunan yang digunakan adalah rumah yang juga
dipakai untuk kegiatan kumpulan atau kebaktian. Artinya, rumah tersebut menjadi
multifungsi. Selain menjadi rumah Pdt. D. Bakker, kumpulan atau kebaktian tiap
hari Minggu, juga digunakan sebagai sekolahan.
Setelah
sekolah terbentuk dan berjalan sesuai dengan misi untuk mewartakan pekabaran
Injil, Pdt. D. Bakker mengajukan izin lagi untuk pekabaran Injil di Solo kepada
Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg yang menjelaskan bahwa
sesungguhnya setiap orang bebas untuk memilih dan atau memeluk agama, tidak
boleh dipaksa atau dilarang. Oleh karena itu, beliau meminta supaya
pengembangan Injil dalam bentuk apapun diperbolehkan dan tidak dihalangi.
Setelah
menerima alasan tersebut, Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg
dengan persetujuan Susuhunan Pakubuwono X, Raja Kraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegoro VII, penguasa
Pura Mangkunegaran, maka akhirnya terkabul permohonan kegiatan pewartaan Injil
secara resmi di Solo. Sejak tahun 1910, Surakarta secara resmi terbuka untuk
pewartaan Injil.
Sejak
berkembangnya pengaruh Zending di
Solo, maka komunitas Kristen Jawa selanjutnya berhasil menghimpun diri
membentuk sebuah majelis. Setelah diwartakan kepada jemaat, maka pada hari
Minggu, 30 April 1916 diresmikan terbentuknya Majelis yang diketuai oleh Pdt.
Dr. Huibert Anthonie van Andel, bersama dengan tujuh orang majelis terpilih.
Sebelumnya, Van Andel telah menjadi pendeta jemaat di wilayah Baarn sejak tahun
1908, kemudian dia diutus menjadi missionaries
predikant (pendeta utusan) di Surakarta.
Peresmian
terbentuknya majelis tersebut sekaligus penanda sebagai berdirinya GKJ
Margoyudan dengan surya sengkala Rasa
Manunggal Binukeng Gusti (1916) yang menempati bekas bengkel pertukangan
milik Stegerhoek. Majelis tersebut bertugas mengurus dan merawat
saudara-saudara Kristen yang ada di seluruh daerah Surakarta.
Dengan
jatuhnya Hindia Belanda kepada Balatentara Dai Nippon (pasukan Jepang) pada 5
Maret 1942 mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan bagi GKJ Margoyudan.
Gedung gereja ini diminta Jepang untuk dijadikan Kantor Seinedan. Seinedan
adalah sebuah organisasi barisan pemuda yang dibentuk oleh tentara Jepang pada
9 Maret 1943. Pada waktu itu Jepang telah berhasil menduduki gedung-gedung
milik Kasunanan, Mangkunegaran, Pasturan, Bruderan dan lain-lainnya untuk
kepentingan Jepang.
Hal
ini sekaligus menyebabkan kemuduran anggota jemaat yang dulu umumnya adalah
pegawai Zending, seperti guru dan perawat. Mereka semua meninggalkan Hindia
Belanda karena takut ditawan oleh Jepang.
Setelah
adanya pengakuan kedaulatan kepada Indonesia dari Pemerintah Kerajaan Belanda
pada tahun 1950, GKJ Margoyudan mulai mengatur kegiatannya kembali. Dengan
dibukanya kembali sekolah-sekolah Kristen, maka pertumbuhan gereja semakin
pesat. Pada tahun 1952, jemaat memperluas bangunan gereja induk dan sejak saat
itu pemberitaan Injil diaktifkan serta pembinaan warga digiatkan kembali.
Meski
GKJ Margoyudan berdiri dengan bantuan Zending, akan tetapi corak arsitektur
bangunan gerejanya merupakan perpaduan arsitekur Jawa dan Eropa. Secara fasad,
kesan kolonial memang terlihat, namun setelah memasuki gereja suasana Jawa akan
terasa. Tiang-tiang penyangga bangunan terbuat dari kayu dengan kursi rotan
berjejer sebagai tempat duduk jemaat ketika melakukan kebaktian. Jendela yang
berada di kiri kanan, di atasnya diberi ornamen kaca berbentuk gunungan, yang
menjadi simbol penting dalam budaya Jawa. ***
[300614]
Kepustakaan:
Surmartana, Th. (1994). Mission at The Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries,
Islamic Association and Socio-Religious Change in Java 1812-1936. Jakarta:
PT BPK Gunung Mulia
http://www.gkjmargoyudan.or.id/index.php/en/profil/sejarah-gkj-margoyudan?showall=&start=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar