Toko
Lautan Mas sudah tidak asing lagi di telinga para penggemar mancing mania. Toko
ini menyediakan semua peralatan dan perlengkapan yang menyangkut fishing, mulai dari alat pancing hingga
peralatan menyelam. Toko ini terletak
di Jalan Toko Tiga No. 24 RT. 03 RW. 01 Kelurahan Roa Malaka, Kecamatan
Tambora, Kota Jakarta Barat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Lokasi
toko ini berada di sebelah selatan PT. Sinar Saudara Baru (Supplier Kertas) dan
di sebelah utara PT. Embossindo Utara (Supplier Kertas).
Selain
terkenal akan kelengkapannya, Toko Lautan Mas juga tetap mempertahankan bentuk
bangunan aslinya. Bangunan lawas
bergaya Tiongkok ini menyimpan ceritera masa lampau yang penuh haru biru.
Bangunan Toko Lautan Mas ini dulunya merupakan bekas kediaman dan sekaligus
tempat usaha tembakau Liutenant der
Chinezen (Letnan Tionghoa) Oey Thoa yang berasal dari Pekalongan.
Benny
Gatot Setiono dalam bukunya, Tionghoa
Dalam Pusaran Politik (2008: 223-226) menjelaskan, bahwa Oey Thoa adalah
seorang saudagar tembakau yang kaya raya, anggota pengurus Kongkoan yang bertempat tinggal di daerah Toko Tiga, dekat Glodok,
Jakarta sekitar 1837. Oey Thoa mempunyai sahabat karib Majoor der Chinezen (Mayor Tionghoa) Tan Eng Gan yang menjadi Ketua
Dewan Tionghoa atau Kongkoan.
Walaupun
Oey Thoa pendatang, tetapi karena berjiwa sosial dan sering memberikan
pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu, namanya cukup dikenal. Setiap
tanggal satu dan lima belas kalender Tionghoa, ratusan orang miskin telah
menantinya di Klenteng Kim Tek Ie, tempat ia melakukan ibadahnya, untuk
menantikan saat-saat ia membagikan bantuannya.
Oey Thoa mempunyai empat orang anak. Yang pertama seorang perempuan yang kemudian dipersunting oleh anak laki-laki Bupati Pekalongan kala itu. Yang kedua seorang anak laki-laki bernama Oey Holan, ketiga Oey Tambah dan yang keempat bernama Oey Mako.
Ketika
Oey Thoa meninggal dunia, Oey Tambah Sia yang ganteng mengambil alih kendali
perusahaan ayahnya. Kata ‘Sia’
dibelakang nama Oey Tambah, sebenarnya bukan merupakan bagian nama melainkan
sebutan yang bisa digunakan dalam kalangan masyarakat Tionghoa peranakan di
Jakarta zaman itu, untuk menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan anak seorang
opsir Tionghoa.
Tapi,
berbeda dengan ayahnya, Oey Tambah Sia ternyata mempunyai sifat yang sangat
buruk. Kesukaannya selain bermain perempuan, berjudi, dan adu jago juga
mengisap madat. Ia memelihara beberapa tukang pukul dan germo yang setiap saat
siap mensuplai perempuan yang dibutuhkannya, baik yang berstatus gadis maupun
istri orang.
Sikap
Oey Tambah Sia sangat arogan dan memandang rendah para pemimpin Tionghoa yang
menjadi sahabat ayahnya. Dengan mempergunakan kekayaannya, ia memelihara
hubungan baik dengan para pembesar Hindia Belanda yang ternyata juga banyak
yang korup dan bersedia menjadi pelindungnnya. Ia merasa dengan uangnya ia
dapat memperoleh segala apa pun yang ia inginkan, tanpa menghiraukan kerugian
yang ia timbulkan kepada orang lain.
Dengan
bantuan para tukang pukulnya dan seorang germo, Oey Tambah Sia berhasil merayu
Nyonya Khoe Tjin Yang. Nyonya Khoe Tjin Yang adalah istri pedagang kelontong di
Tongkangan dan menyimpannya di bungalow
Bintang Mas di daerah Ancol yang khusus dibangun untuk berfoya-foya. Suami
perempuan tersebut akhirnya menjadi gila dan kemudian hilang, yang menurut
dugaan dibunuh oleh tukang pukul Oey Tambah Sia. Selain Nyonya Khoe Tjin Yang,
dengan mengandalkan uang dan ketampanannya di tempat tersebut hampir setiap
hari ia berfoya-foya dengan perempuan lainnya tanpa peduli gadis baik-baik
ataupun istri orang.
Para
pemimpin masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Kongkoan telah berkali-kali
mengadakan rapat dan mendesak Mayor Tan Eng Gan untuk bertindak menghentikan
perbuatan Oey Tambah Sia yang merusak dan memalukan tersebut. Tapi, karena Oey
Thoa semasa hidupnya sering memberikan bantuan keuangan kepada mayor Tan Eng Gan
maka dengan berbagai alasan yang dicari-cari, Tan Eng Gan selalu meminta kepada
anggota Dewan agar memberikan kesempatan kepada Oey Tambah Sia untuk memperbaiki
diri.
Sikap
Mayor Tan Eng Gan tersebut tidak memuaskan anggota Dewan dan mereka tetap
mendesak agar diambil sikap yang tegas untuk menghentikan perbuatan Oey Tambah
Sia. Tan Eng Gan akhirnya terdesak dan berjanji akan bertindak dan memberikan
peringatan kepada Oey Tambah Sia agar menghentikan perbuatan dan tingkah
lakunya yang buruk tersebut.
Namun,
malah kemudian Oey Tambah Sia dengan rayuan dan uangnya, berhasil memboyong Mas
Adjeng Gundjing. Ia adalah pesinden asal Pekalongan yang sangat terkenal, baik
kecantikannya maupun kepandaiannya menyanyi dan menari. Mas Adjeng Gundjing
kemudian disimpan di landhuis-nya di
daerah Pasar Baru, Tangerang dan dijadikan gundiknya. Karena kesalahpahaman
yang menimbulkan kecemberuan, yang mengira Sutedjo kakak kandung Mas Adjeng
Gundjing sebagai kekasihnya, Oey Tambah Sia menyuruh Piun dan Sura, tukang
pukulnya untuk membunuhnya.
Selanjutnya,
karena ingin menfitnah Lim Soe Keng (menantu dari Mayor Tan Eng Gan), Oey
Tambah Sia dengan tega meracuni Tjeng Kie pembantunya yang setia. Namun,
tuduhannya terhadap Lim Soe Keng ternyat tidak terbukti. Dan, investigasi yang
dilakukan oleh Mayor Tan Eng Gan dan Lim Soe Keng dengan dibantu para pemimpin
masyarakat Tionghoa lainnya, berhasil membawa Oey Tambah Sia ke tahanan polisi.
Pengadilan
(landraad) yang berlangsung dengan
dihadiri ratusan penduduk Batavia dan sekitarnya, akhirnya menjatuhkan hukuman
gantung sampai mati di muka umum kepada Oey Tambah Sia. Usaha keluarganya untuk
aik banding ke pengadilan yang telah tinggi (raad van justitie) tidak berhasil. Demikian juga permohonan grasi
kepada gubernur jenderal ditolak.
Demekianlah,
pada 1851, Oey Tambah Sia harus menjalani hukuman gantung sampai mati yang
dilaksanakan pada saat fajar. Eksekusi dilakukan di lapangan di muka Stadhuis atau balai kota yang sekarang
bernama Taman Fatahillah. *** [060516]
Kepustakaan:
Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar