Sewaktu pergi takziah ke rumah teman di Ngantang, kami berempat dengan berkendara mobil Isuzu Panther keluaran tahun 2001 sempat menyinggahi sebuah makam tua bersejarah. Makam tersebut dikenal dengan Astana Karaeng Galesong, yang terletak di Dukuh Kebonsari, Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi makam ini berada di sebelah tenggara Balai Desa Sumberagung ± 1 kilometer.
Sebelum mengetahui riwayatnya, alangkah baiknya kita mengenal dulu apa arti Astana Karaeng Galesong Ngantang tersebut, yang menjadi judul dari tulisan ini. Istilah Astana Karaeng Galesong Ngantang terdiri dari empat kata, yaitu astana, karaeng, galesong dan ngantang. Kata astana diambil dari bahasa Jawa, dan karaeng serta galesong berasal dari bahasa Makassar. Sedangkan, ngantang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Malang.
Astana, dalam bahasa Jawa, berarti makam atau kuburan. Dalam bahasa Jawa terdapat beberapa kata untuk penyebutan makam antara lain: kuburan (ngoko), astana (krama), dan pesareyan (krama). Karaeng, dalam basa Mangkasara’ (bahasa Makassar), berarti raja. Dalam masyarakat Makassar, karaeng ini dilekatkan pada seorang raja atau penguasa serta keturunannya. Galesong, adalah nama sebuah kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan. Ia sebagai kerajaan vassal (bawahan) dari Kerajaan Gowa. Dulu ketika Galesong masih berupa kerajaan, wilayahnya terletak di pesisir Selat Makassar mulai dari Aeng Towa di ujung utara dan berbatasan dengan Kerajaan Gowa sampai ke Mangindara di bagian selatan, dengan luas 68,10 km² dan terdiri dari 23 kampung. Selain itu, Galesong juga menguasai sejumlah pulau seperti Tanakeke, Bauluang, Sitangnga, dan Dandoangang. Tapi sekarang ini Galesong secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Jadi, secara harfiah Astana Karaeng Galesong Ngantang bermakna Makam Raja Galesong di Ngantang. Maka sudah sewajarnya bila masyarakat setempat mengenal makam ini sebagai makam mBah Rojo.
Alkisah, Kerajaan Gowa sempat menjadi kerajaan yang besar dan mahsyur di Sulawesi. Perdagangannya cukup maju dan dikenal di kalangan pelaut di seantero mancanegara. Namun kemudian kegemilangan Kerajaan Gowa mulai terusik semenjak kedatangan bangsa asing yang mulai merebut kawasan perdagangannya dengan melalui monopoli di bumi Nusantara ini. Sejarah mencatat, munculnya Perjanjian Bungaya (cappaya ri Bungaya) yang ditandatangani pada 18 November 1667 oleh I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape atau Sultan Hasanuddin, merupakan bentuk kekalahan Kerajaan Gowa terhadap penguasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda, atau biasa disebut dengan Kompeni.
Akibat adanya Perjanjian Bungaya ini menimbulkan banyak ketidakpuasan sebagian dari bangsawan maupun rakyat Kerajaan Gowa. Salah satu di antaranya datang dari I Mannindori Kare Tojeng. Ia adalah putra sulung Sultan Hasanuddin dengan istri keempatnya sultan yang bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo, yang berasal dari Bonto Majannang. I Mannindori Kare Tojeng lahir pada 29 Maret 1655 di tempat asal ibunya.
Melihat kecakapan yang dimiliki putra sulung itu, kemudian ia diangkat oleh ayahnya sebagai Kare (Karaeng) di Galesong dengan sebutan lengkap Karaeng Galesong I Mannindori Kare Tojeng. Selain itu, ia kerap juga dipercaya oleh ayahnya untuk menjadi panglima perang Kerajaan Gowa.
Setelah ayahnya tunduk terhadap perjanjian yang dibuat oleh Kompeni itu, Karaeng Galesong melanjutkan perlawanan dengan Kompeni melalui gerilya di mana-mana, termasuk di lautan nan luas. Di tengah kepungan Kompeni secara bertubi-tubi, mengakibatkan Karaeng Galesong menyingkir ke Tanah Jawa pada 1669 bersama laskar dan beberapa kerabat kerajaan yang setia kepadanya.
Di Jawa, ia dan rombongan laskarnya mendarat di daerah Banten untuk terlibat dalam Perang Banten. Di dalam rombongan ini turut pula Abdul Hamid Daeng Mangale bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Gowa lainnya. Mereka itu adalah I Adulu’ Daeng Mangale, I Fatimah Daeng Takontu dan I Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini’. Rombongan ini berjumlah besar, terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 laskar bersenjata lengkap. Mereka berlabuh di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671.
Di tengah berlangsungnya Perang Banten itu, tibalah Raden Kajoran (Panembahan Rama), seorang ulama yang masih kerabat dekat Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah ayah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Kerajaan Mataram yang kala itu dikepalai oleh Amangkurat I. Atas permintaan dari Adipati Anom (Raden Mas Rahmat), Raden Kajoran meminta bantuan kepada para petinggi Kerajaan Gowa untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VOC di tlatah Mataram.
Permintaan itu kemudian dipenuhi, dan diutuslah Karaeng Galesong I Mannindori Kare Tojeng dan Karaeng Bontomarannu untuk bergabung dengan laskar Trunojoyo di Kediri. Berangkatlah kedua pemberani dari Gowa tersebut bersama laskarnya ke Kediri. Turut serta pula Daeng Mangika, I Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini’, Karaeng Mamampang, dan Sultan Harun Al Rasyid Karaeng Tallo yang disertai juga oleh laskar Bima. Kemudian disusul pemberani lainnya untuk membantu Trunojoyo, yaitu I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata Tojeng Daeng Tulolo bersama segenap laskarnya juga.
Karena merasa senasib sepenanggungan, laskar Trunojoyo dan laskar Karaeng Galesong cepat menjadi akrab dalam perjuangan untuk melumpuhkan Mataram yang telah bekerjasama dengan Kompeni. Ketidakpuasan mereka sebenarnya berawal dari campur tangannya Kompeni dalam tataran kekuasaan Mataram.
Demi memperkokoh tali kerjasama perjuangan ini, Trunojoyo pun ingin menikahkan salah satu putrinya dengan Karaeng Galesong. Tapi sebelum perkawinannya berlangsung, Trunojoyo meminta Karaeng Galesong dengan pasukan laskarnya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom. Akhirnya, pasukan Karaeng Galesong berhasil memporakporandakan pasukan Adipati Anom yang kemudian melarikan diri ke Mataram.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, gabungan laskar Madura dan Makassar serta Bima berhasil menguasai Kraton Mataram di Pleret hingga mengakibatkan Sang Raja Amangkurat I harus mengungsi ke Tegal hingga menemui ajalnya. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom, sehingga kemudian Adipati Anom berbalik mendukung ayahnya dan memusuhi Trunojoyo.
Kemudian penerus Amangkurat I, yaitu Adipati Anom atau Raden Mas Rahmat, meminta bantuan Kompeni untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Dengan bantuan dari Kompeni, gabungan pasukan Mataram dan Kompeni berhasil memukul mundur pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong ke arah Kediri.
Kemudian Kompeni mengejarnya lagi hingga pasukan Trunojoyo terdesak ke Blitar. Dengan sisa pasukan yang ada, mereka tetap melakukan perlawanan sampai akhirnya terdesak lagi ke Batu. Daerah ini dulu masih berupa hutan yang sangat cocok untuk menjadi markas gerilya bagi pasukan Trunojoyo
Untuk membujuk laskar pasukan Karaeng Galesong, Kompeni meminta bantuan Raja Bone Arung Palaka untuk melakukannya. Kompeni menawarkan pengampunan kepada Karaeng Galesong beserta pasukannya yang telah mengalami kelaparan agar mau keluar hutan dan bersedia pulang ke Makassar.
Mendengar hal ini, Trunojoyo merasa khawatir jika kelak pasukannya akan berkurang dratis manakala Karaeng Galesong memenuhi permintaan Kompeni. Akhirnya, Trunojoyo mengambil jalan untuk mengasingkan menantunya ke arah barat (sekarang dikenal dengan Ngantang). Dalam pelarian itu, Karaeng Galesong meninggal lantaran sakit pada 21 November 1679 dan dimakamkan di daerah itu juga yang semula masih dikelilingi hutan belantara.
Kini, makam Karaeng Galesong sudah menyatu dengan pemakaman umum di desa tersebut tapi areal kompleks makamnya masih berbeda dengan kuburan lainnya. Kompleks makam Karaeng Galesong yang berukuran sekitar 100 m² ini dikelilingi oleh tembok terbuat dari batu bata berukuran besar dengan sejumlah pohon kamboja, puring dan hanjuang biksu yang menaungi areal makam tersebut.
Kendati dikenal dengan kuburan mBah Rojo, keadaan makam-makam di kompleks ini sangatlah sederhana. Hanya terbuat dari gundukan tanah yang dikelilingi batu bata yang sudah berlumut. Di sinilah makam Karaeng Galesong dan kerabatnya bersemayam abadi.
Untuk makam Karaeng Galesong sendiri sekarang di sebelah utaranya dipasang prasasti marmer beraksara Arab. Yang isinya kurang lebih berbunyi: “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah.” *** [040817]
Sebelum mengetahui riwayatnya, alangkah baiknya kita mengenal dulu apa arti Astana Karaeng Galesong Ngantang tersebut, yang menjadi judul dari tulisan ini. Istilah Astana Karaeng Galesong Ngantang terdiri dari empat kata, yaitu astana, karaeng, galesong dan ngantang. Kata astana diambil dari bahasa Jawa, dan karaeng serta galesong berasal dari bahasa Makassar. Sedangkan, ngantang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Malang.
Astana, dalam bahasa Jawa, berarti makam atau kuburan. Dalam bahasa Jawa terdapat beberapa kata untuk penyebutan makam antara lain: kuburan (ngoko), astana (krama), dan pesareyan (krama). Karaeng, dalam basa Mangkasara’ (bahasa Makassar), berarti raja. Dalam masyarakat Makassar, karaeng ini dilekatkan pada seorang raja atau penguasa serta keturunannya. Galesong, adalah nama sebuah kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan. Ia sebagai kerajaan vassal (bawahan) dari Kerajaan Gowa. Dulu ketika Galesong masih berupa kerajaan, wilayahnya terletak di pesisir Selat Makassar mulai dari Aeng Towa di ujung utara dan berbatasan dengan Kerajaan Gowa sampai ke Mangindara di bagian selatan, dengan luas 68,10 km² dan terdiri dari 23 kampung. Selain itu, Galesong juga menguasai sejumlah pulau seperti Tanakeke, Bauluang, Sitangnga, dan Dandoangang. Tapi sekarang ini Galesong secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Jadi, secara harfiah Astana Karaeng Galesong Ngantang bermakna Makam Raja Galesong di Ngantang. Maka sudah sewajarnya bila masyarakat setempat mengenal makam ini sebagai makam mBah Rojo.
Alkisah, Kerajaan Gowa sempat menjadi kerajaan yang besar dan mahsyur di Sulawesi. Perdagangannya cukup maju dan dikenal di kalangan pelaut di seantero mancanegara. Namun kemudian kegemilangan Kerajaan Gowa mulai terusik semenjak kedatangan bangsa asing yang mulai merebut kawasan perdagangannya dengan melalui monopoli di bumi Nusantara ini. Sejarah mencatat, munculnya Perjanjian Bungaya (cappaya ri Bungaya) yang ditandatangani pada 18 November 1667 oleh I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape atau Sultan Hasanuddin, merupakan bentuk kekalahan Kerajaan Gowa terhadap penguasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda, atau biasa disebut dengan Kompeni.
Akibat adanya Perjanjian Bungaya ini menimbulkan banyak ketidakpuasan sebagian dari bangsawan maupun rakyat Kerajaan Gowa. Salah satu di antaranya datang dari I Mannindori Kare Tojeng. Ia adalah putra sulung Sultan Hasanuddin dengan istri keempatnya sultan yang bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo, yang berasal dari Bonto Majannang. I Mannindori Kare Tojeng lahir pada 29 Maret 1655 di tempat asal ibunya.
Melihat kecakapan yang dimiliki putra sulung itu, kemudian ia diangkat oleh ayahnya sebagai Kare (Karaeng) di Galesong dengan sebutan lengkap Karaeng Galesong I Mannindori Kare Tojeng. Selain itu, ia kerap juga dipercaya oleh ayahnya untuk menjadi panglima perang Kerajaan Gowa.
Setelah ayahnya tunduk terhadap perjanjian yang dibuat oleh Kompeni itu, Karaeng Galesong melanjutkan perlawanan dengan Kompeni melalui gerilya di mana-mana, termasuk di lautan nan luas. Di tengah kepungan Kompeni secara bertubi-tubi, mengakibatkan Karaeng Galesong menyingkir ke Tanah Jawa pada 1669 bersama laskar dan beberapa kerabat kerajaan yang setia kepadanya.
Di Jawa, ia dan rombongan laskarnya mendarat di daerah Banten untuk terlibat dalam Perang Banten. Di dalam rombongan ini turut pula Abdul Hamid Daeng Mangale bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Gowa lainnya. Mereka itu adalah I Adulu’ Daeng Mangale, I Fatimah Daeng Takontu dan I Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini’. Rombongan ini berjumlah besar, terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 laskar bersenjata lengkap. Mereka berlabuh di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671.
Di tengah berlangsungnya Perang Banten itu, tibalah Raden Kajoran (Panembahan Rama), seorang ulama yang masih kerabat dekat Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah ayah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Kerajaan Mataram yang kala itu dikepalai oleh Amangkurat I. Atas permintaan dari Adipati Anom (Raden Mas Rahmat), Raden Kajoran meminta bantuan kepada para petinggi Kerajaan Gowa untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VOC di tlatah Mataram.
Permintaan itu kemudian dipenuhi, dan diutuslah Karaeng Galesong I Mannindori Kare Tojeng dan Karaeng Bontomarannu untuk bergabung dengan laskar Trunojoyo di Kediri. Berangkatlah kedua pemberani dari Gowa tersebut bersama laskarnya ke Kediri. Turut serta pula Daeng Mangika, I Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini’, Karaeng Mamampang, dan Sultan Harun Al Rasyid Karaeng Tallo yang disertai juga oleh laskar Bima. Kemudian disusul pemberani lainnya untuk membantu Trunojoyo, yaitu I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata Tojeng Daeng Tulolo bersama segenap laskarnya juga.
Karena merasa senasib sepenanggungan, laskar Trunojoyo dan laskar Karaeng Galesong cepat menjadi akrab dalam perjuangan untuk melumpuhkan Mataram yang telah bekerjasama dengan Kompeni. Ketidakpuasan mereka sebenarnya berawal dari campur tangannya Kompeni dalam tataran kekuasaan Mataram.
Demi memperkokoh tali kerjasama perjuangan ini, Trunojoyo pun ingin menikahkan salah satu putrinya dengan Karaeng Galesong. Tapi sebelum perkawinannya berlangsung, Trunojoyo meminta Karaeng Galesong dengan pasukan laskarnya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom. Akhirnya, pasukan Karaeng Galesong berhasil memporakporandakan pasukan Adipati Anom yang kemudian melarikan diri ke Mataram.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, gabungan laskar Madura dan Makassar serta Bima berhasil menguasai Kraton Mataram di Pleret hingga mengakibatkan Sang Raja Amangkurat I harus mengungsi ke Tegal hingga menemui ajalnya. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom, sehingga kemudian Adipati Anom berbalik mendukung ayahnya dan memusuhi Trunojoyo.
Kemudian penerus Amangkurat I, yaitu Adipati Anom atau Raden Mas Rahmat, meminta bantuan Kompeni untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Dengan bantuan dari Kompeni, gabungan pasukan Mataram dan Kompeni berhasil memukul mundur pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong ke arah Kediri.
Kemudian Kompeni mengejarnya lagi hingga pasukan Trunojoyo terdesak ke Blitar. Dengan sisa pasukan yang ada, mereka tetap melakukan perlawanan sampai akhirnya terdesak lagi ke Batu. Daerah ini dulu masih berupa hutan yang sangat cocok untuk menjadi markas gerilya bagi pasukan Trunojoyo
Untuk membujuk laskar pasukan Karaeng Galesong, Kompeni meminta bantuan Raja Bone Arung Palaka untuk melakukannya. Kompeni menawarkan pengampunan kepada Karaeng Galesong beserta pasukannya yang telah mengalami kelaparan agar mau keluar hutan dan bersedia pulang ke Makassar.
Mendengar hal ini, Trunojoyo merasa khawatir jika kelak pasukannya akan berkurang dratis manakala Karaeng Galesong memenuhi permintaan Kompeni. Akhirnya, Trunojoyo mengambil jalan untuk mengasingkan menantunya ke arah barat (sekarang dikenal dengan Ngantang). Dalam pelarian itu, Karaeng Galesong meninggal lantaran sakit pada 21 November 1679 dan dimakamkan di daerah itu juga yang semula masih dikelilingi hutan belantara.
Kini, makam Karaeng Galesong sudah menyatu dengan pemakaman umum di desa tersebut tapi areal kompleks makamnya masih berbeda dengan kuburan lainnya. Kompleks makam Karaeng Galesong yang berukuran sekitar 100 m² ini dikelilingi oleh tembok terbuat dari batu bata berukuran besar dengan sejumlah pohon kamboja, puring dan hanjuang biksu yang menaungi areal makam tersebut.
Kendati dikenal dengan kuburan mBah Rojo, keadaan makam-makam di kompleks ini sangatlah sederhana. Hanya terbuat dari gundukan tanah yang dikelilingi batu bata yang sudah berlumut. Di sinilah makam Karaeng Galesong dan kerabatnya bersemayam abadi.
Untuk makam Karaeng Galesong sendiri sekarang di sebelah utaranya dipasang prasasti marmer beraksara Arab. Yang isinya kurang lebih berbunyi: “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah.” *** [040817]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar