Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (Raja Sulaiman) adalah anak dari Bendahara Kesultanan Johor Riau Tun Abdul Jalil. Wafatnya Sultan Mahmud Syah II dengan usia 24 tahun dan belum memiliki keturunan, menyebabkan timbulnya kemelut di dalam Kesultanan Melayu Johor Riau. Dengan demikian yang menjadi Sultan adalah Bendahara Tun Abdul Jalil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Naiknya Bendahara sebagai Sultan menyebabkan konflik intern dalam Kesultanan Johor Riau, yang menyebabkan munculnya Raja Kecil yang mengaku sebagai ahli waris Sultan Mahmud Syah II ingin merebut kembali tahta Sultan. Raja Kecil berhasil mengalahkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV dan dilantik menjadi Sultan Kesultanan Johor Riau dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.
Raja Sulaiman (anak dari bendahara Tun Abdul Jalil) “bersekutu” dengan bangsawan Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) untuk merebut kembali kekuasaan Johor Riau atas Raja Kecil. Pada akhirnya, kemenangan ada pada pihak Raja Sulaiman. Raja Sulaiman kemudian dilantik menjadi Sultan pada tanggal 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar I. Pusat pemerintahan kesultanan pada saat pelantikan berkedudukan di Riau tepatnya di Sungai Carang. Pelantikannya menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Kerajaan Riau Johor Pahang Lingga, karena diiringi dengan sebuah “sumpah setia” antara pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) dengan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.
Berdasarkan “sumpah setia” tersebut, Sultan berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar. Sedangkan pihak Bugis diberikan kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sehingga sejak itu, muncul sebuah konsep pemerintahan yang modern karena segala kebijakan pelaksanaanan pemerintah tetap berada di tangan Sultan, namun roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda.
Berturut-turut pemegang jabatan Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman adalah Daeng Marewa (1722-1729), Daeng Celak (1729-1749), dan Daeng Kamboja (1749-1777).
Raja Sulaiman memiliki saudara kandung yang berjumlah 16 orang. Beberapa saudara perempuan ialah Tengku Tengah, Tengku Kamariah dan Tengku Mandak. Beberapa anak cucu Raja Sulaiman yang kemudian menjadi penguasa di Riau Lingga di antaranya adalah Sultan Mahmud Syah III, Sultan Muhammad dan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
Sultan Sulaiman adalah zuriat dari Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I yang membuat perjanjian sumpah setia dengan Bugis Lima Bersaudara. Secara genealogi baginda adalah turunan langsung sebelah laki-laki. Silsilahnya adalah Sultan Sulaiman bin Sultan Abdurrahman Syah bin Sultan Mahmud Syah III bin Sultan Abdul Jalil bin Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah bin Sultan Abdul Jalil bin Bendahara Seri Maharaja Johor Tun Habib Abdul Majid I.
Kebijakan tentang pertanian dan menggalakkan perkebunan sagu era Sultan Sulaiman memberikan kemajuan ekonomi bagi masyarakat. Usaha perkebunan dan pertanian memberikan alternatif lain dalam bidang ekonomi dan sebuah upaya Sultan untuk menjadikan kerajaan kepulauan sebagai negeri agraris. Sultan Sulaiman mencoba menjadikan masyarakat maritim era itu untuk merangkap sebagai masyarakat agraris, sehingga masyarakat mampu mencari nafkah dari sumber di lautan dan daratan.
Sultan Sulaiman mangkat di Daik pada 17 September 1883. Dimakamkan di Bukit Cengkih berdampingan dengan makam ayahandanya, Sultan Abdurrahman Syah I, dan kakandanya Sultan Muhammad Syah. *** [210918]
Kepustakaan:
Raja Sulaiman (anak dari bendahara Tun Abdul Jalil) “bersekutu” dengan bangsawan Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) untuk merebut kembali kekuasaan Johor Riau atas Raja Kecil. Pada akhirnya, kemenangan ada pada pihak Raja Sulaiman. Raja Sulaiman kemudian dilantik menjadi Sultan pada tanggal 4 Oktober 1722 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar I. Pusat pemerintahan kesultanan pada saat pelantikan berkedudukan di Riau tepatnya di Sungai Carang. Pelantikannya menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Kerajaan Riau Johor Pahang Lingga, karena diiringi dengan sebuah “sumpah setia” antara pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) dengan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah.
Berdasarkan “sumpah setia” tersebut, Sultan berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar. Sedangkan pihak Bugis diberikan kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sehingga sejak itu, muncul sebuah konsep pemerintahan yang modern karena segala kebijakan pelaksanaanan pemerintah tetap berada di tangan Sultan, namun roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda.
Berturut-turut pemegang jabatan Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman adalah Daeng Marewa (1722-1729), Daeng Celak (1729-1749), dan Daeng Kamboja (1749-1777).
Raja Sulaiman memiliki saudara kandung yang berjumlah 16 orang. Beberapa saudara perempuan ialah Tengku Tengah, Tengku Kamariah dan Tengku Mandak. Beberapa anak cucu Raja Sulaiman yang kemudian menjadi penguasa di Riau Lingga di antaranya adalah Sultan Mahmud Syah III, Sultan Muhammad dan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II
Sultan Sulaiman adalah zuriat dari Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I yang membuat perjanjian sumpah setia dengan Bugis Lima Bersaudara. Secara genealogi baginda adalah turunan langsung sebelah laki-laki. Silsilahnya adalah Sultan Sulaiman bin Sultan Abdurrahman Syah bin Sultan Mahmud Syah III bin Sultan Abdul Jalil bin Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah bin Sultan Abdul Jalil bin Bendahara Seri Maharaja Johor Tun Habib Abdul Majid I.
Kebijakan tentang pertanian dan menggalakkan perkebunan sagu era Sultan Sulaiman memberikan kemajuan ekonomi bagi masyarakat. Usaha perkebunan dan pertanian memberikan alternatif lain dalam bidang ekonomi dan sebuah upaya Sultan untuk menjadikan kerajaan kepulauan sebagai negeri agraris. Sultan Sulaiman mencoba menjadikan masyarakat maritim era itu untuk merangkap sebagai masyarakat agraris, sehingga masyarakat mampu mencari nafkah dari sumber di lautan dan daratan.
Sultan Sulaiman mangkat di Daik pada 17 September 1883. Dimakamkan di Bukit Cengkih berdampingan dengan makam ayahandanya, Sultan Abdurrahman Syah I, dan kakandanya Sultan Muhammad Syah. *** [210918]
Kepustakaan:
Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah Kota Tanjungpinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar