Kesempatan berkunjung ke Pulau Penyengat ini tidak terlepas adanya tugas penelitian kualitatif Segmentasi dan Profil Pelanggan Agung Toyota di Pulau Bintan selama dua hari (20 - 21/09/2018). Usai check out dari Hotel Panorama yang berada di Jalan Agus Salim, Kota Tanjungpinang, kami sempat berkeliling di sekitar pelabuhan Sri Bintan Pura. Waktu tunggu selama 2 jam persiapan kapal yang akan menuju Batam, kami manfaatkan untuk “berburu” bangunan kuno atau tempat-tempat bersejarah yang berada tak jauh dari pelabuhan tersebut.
Salah satu spot kekunaan yang kami kunjungi adalah Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, tepatnya terletak di Kampung Jambat, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Relatif mudah untuk dijangkau karena berada di kawasan wisata Pulau Penyengat. Jaraknya yang hanya sekitar dua kilometer dari pusat Kota Tanjungpinang, perjalanan dengan menggunakan perahu pompon dari dermaga Sri Bintan Pura. Perahu pompon ini sejenis perahu kecil yang bisa memuat sekitar 20 orang sekali jalan.
Untuk menaiki kapal pompon, Anda hanya perlu membayar tiket sebesar Rp 7000 per orang untuk sekali jalan. Akan tetapi kala itu karena khawatir tertinggal kapal yang menuju ke Batam, kami memilih menyewa satu perahu pompong. Tarif penyewaannya sebesar Rp 100.000 per satu perahu.
Sesampainya di dermaga Pulau Penyengat, akses untuk menuju ke masjid tersebut dari jalan beraspal dapat ditempuh dengan jalan kaki. Tapi kalau ingin mengunjungi spot lainnya yang ada di Pulau Penyengat sebaiknya Anda menyewa becak yang sudah menunggu di dekat dermaga. Ongkosnya cuma Rp 60.000 saja.
Menurut storyline yang terpampang di depan masjid, Masjid Raya Sultan Riau ini awalnya dibangun oleh Sultan Mahmud pada tahun 1803 dengan bahan kayu. Kemudian pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda (YDMR) VII Raja Abdurrahman, pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832) masjid ini direnovasi dalam bentuk yang terlihat sekarang ini.
Konon, arsitek perancang Masjid Raya Sultan Riau ini adalah seorang keturunan India bermukim di Singapura, yang tidak jauh dari Pulau Penyengat. Sehingga lumrah jika bangunan Masjid Raya Sultan Riau itu mengikuti model arsitektur India dan Turki.
Menurut penuturan masyarakat setempat, penduduk banyak membantu pembangunan masjid, termasuk memberikan makan pada para tukang. Konon pada waktu itu telur mudah di dapat di sana, sehingga digunakan untuk campuran perekat pada konstruksi masjid.
Masjid yang memiliki luas lahan 1280,75 m² ini terletak dalam pelataran, mungkin dulunya bukit kecil yang diratakan, tingginya sekitar tiga meter dari permukaan jalan, untuk naik menuju pelataran tersebut dibuat tangga cukup tinggi.
Setelah menaiki tangga itu, pengunjung akan menjumpai jalan setapak yang berada di pelataran masjid. Di halaman kiri dan kanan atau utara selatan jalan setapak di sumbu tengah tersebut, terlihat dua bangunan kembar beratap limasan. Kedua bangunan kembar itu disebut dalam bahasa setempat sotoh, untuk permusyawaratan majelis taklim di antara ulama dan cendikiawan. Selain itu juga terdapat balai-balai yang terbuat dari kayu. Balai-balai itu dulunya digunakan untuk istirahat, pertemuan kecil dan juga berfungsi sebagai surau untuk belajar mengaji.
Setelah melintasi bangunan sotoh dan balai-balai itu, pengunjung langsung bisa memasuki bangunan utama masjid yang berukuran 20 x 18 meter, lewat pintu masuk masjid. Pintu masuk utama masjid di tengah berada di dalam unit menjorok ke depan (porch), diatapi kubah, dan disudut-sudutnya terdapat pilaster.
Atap ruang sembahyang utama sangat unik, dapat dipastikan mendapat inspirasi dari masjid-masjid di India, asal dari arsiteknya, berupa deretan melintang dan membujur dari kubah-kubah. Bentuk kubah berupa bawang, ke arah membujur atau arah kiblat berbaris empat, ke arah melintang berderet tiga, sehingga semua kubah jumlahnya 12, ditambah dengan kubah di atas porch menjadi 13 buah.
Di dalam ruang utama itu, Anda bisa melihat mihrab dengan bingkai ornamen bunga-bunga hijau dan kuning dan mimbar yang berwarna kuning keemasan. Posisi imam ada di tepi mihrab sebelah kiri, sedangkan mimbar diletakkan di tengah-tengah mihrab agak menjorok ke dalam.
Di dalam masjid ini tersimpan mushaf kuno, kitab-kitab dan beberapa manuskrip peninggalan ulama dan para YDMR Kesultanan Riau Lingga.
Pada setiap sudut masjid ini dibangun menara dengan ujung meruncing seperti pensil yang mengusung lambang bulan sabit. Menara-menara tersebut berjumlah 4 buah, dengan perincian 2 buah pada bagian muka berbentuk bulat, dan 2 buah di bagian belakang berbentuk segi delapan. Disinyalir model menara masjid ini mengambil bentuk menara model masjid Turki, tetapi bentuknya lebih gemuk.
Jumlah keseluruhan menara dan kubah di masjid ini sebanyak 17 buah yang melambangkan jumlah rakaat sholat fardhu lima waktu sehari semalam.
Warna Masjid Raya Sultan Riau ini didominasi warna kuning, warna keemasan. Warna tersebut dalam tradisi Melayu dipakai untuk segala sesuatu berkaitan dengan kerajaan atau kesultanan. Kemegahan Masjid Raya Sultan Riau menyimpan sejuta cerita dan sejarah kejayaan di masa lalu. *** [210918]
Kepustakaan:
Fahrudin, Ali. (2013). Pusat Kajian Islam Melayu: Studi Peran Masjid Sultan Riau Masa Lalu. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2, 405-428. Diunduh dari https://jurnallekturkeagamaan.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/view/75, pada 18/12/2019
Sumalyo, Yulianto. (2006). Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
😍 kerennn....
BalasHapusSemoga bapak di beri kesempatan berkunjung ke kompleks makam raja Kecik pendiri istana Siak dan mereview istana Siak juga... bisa ketemu dengan komet Lo pak.. 😊