The Story of Indonesian Heritage

Pura Ukirrahtau Luhur Jedong

Di sela-sela meninjau tempat yang akan digunakan untuk acara Gerakan Membangun Desa (GEMA DESA) di Desa Jedong besok pada hari Rabu (05/02/2020), kami berkesempatan mampir di sebuah bangunan pura yang konon merupakan pura lawas di daerah Wagir.
Pura yang dikenal dengan nama Pura Ukirrahtau Luhur itu terletak di Jalan Sawun Sejahtera, Dusun Sawun RT 02 RW 03 Desa Jedong, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi pura ini berjarak sekitar 850 meter dari Kantor Kepala Desa Jedong.
Menurut Hari, atau yang lebih akrab dipanggil dengan Pak Pong ini, Pura  Ukirrahtau Luhur ini didirikan sekitar tahun 1960-an oleh Taram. Kebetulan Pak Pong sendiri merupakan salah seorang pemangku di pura itu. Pemangku adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab untuk mengurus maupun melayani upacara keagamaan yang diselenggarakan di pura.

Candi Agung Pura

Awalnya, bangunan pura itu masih berupa “Bale Banjar” saja yang terbuat dari bahan bambu. Secara manfaat “Bale Banjar” tersebut berfungsi sebagai tempat berkumpul dan belajar agama Hindu sekaligus untuk beribadah. Pak Pong mengistilahkan bangunan itu dengan istilah sanggar.
Kemudian seiring perjalanan waktu, bangunan sanggar yang masih begitu sederhana lambat laun berubah menjadi tempat peribadatan umat Hindu hingga seperti sekarang ini. Warna yang mendominasi pura itu adalah warna hitam, seperti kebanyakan tempat peribadatan umat Hindu yang ada di Bali.
Didampingi oleh Pak Pong, kami dipersilakan berkeliling ke dalam pura. Pintu masuk pura melalui lorong kecil atau gang yang berada di sebelah selatan pura, berupa Candi Bentar dengan pagar yang terbuat dari teralis besi. Begitu memasuki pintu pagar, kami menyaksikan Bale Kentongan dan sanggar. Di sanggar itu, pengunjung bisa menjumpai foto para pimpinan Parisada Hindu Dharma Indonesia Desa Jedong, yaitu Taram (1969-1979), Kasuwi (1979-1984), Kasturi (1984-1999), Sugeng Bintoro (1999-2009), dan Riono (2009-2019).

Sanggar

Bangunan sanggar ini terdiri atas dua lantai, dan digunakan untuk tempat berkumpul guna mempelajari agama Hindu. Bangunan sanggar ini terlihat menarik dengan aneka ornamen, di antaranya ornament berupa punakawan dalam dunia pewayangan, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Di dalam kompleks pura itu, selain halaman sanggar ada juga Mandala Utama. Mandala Utama adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari sebuah pura. Untuk memasuki Mandala Utama, pengunjung satu per satu melalui pintu pada Kori Agung atau disebut juga dengan Candi Agung Pura. Kori yang berbentuk candi ini merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara Madya Mandala dengan Mandala Utama.
Turun dari undakan Candi Agung Pura, pengunjung akan menjumpai aling-aling sebagai pembatas pandangan antara Mandala Utama dengan Madya Mandala. Selanjutnya, pengunjung dapat menjumpai berbagai bangunan yang ada di Mandala Utama. Dari aling-aling itu, pengunjung akan menjumpai Pamujan. Pamujan ini adalah tempat bersemayamnya pandita (pendeta) ketika berada di Mandala Utama.

Padma Candi

Kemudian di sebelah kiri kanan atau utara selatan terlihan bangunan kembar beratap limasan yang ditopang dengan beberapa pilaster. Bangunan tersebut disebut Bale Agung Pura (Balai Panjang). Kata Pak Pong, dulu Bale Agung Pura digunakan untuk tempat gong, tapi gongnya sekarang sudah rusak, dan selain itu, Bale Agung Pura juga dipakai untuk belajar keagamaan Hindu serta mempraktekkannya dengan penghayatan yang penuh.
Setelah itu, pengunjung dapat menyaksikan tiga bangunan berbentuk semacam candi yang berjejer dengan ketinggian dan rupa yang sedikit berbeda. Pada bagian tengah disebut dengan Padma Candi. Bangunan menjulang itu sekilas mirip dengan Candi Jawi yang ada di Prigen, Pasuruan. Bangunan Padma Candi ini berfungsi sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Widhi Wasa. Bangunan yang berada di sebelah kanannya (sebelah selatan) merupakan tempat bersemahyamnya para leluhur, dan bangunan yang berada di sebelah kirinya (sebelah utara) merupakan tempat bersemayamnya para dewa.
Dari Pura Ukirrahtau Luhur, kami sempat diajak singgah di rumahnya yang berjarak sekitar 300 meter. Dalam perjalanan ke rumahnya, kami melihat rumah-rumah penduduk yang berpagar Candi Bentar, dan ada juga beberapa rumah yang memiliki Palinggihan Padmasari. Menurut Pak Pong, di Desa Jedong ini terdapat sekitar 140 orang penganut ajaran Hindu, yang umumnya berasal dari keturunan maupun perkawinan. *** [040220]
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami