Sejak dahulu kala Pulau Flores, khususnya Kabupaten Manggarai sekarang, telah menarik minat banyak suku bangsa pelaut di Nusantara ini. Mulai dari orang Bima hingga orang Goa di Sulawesi Selatan. Para pelaut dan pedagang sangat tertarik dengan hasil laut dan hasil bumi Flores Barat.
Keadaan alam Flores Barat yang selalu hijau karena ditutupi hutan lebat sudah diduga pasti kaya akan hasil bumi. Dugaan para pedagang waktu itu memang tidak keliru.
Kopi robusta atau arabica hasil utama Kabupaten Manggarai sekarang adalah bukti dari kebenaran dugaan pedagang Goa tempo dulu. Waktu para pedagang Goa ingin menginjakkan kaki di pantai utara Flores Barat, nama tempat itu belum dikenal. Hingga pada suatu saat, sebuah perahu Goa atau lebih dikenal dengan perahu Bugis berusaha berlabuh di salah satu pantai Flores Barat.
Tetapi tiba-tiba turunlah hujan deras disertai angin rebut. Laut seolah-olah marah dan mengamuk. Perahu para pelaut Goa itu mulai diombang-ambingkan ke sana ke mari. Akhirnya juragan perahu itu memutuskan untuk membuang sauh agar dapat bertahan. Namun usaha ini ternyata sia-sia. Gelombang makin mengganas dan akhirnya tali sauh itu putus.
Maka untuk menyelamatkan diri, niat berlabuh ke pantai utara Flores Barat itu diurungkan. Juragan perahu dan semua anak buahnya memutuskan untuk kembali. Mereka mengembangkan layar dan kembali ke daerah asal mereka yaitu Goa di Sulawesi Selatan. Mereka kembali dengan tangan hampa.
Setibanya di Goa, mereka disambut gembira oleh keluarga yang ditinggalkan. Semua warga desa pelabuhan Goa yang adalah sesame pelaut juga menyambut mereka dengan gembira. Para pelaut dan pedagang di Goa berharap bahwa ada berita baru tentang pulau baru yang kaya hasil bumi yang dituju oleh perahu yang baru kembali.
Akan tetapi, mereka segera heran bercampur haru menyaksikan keadaan perahu dan anak buahnya yang tampak lesu. Banyak cat di badan perahu itu terkelupas. Sauh perahu sudah tidak ada. Ada beberapa bagian layar tersobek-sobek. Banyak pula barang dan alat di perahu itu morat-marit letaknya. Semua ini merupakan pertanda bahwa perahu ini baru saja dilanda bencana. Tidak salah dugaan mereka. Setelah turun ke darat, para awak perahu yang naas itu menceritakan semua pengalaman buruk yang baru saja dialami.
Para keluarga dan tetangga lalu bertanya di mana bencana itu terjadi. Akan tetapi para awak perahu naas itu tidak dapat menjawab dengan pasti. Karena mereka memang belum tahu nama pulau itu. Mereka hanya dapat mengatakan bahwa tempat bencana itu dekat pantai sebuah pulau yang subur. Tempat di mana sauh kapal mereka putus. Konon dalam bahasa orang Goa, sauh disebut Manggar dan putus disebut Rai. Jadi dalam bahasa Goa, sauh putus disebut Manggar-rai. Lama-kelamaan di kalangan orang Goa, nama Flores Barat bahkan seluruh Pulau Flores disebut dengan Pulau Manggarai atau pulau “sauh putus”.
Nama Manggarai kemudian menyebar melalui para pelaut dan pedagang Goa ke Bima di Sumbawa, ke Solor di Flores Timur dan kemana-mana. Nama Manggarai kemudian diucapkan menjadi satu kata saja yaitu Manggarai. Nama inilah yang diwarisi hingga sekarang, termasuk sebagai nama untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. ***
Sumber:
Drs, A,M. FanggidaE (editor), 2002, Himpunan Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur, Kupang: CV. Pengharapan Karya Abadi. Hal. 13-16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar