Kota Kartasura menarik dibicarakan bukan saja karena sejarah yang telah dimainkannya selama kurun waktu ratusan tahun silam, namun juga eksistensinya yang memiliki peran penting bagi sejarah berdirinya dua Kerajaan Dinasti Mataram, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.
Sejarah Kartasura diawali munculnya pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1650 terhadap Sunan Amangkurat I di Keraton Plered yang menyebabkan Sunan melarikan diri daerah Imogiri dan meneruskan perjalanannya ke arah barat. Namun dalam perjalanan itu, Sunan Amangkurat I meninggal di Wanayasa (daerah Banyumas) pada 10 Juli 1677 dan dimakamkan di Tegalwangi, Kabupaten Tegal.
Sebelum meninggal, Sunan Amangkurat I mengangkat Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya dengan gelar Sunan Amangkurat II. Putra lain Sunan Amangkurat I yaitu Pangeran Puger melarikan diri ke arah Bagelen (Purworejo) dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga. Setelah kembali ke Plered, ia menobatkan dirinya menjadi Raja Mataram.
Dengan bantuan VOC, Sunan Amangkurat II berhasil melenyapkan pemberontakan Trunojoyo. Setelah Trunojoyo tewas, beliau tidak mau menempati keraton di Plered karena menurut kepercayaan Jawa, Kerajaan yang sudah diduduki musuh berarti telah ternoda. Sunan Amangkurat II kemudian memerintahkan kepada Senopati Urawan untuk membuat Keraton baru di kawasan Pajang. Perintah ini dituruti dan akhirnya Senopati Urawan dibantu Nerang Kusuma dan rakyat berhasil mendirikan Keraton di sebelah barat Pajang yakni Wanakerta. Amangkurat II beserta para pengikutnya lalu menempati Keraton Baru itu yang diberi nama Kraton Kartasura Hadiningrat. Secara ekologis, Wanakerta dipilih dengan pertimbangan wilayahnya datar, daerahnya subur dan terlindung oleh Gunung Merapi dan Laut Selatan. Keraton di Wanakerta secara resmi mulai ditempati tahun 1680 oleh Sunan Amangkurat II.
Gejolak di Kerajaan Mataram ternyata tidak berhenti di situ saja. Tahun 1742 terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi di Kartasura dan berhasil menduduki Keraton Kartasura. Raden Mas Garendi adalah putra Pangeran Teposono, sedangkan Pangeran Teposono adalah putra Susuhunan Amangkurat II (Amangkurat Amral). Pemberontakan di Kartasura ini dikenal peristiwa Geger Pacinan atau bedahnya Keraton Kartasura awal jatuhnya Keraton Kartasura. Ketika para pemberontak menduduki Keraton Kartasura yang ketika itu diperintah oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II, Susuhunan Paku Buwono II berikut pengawal dan abdi dalem yang setia, mengungsi ke Ponorogo, Jawa Timur. Setelah Raden Mas Garendi berhasil menduduki Keraton Kartasura dikenal dengan nama atau sebutan Sunan Kuning atau Sunan Amangkurat III. Disebut Sunan Kuning, karena Mas Garendi memimpin orang-orang Cina yang berkulit “kuning” yang memberontak.
Susuhunan Paku Buwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari kaum pemberontak, namun Keraton Kartasura sudah dalam keadaan rusak sehingga tidak pantas untuk dijadikan keratin lagi. Melihat keadaan Keraton Kartasura yang telah rusak ini, Susuhunan Paku Buwono II berkehendak memindahkan Keraton Kartasura ke tempat lain dan pilihan jatuh di Desa Sala (sekarang dikenal dengan Kota Solo), letaknya 14 kilometer sebelah timur Keraton Kartasura, walaupun ketika itu Desa Sala masih berwujud rawa-rawa, masih tergenang air.
Kini Keraton Kartasura (1680 – 1745) tinggal bekasnya saja, dengan pagar tembok/benteng dari batu bata setebal 2-3 meter dan tinggi kurang lebih 3 meter. Peninggalan (petilasan) yang membuktikan keberadaan Keraton Kartasura, antara lain: Alun-alun, Kolam Segaran (sekarang menjadi lapangan), Gedong obat (dahulu gudang mesiu), Tembok berlubang akibat Geger Pacinan, Sumur Madusaka yang digunakan untuk memandikan pusaka-pusaka kerajaan, makam B.R.Ay. Sedah Mirah, masjid yang dibangun Sunan Paku Buwono II.
Peninggalan lainnya antara lain Genthong batu, Yoni, Lingga, Masjid Zaman Paku Buwono X serta tombak Kyai Jangkung dan Tombak Kyai Slamet. Sayangnya, kompleks Keraton Kartasura, khususnya di lingkungan benteng kedhaton sudah berubah menjadi tempat pemakaman kerabat Keraton Surakarta. Makam-makam yang terkenal karena dikeramatkan oleh masyarakat, diantaranya adalah Makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah (garwa ampil/ selir PB IX), Makam KPH Adinegoro, Makam Ki Nyoto Carito (dalang terkenal) dan masih banyak yang lainnya.
Pada hari-hari tertentu, Keraton Kartasura sangat banyak dikunjungi orang (berziarah). Tujuan utama para peziarah adalah makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah. Selir Pakubuwana IX ini semasa hidupnya dikenal cantik, pandai berdiplomasi dan memiliki pengasihan.
Peninggalan sejarah yang masih dapat dijumpai di situs Keraton Kartasura berupa reruntuhan bangunan dan nama-nama tempat (toponim). Luas kota Kartasura di masa lampau diperkirakan mencakup seluruh wilayah Kecamatan Kartasura saat sekarang ditambah beberapa kawasan yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali dan Karanganyar. Saat sekarang, Kartasura menjadi kota kecamatan biasa. Melalui peninggalan sejarah berupa reruntuhan bangunan, toponim serta beberapa tradisi budaya masyarakat, maka masih dapat ditelusuri mengenai struktur kota ataupun masyarakatnya yang bermukim.
Kartasura sebagai kota bersejarah di Indonesia memiliki warisan budaya yang kaya warna. Warisan budaya merupakan potensi yang luar biasa guna meningkatkan kesejahteraan hidup penduduknya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar