Bushmeat dalam kamus Oxford diterjemahkan sebagai jenis makanan yang berasal dari daging binatang liar di Afrika. Kebiasaan memakan satwa liar memang kebanyakan ditemui di Afrika. Namun, kebiasaan memakan satwa liar juga ditemukan di Sulawesi Utara.
Di daerah ini, sebagian warganya terbiasa berburu dan memakan berbagai jenis satwa, nyaris tanpa kecuali. Satwa yang biasa dimakan, mulai dari anoa, babirusa, babi hutan, kuskus, monyet, kucing hutan, ular, hingga aneka jenis burung, termasuk rangkong. Bahkan, binatang peliharaan, seperti anjing dan kucing, pun biasa dimakan.
Tingginya konsumsi binatang liar di Sulawesi Utara telah menyebabkan beberapa spesies dilindungi terancam punah. Jane Onibala dan Sylvia Laatung dalam Bushmeat Hunting in North Sulawesi and Related Conservation Strategies (2007) menyebutkan, beberapa binatang yang terancam punah akibat perburuan itu meliputi babirusa, anoa, dan yaki atau monyet hitam Sulawesi.
Tak hanya untuk keperluan subsisten, perburuan satwa liar di Sulawesi Utara sudah mengarah pada gaya hidup. EJ Milner-Gulland dan Lynn Clayton dalam The Trade in Babirusas and Wild Pigs in North Sulawesi (2002) menemukan bahwa tingkat konsumsi satwa liar biasanya naik menjelang peringatan hari raya keagamaan. Daging satwa liar bahkan dianggap sebagai makanan mewah dan disajikan pada acara-acara khusus, seperti kelahiran, perkawinan, dan hari raya.
Milner dan Clayton juga menemukan bahwa jumlah pemburu dan pedagang yang menjual daging babi liar dan babirusa meningkat pesat. Pada 1948-1970, hanya ada satu pedagang yang beroperasi di Sulawesi Utara. Pada 1970-1984, jumlah pedagang bertambah menjadi tiga orang dan menjadi 12 pedagang pada 1993. Pada 1996, jumlah pedagang daging satwa liar menjadi 30 orang. Seiring dengan tingginya perburuan, populasi babirusa di Sulawesi Utara terus menurun, bahkan sejumlah kawasan hutan diperkirakan telah punah.
Saroyo Sumarto, ahli biologi dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, perburuan satwa liar masih marak hingga kini dan nyaris tak ada tindakan hokum untuk pemburu. Akibatnya, populasi yaki atau monyet hitam khas Sulawesi Utara terus menurun.
Selama 30 tahun, populasi monyet hitam menurun signifikan. Penelitian pada 1980 menunjukkan, masih ada sekitar 300 Macaca nigra per kilometer persegi lahan hutan di Bolaang Mongondow dan Minahasa. Sembilan tahun kemudian, populasinya menjadi 76 ekor. Pada 1998, populasinya tinggal 26 ekor per kilometer persegi. Di hutan lindung Tangkoko, jumlah Macaca nigra terus menyusut. Pada tahun 2.000 tersisa 1.900 ekor dari 3.000 ekor.
Mulai punahnya sejumlah binatang dari hutan Sulawesi Utara membuat para pedagang mendatangkan satwa liar dari Gorontalo dan sejumlah kawasan lain di Sulawesi. ***
Sumber:
- KOMPAS edisi Sabtu, 1 September 2012 hal. 43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar