Ia belajar menulis pada R.M. Tirtohadisoerjo, pemimpin majalah “Medan Prijaji” yang ada di Bandung. Setelah merasa cukup, ia kembali ke Yogyakarta dan mulai menulis untuk Bintang Mataram dan Perniagaan.
Ia tak lama di Yogyakarta. Karena rekomendasi dari seorang tukang cukur berbangsa Jepang (mungkin seorang mata-mata) ia berhasil kerja sebagai redaktur Tjahaja Selatan di Surabaya. Dari Tjahaja Selatan ini, Bintarti kemudian berkelana dari surat kabar ke surat kabar. Perpindahan ini disebabkan karena situasi pada waktu itu masih penuh dengan gejolak pergerakan melawan penjajah sehingga banyak surat kabar dan majalah yang tutup-terbit berganti-ganti. Dari Tjahaja Selatan, ia pindah ke Harian Tjhoen Tjioe, lalu pindah lagi ke Pewarta Soerabaja, pindah lagi Tjahaja Timoer.
Bersama Raden Panji Soeroso (bekas Menteri Sosial RI), ia menerbitkan Kemadjoean Hindia. Harian ini tidak bertahan lama, lalu ia ikut Sin Po. Tidak lama pula, ia sudah pindah lagi ke Soeara Poebliek. Akhirnya ia ditarik kembali oleh Pewarta Soerabaja. Di sini ia bertahan cukup lama, yakni dari tahun 1926 hingga 1942.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia, ia bekerja pada Domei Soerabaja. Ketika berada di Domei inilah ia sempat berkenalan dengan Adam Malik yang waktu itu juga bekerja di Domei Pusat Jakarta.
Pada tahun 1945 bersama Bung Tomo, ia mendirikan Kantor Berita Indonesia yang kemudian digabungkan dengan Antara Pusat Jakarta.
Terakhir Bintarti tercatat sebagai wartawan Surabaya Post. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar