Pada
waktu tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu semasa pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono VII (1877-1921), berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi,
perhotelan dan pendidikan juga turut bermunculan. Pada waktu itu, komunitas
Belanda di Yogyakarta berkembang pesat.
Seiring
dengan perkembangan komunitas Belanda di Yogyakarta, Pemerintah Hindia Belanda
juga mulai membangun fasilitas-fasilitas pendukung yang diperlukan oleh
orang-orang Belanda yang bermukim di Yogyakarta. Salah satu fasilitas pendukung
bagi pendidikan dan keagamaan, dibangunlah Bruderan FIC di kawasan nol
kilometer Yogyakarta.
Bruderan
ini terletak di Jalan Panembahan Senopati No. 18 Kampung Yudonegaran RT. 09 RW.
01 Kelurahan Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi Bruderan ini berada di sebelah timur Kantor Bank Indonesia Yogyakarta, atau di sebelah selatan benteng Vredeburg.
Y.
Indarti N, Tri Hartini dan Sri Suharini dalam tulisannya yang berjudul Kilas Sejarah Bruderan FIC Yogyakarta (Buletin Narasimha No. 07/VII/2014)
mengulas mengenai keberadaan Bruderan FIC di Yogyakarta, sebagai berikut:
Kegiatan
pewartaan agama Katolik bagi orang-orang Jawa berlangsung pada periode
1914-1940. Perkembangan karya misi tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran
para misionaris Serikat Jesus atau yang sering dikenal dengan ordo Jesuit.
Dalam melakukan pengembangan misi di antara orang-orang Jawa, sejak awal telah
disadari oleh para misionaris Jesuit bahwa sekolah dapat dijadikan salah satu
sandaran dan sekaligus sebagai bentuk karya sosial yang nyata dalam pengembangan
misi tersebut. Kebutuhan baru masyarakat untuk memperoleh pengajaran modern
dapat dikatakan mempunyai kesesuaian dengan fungsi strategis sekolah bagi
proses pewartaan agama Katolik. Dengan demikian sekolah harus dikelola secara
baik dan sedapat mungkin terus ditambah jumlahnya.
Dalam rangka pengembangan sekolah tersebut, maka misionaris Jesuit sangat mengharapkan peran aktif para Bruder biarawan. Mereka dianggap memiliki pengalaman dan ketekunan yang tinggi serta perhatian dan dasar-dasar kerohanian yang kuat. Para Bruder tersebut dinilai tidak hanya akan dapat memberikan ilmu pengetahuan tetapi juga sendi-sendi keagamaan kepada peserta didik dan guru-guru pendidiknya melalui interaksi sosial dan keteladanan hidup setiap hari.
Keinginan
ordo Jesuit untuk melibatkan para Bruder dalam mengelola sekolah misi juga
terwujud di Yogyakarta. Kedatangan mereka di Hindia Belanda sebenarnya telah
lama dinantikan oleh misionaris Jesuit. Permohonan bantuan tenaga secara resmi
diajukan pertama kali oleh pemimpin misi Jesuit, yaitu P.J. van Santen. Pada
tahun 1919 permintaan tersebut diulangi kembali oleh P.J. Hoeberechts. Setelah
disanggupi, maka pada tahun 1920 lima orang Bruder FIC yang pertama berangkat
ke Hindia Belanda dengan tujuan Yogyakarta.
Perlu
diketahui bahwa Kongregasi Bruder FIC dalam bahasa Latin disebut dengan Congregatio Fratres Immaculatae Conceptionis
Beatae Mariae Virginis, dalam bahasa Inggris disebut dengan Congregation of the Brothers of the
Immaculate Conception of the Blessed Virgin Mary. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan nama Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria yang
Tak Bernoda (FIC). Kongregasi tersebut didirikan oleh Pastor Ludovicus Rutten
pada tanggal 21 November 1840 di Kota Maastricht, Belanda. Pada tanggal 28
Desember 1919, ketika dirayakan pesta berdirinya 75 tahun kongregasi, ada
pengumuman dari Dewan Umum bahwa pada tahun 1920 akan dibuka Bruderan FIC di
Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah sehingga dapat
mendukung karya misi Katolik di Kota Yogyakarta. Dari 113 Bruder yang
mendaftarkan diri ke Dewan Umum untuk menjadi misionaris di Jawa, akhirnya pada
pesta Paskah pada tahun 1920 Dewan Umum mengumumkan bahwa akan ada 5 Bruder
yang ditulis menjadi misionaris, yakni Br. August, Br. Lebuinus, Br. Eufrasius,
Br. Contantius, dan Br. Ivo.
Pada
hari Minggu tanggal 8 Agustus 1920, sesudah misa agung di Biara Induk De Beyart
di Maastricht, Br. August dilantik sebagai pemimpin Komunitas FIC St.
Fransiskus Xaverius di Yogyakarta. Pada tanggal 14 Agustus para misionaris
pertama yaitu Br. August, r. Constantius, Br. Lebuinus, Br. Eufratius, dan Br.
Ivo berangkat ke Jawa naik kapal Wilis dari pelabuhan Rotterdam menuju Batavia.
Dan pada tanggal 19 September 1920 mereka sampai di Tanjung Priok. Pada waktu
itu Pastor van Lith sendiri yang hadir di pelabuhan untuk mengucapkan “Selamat
Datang”. Hal ini merupakan suatu peristiwa yang mengandung makna bahwa betapa
pentingnya kedatangan mereka. Di Batavia mereka menginap semalam di Gereja
Katedral. Pada tanggal 20 September 1920, mereka melanjutkan perjalanan ke Jawa
Tengah melewati Cirebon, Purwokerto, Kroya, Kebumen hingga sampai di
Yogyakarta. Di Stasiun Tugu mereka dijemput oleh Superior Misi, Pastor
Hoeberechts. Sesudah disambut di Pastoran Kampementstraat
(pastoran Kidul Loji sekarang) dan bertemu dengan Pastor Henri van Driesche.
Para Bruder baru tersebut mendapat rumah sangat dekat dengan Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbatasan dengan alun-alun, tepatnya di Kampementstraat atau sekarang Jalan
Panembahan Senopati No. 18 Yogyakarta. Sejak itu, tanggal 20 September dikenang
dan diperingati sebagai tanggal hadirnya para Bruder FIC di Indonesia.
Dewan
Pusat di Maastricht menyatakan bahwa para Bruder yang diutus akan bekerja untuk
anak-anak pribumi di Hindia Belanda, dalam hal ini anak-anak Jawa. Dengan
demikian HIS (Hollandsch-Inlandsche
School) adalah satu-satunya tipe sekolah yang dapat menerima para Bruder.
Pada tahun 1920 dua buah HIS Putera di Yogyakarta diambil alih pengelolaannya
oleh para Bruder FIC asal Maastricht, Belanda. Perlu diingat bahwa para Bruder
FIC selain mengelola HIS Putera di Yogyakarta, sebagian dari mereka juga
mengelola HIS Putera di Muntilan. Kongregasi biarawan dari Maastricht ini
memang sangat akrab dengan dunia pendidikan dan pengajaran. Di Belanda pada
tahun 1920-an mereka mengelola lebih dari 50 sekolah. Pada tanggal 7 Juli 1921
komunitas Yogyakarta diperkuat lagi dengan kedatangan Br. Laurentius dan Br.
Marcellianus.
Peran
para Bruder dalam proses pewartaan Katolik menjadi lebih luas ketika pada tahun
1922 dipercaya untuk mengelola percetakan/penerbitan Kanisius yang hingga saat
ini memiliki sumbangan besar bagi gereja dan masyarakat Indonesia. Para Bruder
secara nyata berperan dalam menebarkan pengaruh dan ikut membentuk
wacana-wacana baru melalui buku-buku yang diterbitkan. Dapat dikatakan bahwa
buku memiliki fungsi strategis untuk mengatasi keterbatasan komunikasi lisan.
Mengingat penerbit Kanisius merupakan bagian integral dari perangkat
pengembangan misi, maka arah kebijakan perbukuannya juga tidak akan menyimpang
dari kerangka pewartaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedatangan para Bruder
baru tersebut di Yogyakarata sangat bermanfaat bagi kegiatan misi. Hanya dalam
waktu kurang dari dua tahun sejak kedatangan rombongan pertama, Kongregasi Bruder
FIC telah dapat mengelola suatu divisi baru tanpa harus mengabaikan sektor
pengajaran yang dipercayakan kepadanya. Kongregasi Bruder FIC melalui
percetakan Kanisius selain berperang dalam pengadaan buku juga ikut menciptakan
lapangan pekerjaan bagi sejumlah umat Katolik di Yogyakarta.
Perlu diketahui bahwa misionaris Jesuit mendirikan “Perkumpulan Kanisius” yang kemudian hari berubah namanya menjadi “Yayasan Kanisius” yang mengelola sekolah-sekolah Katolik di Yogyakarta. Para Bruder menjadi guru di bawah Kanisius sebagai pengurus sekolah, baik sekolah Eropa maupun Jawa. Segala gaji masuk kas Kanisius sehingga Kanisiuslah yang membayar 100 gulden sebulan kepada Bruder-Bruder yang tak termasuk subsidi. Pada tahun 1922 Perkumpulan Kanisius membangun gedung HIS dan Bruderan (rumah Bruder). Gedung sekolah HIS tersebut bertingkat 2 dengan 18 ruang kelas. Pada tanggal 13 Januari 1923 gedung sekolah tersebut diberkati. Setelah pembangunan sekolah tersebut selesai, kemudian direncanakan untuk mulai membangun gedung Bruderan yang baru. Pada waktu arsitek J. Th. van Oyen sudah membuat perhitungan untuk pembangunan gedung Bruderan tersebut, tetapi karena biayanya dianggap terlalu tinggi sehingga tidak dapat diterima.
Pada
tanggal 1 Maret 1923 dua rumah tentara diserahkan kepada pihak misi. Pada waktu
itu, kongregasi membayar 52.000 gulden. Pembongkaran rumah tersebut dimulai
pada tanggal 24 Maret 1923. Perkumpulan Kanisius yang melakukan penandatangan
kontrak pembangunan gedung Bruderan seperti pada pembangunan sekolah yang telah
dilakukan terlebih dahulu. Dalam buku Donum
Desursum diuraikan bahwa setelah rumah militer tersebut dibongkar, maka
para Bruder dapat melihat Kampementstraat
dan Benteng Vredeburg dari jendela rumah mereka. Pada tahap pertama pembangunan
gedung baru Bruderan meliputi kamar tamu, kapel dan beberapa tempat tidur.
Pembangunan tahap pertama selesai pada bulan Oktober 1923 sehingga komunitas Bruder
tersebut dapat segera pindah tempat. Pada tanggal 7 Desember 1923 Sakramen
Mahakudus dilaksanakan di kapel baru dan hari berikutnya dilaksanakan Misa
Agung pertama.
Selanjutnya
dilakukan pembangunan gedung Bruderan tahap kedua yang terdiri atas ruang
rekreasi, ruang makan, dapur dankamar tidur. Pada Maret 1924 Bruderan baru
tersebut diberkati oleh Pastor Frans Strater. Akhirnya para Bruder dapat
menempati perumahan yang lebih sesuai dan sekarang dikenal dengan Bruderan FIC
Fransiskus Xaverius.
Para
Bruder misionaris, selain berkarya di sekolah, juga berusaha menarik panggilan
para pemuda pribumi ke Kongregasi FIC. Dua tahun sesudah kedatangan mereka di
Yogyakarta, ada dua calon Bruder FIC pribumi dan keduanya menerima pendidikan
sebagai Bruder FIC di Belanda. Pada tahun 1924, kedua calon Bruder FIC pribumi
yaitu Br. Aloysius Sugiardjo dan Br. Jacobus Hendrowarsito mengikrarkan kaul
pertama di Maastricht. Calon-calon berikutnya juga mengalami pendidikan sebagai
calon Bruder FIC di Belanda.
Sejak
tanggal 1 Agustus 1936 dimulailah pendidikan calon Bruder di Jawa dan sampai
hari ini pendidikan tersebut berjalan terus. Dengan berkembangnya jumlah Bruder
FIC pribumi, maka berkembang pula jumlah komunitas dan karya yang ditangani.
Para Bruder tetap berusaha melanjutkan dan membangun pondasi Kongregasi yang
telah dibangun Pastor Rutten dan Br. Bernardus beserta para misionaris yang
datang ke Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu antara tahun
1920, yaitu tahun berdirinya misi FIC di Hindia Belanda dan bulan Desember 1941
ketika pecah Perang Dunia II di kawasan Asia Pasifik, karya para Bruder berkembang dengan lancar. Dari Belanda secara
teratur ada Bruder-Bruder baru diutus ke Jawa untuk mengajar di sekolah-sekolah
dasar maupun menengah yang makin bertambah jumlahnya.
Pada
tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. Dalam masa penjajahan
Jepang, kehidupan rakyat semakin sulit. Pada tanggal 12 April 1942 Bruderan
Yogyakarta disita oleh tentara Jepang. Bruderan kemudian dipakai untuk
Kempetai. Hampir semua Bruder Belanda diinternir oleh Jepang. Mereka yang diinternir
dibawa ke kamp-kamp yang kehidupannya begitu menyedihkan. Makanan amat kurang
dan fasilitas hidup pun jauh dari layak. Dengan kata lain, kehidupan para Bruder
begitu menyedihkan. Untunglah pada waktu itu, FIC telah melahirkan para Bruder
pribumi. Mereka adalah Br. Aloysius Soegihardjo, Br. Timotheus Wignjosoebroto,
Br. Petrus Claver Atmosoejitno, Br. Mario Hardabudja, dan Johanes de Deo
Wangsadimedja. Para Bruder pribumi inilah yang menjadi “penyelamat” kehidupan
para Bruder dan kelangsungan FIC di Hindia Belanda. Dari luar kamp, para Bruder
sedapat mungkin meringankan beban hidup para Bruder yang diinternir.
Sekolah-sekolah
misi yang menggunakan bahasa Belanda juga ditutup dan dibubarkan. Dengan
demikian sekolah MULO (Meer Uitgebreid
Lagere Onderwijs) juga dibubarkan karena Sekolah Menengah Katolik pada
waktu itu tidak diperbolehkan. Untuk itu, para Bruder pribumi yang tidak
diinternir kemudian menempati asrama bekas MULO tersebut. Pada waktu itu
tinggal 2 orang Bruder yang tinggal di bekas asrama bekas MULO. Asrama tersebut
penuh dengan perabot rumah milik Bruderan.
Asrama
para Bruder sangat dekat dengan Kempetai sehingga selalu ada kemungkinan salah
seorang anggota Kempetai mengunjungi tempat mereka. Pada tahun 1943 asrama para
Bruder tersebut mendapat pemeriksaan dari Kempetai. Pada waktu itu para
Kempetai yang melakukan pemeriksaan heran melihat asrama penuh dengan perabot
rumah dan sebagainya. Br. Mario yang tinggal di asrama tersebut menjelaskan
bahwa semua itu milik Gereja Katolik. Perundingan dengan anggota Kempetai
tersebut menggunakan bahasa Jepang. Pemeriksaan berlangsung dengan baik, dan
ketika akan meninggalkan asrama para anggota Kempetai memeriksa harmonium yang
ditempatkan di dekat pintu. Harmonium tersebut model Perancis, bentuknya mirip
dengan lemari. Pada waktu anggota Kempetai bertanya apakah itu radio, Br. Mario
menjelaskan bahwa itu bukan radio tetapi alat untuk mengiringi perayaan ibadat.
Kemudian para Kempetai tersebut mendengarkan lagu Katolik. Lagu tersebut
rupanya berkenan di hati dan telinga anggota Kempetai tersebut. Ketika para
anggota Kempetai hendak pulang mereka berpesan: “Apabila para Bruder pernah
mengalami gangguan, katakan saja kepada kami”. Sesudah itu tidak ada anggota
Kempetai yang berkunjung ke asrama tersebut.
Pada
tahun 1945, para Bruder mulai merasakan bahwa tentara Nippon mulai lunak dalam
tindakannya. Mereka sering melihat orang Jepang dalam pakaian preman atau
sipil. Pada tanggal 5 Juli 1945 Pastor Paroki Bintaran yaitu Romo Martowerdaya
memberitahukan bahwa Kempetai akan meninggalkan Bruderan di Kidul Loji. Pada
waktu itu Br. Mario tinggal sendirian karena Br. Petrus Claver pindah ke Bara
menjabat Superior Misi sekaligus pemimpin Novis di Bara. Br. Mario berhasil
memperoleh surat keterangan rangkap dua di atas meterai yang menyatakan bahwa
rumah atau Bruderan tersebut akan dikembalikan kepada pemilik yang sah. Br.
Mario menerima semua kunci Bruderan, sehingga ia segera dapat memulai
membersihkan gedung serta mengatur penjaganya. Pada waktu itu para guru belum
berani untuk membantu membersihkan gedung Bruderan. Br. Mario dengan dibantu
para murid dan pemuda mulai membersihkan Bruderan. Para pemuda tersebut sibuk
mencari senjata dengan cara memeriksa semua kamar Bruderan, membuka semua
lemari dan laci. Akan tetapi mereka tidak menemukan revolver maupun granat
tangan. Selain itu mereka juga menggali lubang di sebelah selatan kapel, tetapi
juga tidak menemukan senjata maupun granat.
Berkat
pertolongan para murid dan pemuda, maka tugas tersebut dapat terlaksana.
Ruangan Bruderan dapat ditempati kembali dan Br. Mario kemudian menempati
memilih kamar yang dekat pintu masuk, sedangkan beberapa murid tidur dalam
kamar-kamar lain. Pada tanggala 13 September Br. Leonardo datang ke Yogyakarta.
Kedatangan Br. Leonardo tersebut membantu Br. Mario mempersiapkan gedung Bruderan
menerima para Bruder yang akan datang dari Jawa Barat, Bandung dan Cimahi.
Selepas masa internir para Bruder kembali mengolah kehidupan dan karya-karya
yang hancur kembali ditata.
Sesudah
tahun 1950 ketergantungan pemimpin FIC di Indonesia pada Kongregasi di Belanda
semakin berkurang. Kongregasi FIC di jawa semakin mandiri, meskipun bantuan
keuangan dari Belanda masih tetap diharapkan dan dibutuhkan. Dengan adanya
pasang surut situasi politik dan ekonomi di Indonesia ikut mempengaruhi keadaan
para Bruder. Hubungan dengan Belanda dapat dikatakan semakin longgar atau
bahkan putus sama sekali, pada waktu Pemerintah Indonesia melarang kontak
apapun dengan Belanda. Dengan kata lain, misi di Jawa harus mandiri, yaitu
bertindak sendiri dan mengambil keputusan sendiri.
Dalam
perkembangan hingga sekarang, jenis karya Kongregasi FIC di Indonesia pada
umumnya dan Yogyakarta pada khususnya tidak banyak berubah. Pengajaran dan
pendidikan tetap merupakan karya utama. Karya pelayanan bidang pendidikan
Kongregasi FIC berada di bawah naungan Yayasan Pangudi Luhur (YPL) yang
berpusat di Semarang. Yayasan itu mengurus lembaga pendidikan dari TK, SD, SMP,
SMA. Beberapa Bruder yang saat sekarang tinggal di Bruderan FIC adalah Br.
Herman Yoseph, Br. Valentinus Naryo, Br. FX. Teguh Supono, Br. Christoforus
Sangsung, Br. Wensilaus Parut, dan Br. Andreas Purwanto.
Bangunan
Bruderan FIC berbatasan dengan SMA Pangudi Luhur di sebelah barat, Kantor
Pelayanan Pajak Pratama di sebelah timur, Jalan Panembahan Senopati di sebelah
utara, dan pemukiman penduduk di sebelah selatan. Bangunan ini menghadap ke
utara dan di depannya terdapat halaman yang dibatasi dengan pagar besi.
Bangunan
bernah O, dan terdiri dari 5 bangunan yaitu bangunan depan, bangunan sayap
barat, bangunan sayap timur, bangunan belakang, dan kapel. Ketinggian dinding
dari kelima bangunan yang terbuat dari bata berplester setebal 30 cm, dan dicat
warna putih krem. Permukaan dinding bawah diberi tatanan batu andesit setinggi
65 cm yang dicat warna hitam pada batunya, dan di sela batu dicat warna putih,
kemudian di atasnya terdapat list setinggi 15 cm. Lantai bangunan dari tegel
warna abu-abu ukuran 20 cm x 20 cm dengan pelisir tegel warna merah dengan
ukuran sama. *** [160815]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar