Pada
waktu saya mendapat tugas melaksanakan The
Study of the Tsunami Aftermath and Recovery (STAR) di Aceh pada tahun 2006
hingga 2010, saya seringkali mendarat di Bandara Polonia. Kemudian singgah
sebentar di base camp Tim Sumatera
Utara di Jalan Karya Jaya. Tapi pada waktu kunjungan lagi ke Medan pada tahun
2014 untuk menangani Market Research on
the Value Proposition of Offering a Pre-paid Card Linked to a Mobile Branchless
Banking Product in Indonesia, kunjungan saya terasa berbeda. Karena pada
tahun 2014, saya sudah tidak turun di Bandara Polonia melainkan di Bandara
Internasional Kualanamu.
Tambah
jauh sih! Namun perjalanannya dari Bandara Internasional menuju Kota Medan
terasa mengasyikan. Dengan kereta api bandara, Railink, perjalanan hanya
menempuh waktu selama 45 menit. Rangkaian kereta api eksklusif buatan Woojin Industries, Korea Selatan ini
terasa nyaman dalam perjalanannya menuju Stasiun Medan.
Sesampainya di Stasiun Medan, ‘keberuntungan’ menyertai saya. Kenapa? Karena lokasi stasiun ini berada di pusat kota yang dikerumuni oleh bangunan tua. Begitu keluar dari Stasiun Medan, banyak taxi maupun becak montor menjajakan jasa kepada saya. Tapi, karena tepat di depan pintu keluar terlihat bangunan lawas nan megah membuat hati terperangah untuk mengunjungi bangunan lawas dua lantai tersebut. Bangunan lawas yang berada di pojok lampu merah tersebut adalah Gedung PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional (Divre) I Sumatera Utara. Gedung ini terletak di Jalan Prof. H.M. Yamin, S.H. No. 14 Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Gedung ini berada di depan Kantor Telkom dan di bagian sebelah kiri terdapat bangunan bersejarah yang difungsikan sebagai Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan.
Huib
Akihary dalam bukunya, Architectuur &
Stedebouw in Indonesie 1870/1970 (De Walburg Pers, Zutphen, 1990)
menyebutkan, Gedung PT. KAI (Persero) Divre I Sumut ini pada masa Hindia
Belanda dikenal dengan nama Het
Kantoorgebouw van de Deli Spoorweg Maatschappij in Medan. Bangunan kantor Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) ini
merupakan hasil rancangan dari Ir.
Herman Thomas Karsten, seorang arsitek kelahiran Amsterdam berdarah
campuran Belanda dan Jawa, yang dibangun pada tahun 1918.
Keberadaan kantor DSM ini tidak terlepas dari sejarah perkeretaapian di Kota Medan pada masa Hindia Belanda. Para pengusaha perkebunan yang tergabung dalam N.V. Verenigde Deli Maatschappij mendirikan DSM pada tahun 1870 dengan tujuan untuk memperlancar pengangkutan berbagai hasil perkebunan, seperti tembakau, kopi, karet, kelapa sawit, dan sebagainya. Kemudian dari berbagai lokasi perkebunan di Sumatera Utara dibawa menuju ke Pelabuhan Belawan, untuk seterusnya dibawa ke Belanda, yang kemudian diperdagangkan secara luas di kawasan Eropa. Pemakaian kereta api dimaksudkan untuk memperlancar transportasi dan menghindari gangguan lumpur di jalan ketika musim hujan.
Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)
merupakan perusahaan swasta di Hindia Belanda yang memiliki hak dan konsensi
pembangunan jaringan kereta api di Sumatera Timur. Kepemilikan serta
operasionalnya secara tidak langsung mendapat prioritas utama pemerintah Hindia
Belanda. Skala prioritas ini memberi arti bahwa perusahaan kereta api ini mampu
mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi perkebunan swasta di Sumatera Timur.
Berdasarkan
Laporan Tahunan DSM pada tahun 1920 (Indera, 2006: 9) menunjukkan lebih dari 65
jenis barang yang dapat diangkut. Barang yang diangkut, misalnya kayu bakar,
semen, papan, batu, besi rel, karet, tembakau, minyak sawit, kopi, dan
sebagainya. Hasil pertaniann dan kerajinan rakyat, antara lain padi, atap, dan sebagainya.
Jenis barang yang diangkut sebagian besar merupakan kebutuhan pokok masyarakat
kota dan komoditas ekspor yang dikirim ke luar negeri melalui Pelabuhan
Belawan. Pada tahun 1918 DSM memperoleh keuntungan sebesar 2.874.824,59
guldens, dan tahun 1920 diperoleh keuntungan sebanyak 3.764.645, 41 guldens.
Ketika
Jepang menguasai Hindia Belanda selama 3,5 tahun, berpengaruh juga pada
perusahaan perkeretaapian di Kota Medan. DSM pun akhirnya juga dikuasai oleh
Jepang. Para pegawai tinggi dan staf DSM warga Belanda melarikan diri ke
Inggris, sedangkan yang tidak sempat lari dari Kota Medan menjadi tawanan
Jepang. Demikian pula para pekerja DSM yang berasal dari masyarakat pribumi,
mereka beralih menjadi pegawai kereta api di bawah pimpinan penguasa Jepang.
Pada
10 Oktober 1945, tentara Sekutu dengan memakai Kapal HMS Venus mendarat di
Pelabuhan Belawan, kemudian menuju Kota Medan untuk melucuti tentara Jepang
yang sudah menyerah kalah kepada Sekutu. Pada kenyataannya, bukan hanya tentara
Sekutu yang datang ke Medan, namun tentara Netherland
India Civil Administration (NICA) dengan membonceng tentara Sekutu untuk
menjajah kembali Kota Medan dan sekitarnya.
Usaha
dari tentara NICA tersebut tidak berhasil karena para pejuang kemerdekaan
melakukan perlawanan sehingga tentara NICA keluar dari Kota Medan. Setelah
Indonesia merdeka, pada tahun 1950-an, kabinet pemerintahan Indonesia di bawah
pemerintahan Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi aset Pemerintah Hindia
Belanda menjadi milik Pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, jaringan kereta api
di Kota Medan yang dahuu bernama DSM diubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta
Api, sebelum akhirnya menjadi PT. KAI. Begitu pula halnya dengan kantor DSM
juga diambil alih oleh PT. KAI dan dijadikan sebagai Gedung PT. KAI (Persero)
Divre I Sumut. *** [130314]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar