Usai
jalan-jalan di daerah Jembatan Merah, pulangnya saya melalui Peneleh yang
mengarah ke Gemblongan. Saat melewati jembatan Peneleh, terus ambil arah ke
kiri tampak berdiri kokoh sebuah bangunan kuno berlantai tiga, dan didominasi
oleh lengkungan-lengkungan pada fasadnya. Bangunan lawas tersebut adalah Gedung PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa
Timur Area Surabaya Utara, atau biasa diringkas menjadi PLN Area Surabaya Utara
saja. PLN ini terletak di Jalan Gemblongan No. 64 Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan,
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi PLN ini berada di sebelah utara
Al-Sadiq Carpets, atau di depan Santoso/Redjeki Mebel.
Gedung
ini dulunya merupakan gedung N.V. Algemeene Nederlandsch-Indische
Electriciteis Maatschappij (ANIEM). ANIEM merupakan perusahaan yang berada
di bawah N.V. Handelsvennootschap
yang sebelumnya bernama Maintz & Co.
Perusahaan ini berkedudukan di Amsterdam dan masuk pertama kali ke kota
Surabaya pada akhir abad ke-19 dengan mendirikan perusahaan gas yang bernama Nederlandsche Indische Gas Maatschappij
(NIGM).
Ketika
ANIEM berdiri pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun
beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya di kota-kota
besar di Jawa. Dalam waktu yang tidak terlalu lama ANIEM berkembang menjadi
perusahaan listrik swasta terbesar di Hindia Belanda dan menguasai distribusi
sekitar 40 persen dari kebutuhan kelistrikan di negeri ini. Seiring dengan
permintaan tenaga listrik yang tinggi, ANIEM juga melakukan percepatan
ekspansi. Tanggal 26 Agustus 1921 perusahaan ini mendapatkan konsesi di
Banjarmasin yang kontraknya berlaku sampai tanggal 31 Desember 1960.
Bersamaan dengan melonjaknya akan kebutuhan tenaga listrik, dilakukan perluasan gedung ANIEM yang bersebelahan dengan gedung ANIEM yang lama. Desain gedung diserahkan kepada biro arsitek N.V. Architecten- en Ingenieursbureau Job en Sprey yang berkantor di Surabaya. Sedangkan, pelaksanaan fisiknya dikerjakan oleh N.V. Nederlandsche Aanneming Maatschappij v/h Fa. H.F. Boersma (NEDAM) pada tahun 1930.
Gedung
baru ANIEM memiliki gaya arsitektur Art
Deco yang dikombinasikan dengan gaya modern, yang ditandai dengan permainan
garis-garis geometris, bidang-bidang datar serta permainan vertikal dan
horisontal mendominasi tampak depannya.
Pada
tahun 1937 pengelolaan listrik di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan
diserahkan juga kepada ANIEM. Namun, tak berlangsung lama, kinerja bagus ANIEM
harus terputus karena pendudukan pasukan Jepang atas Hindia Belanda pada tahun
1942. Sejak itu, perusahaan listrik diambil alih oleh pemerintah Jepang. Urusan
kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani oleh sebuah lembaga yag bernama Djawa Denki Djigjo Kosja. Nama tersebut
kemudian berubah menjadi Djawa Denki
Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden
Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo. Djawa
Denki Djigjo Sja dibagi menjadi tiga wilayah pengelolaan yaitu Jawa Barat
diberi nama Seibu Djawa Denki Djigjo Sja
berpusat di Jakarta, Jawa Tengah diberi nama Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja berpusat di Semarang, dan Jawa Timur
diberi nama Tobu Djawa Denki Djigjo Sja
berpusat di Surabaya.
Pada
tahun 1947 Belanda berusaha kembali ke Indonesia dengan melancarkan Agresi
Militer. Pada saat itu ANIEM juga dihidupkan kembali. Upaya yang dilakukan
adalah melakukan rehabilitasi besar-besaran terhadap pembangkit-pembangkit yang
rusak akibat salah urus pada masa pendudukan Jepang.
Ketika
ANIEM berhasil menguasai kembali perusahaannya di Indonesia mereka harus
bekerja keras untuk mengembalikan kondisi kelistrikan menuju pada taraf ketika
perusahaan ditinggalkan sebelum diambil alih oleh Jepang. Namun usaha tersebut
nampaknya tidak pernah berrhasil sampai perusahaan tersebut diambil alih oleh
bangsa Indonesia. Pada tahun 1953 pemerintah Indonesia membentuk Panitia
Nasionalisasi Listrik yang diketuai oleh Putuhena dari Kementerian Pekerjaan
Umum dan Tenaga. Panitia ini bertugas untuk meletakkan prinsip-prinsip untuk
menasionalisasi perusahaan-perusahaan litrik swasta. Tanggal 3 Oktober 1953
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga mengeluarkan Surat Keputusan Nomor U.16/7/5
tentang kekuasaan melaksanakan pengoperan perusahaan-perusahaan listrik
partikelir. Pada tahun itu juga keluar Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 163 tahun 1953 tentang nasionalisasi semua perusahaan listrik
di seluruh Indonesia. Dua surat keputusan tersebut menjadi landasan awal proses
nasionaliasi ANIEM yang termasuk dalam lingkup surat keputusan tersebut.
Perusahaan
listrik warisan pemerintahan Hindia Belanda tersebut akhirnya dikuasai dan
dikelola oleh pemerintah Indonesia melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan
gedung yang dulunya menjadi gedung ANIEM juga menjadi gedung operasional PLN.
Termasuk gedung yang megah di Jalan Gemblongan ini menjadi salah satu kantor
yang digunakan oleh PLN, tepatnya Gedung PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa
Timur Area Surabaya Utara. *** [070216]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar