Setelah
keluar dari Kabupaten Blitar, perjalanan mudik dilanjutkan kembali menuju ke
wilayah Kabupaten Tulungagung. Memasuki Kecamatan Sumbergempol, saya berusaha
mengambil jalur ke kiri untuk mencari tempat istirahat (rest area) yang tidak terlalu ramai tapi mempunyai kisah
arkeologis. Kurang lebih 5 kilometer, sampailah saya di sebuah candi bernama Mirigambar.
Candi ini terletak di Dusun Gambar RT. 01 RW. 04 Desa Mirigambar, Kecamatan
Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Lokasi candi ini
berada sebelah tenggara lapangan Desa Mirigambar.
Menurut
Suyoto, seorang juru kunci Candi Mirigambar, bahwa candi ini dulunya ditemukan
oleh Rejosari pada tahun 1870. Pada waktu itu, Rejosari sedang membuka lahan
untuk ditanami namun tiba-tiba menemukan tumpukan batu bata yang sudah tertutup
tanah dan diselimuti oleh rerumputan. Setelah dibersihkan ternyata merupakan
reruntuhan sebuah bangunan candi.
Rejosari,
atau biasanya disebut Mbah Josari, merupakan pionir yang babat alas desa ini.
Desa ini dibuka oleh Mbah Josari pada tahun 1830. Semula Desa Gambar ini
bernama Taman Sari, kemudian menjadi Desa Gambar setelah ditemukan
relief-relief candi tersebut. Foto lawas
pemberian Lydia Kieven kepada Suyoto memperlihatkan bahwa literatur Belanda
menyebut candi tersebut dengan nama Tjandi Gambar (Ingang van Tjandi Gambar).
Pada tahun 1921 dilakukan penggabungan dua desa, yaitu Desa Miridudo yang berada di sebelah utara dengan Desa Gambar. Hasil penggabungan dua desa tersebut kemudian dinamakan Desa Mirigambar. Akhirnya, literatur sekarang pun banyak menyebut candi tersebut dengan nama Candi Mirigambar.
Suasana
Candi Gambar ini terlihat sempit dengan rerimbunan dedaunan pepohonan (Jawa: singub) yang ada di halaman candi
tersebut. Pintu masuk candi ini diapit oleh dua pohon beringin besar, dan di
belakang areal candi berupa kebun jati milik warga sekitar. Halamannya tampak
sejuk akan tetapi bau dupa atau kemenyan yang ada di situ, membuat suasana
‘angker’ bila sendirian. Candi Mirigambar memang berada di tengah perkampungan
yang masih dipenuhi dengan lahan luas untuk pertanian.
Lydia Kieven dalam bukunya, Menelusuri Figur Bertopi pada Relief Candi Zaman Majapahit: Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-Candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan ke-15 (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014) menjelaskan, bahwa fungsi dan latar belakang agama Candi Mirigambar tidak diketahui. Dua inskripsi, yang didokumentasikan arkeolog Belanda dan ditemukan di bangunan-bangunannya yang kemudian hancur, berangka tahun Saka yang sesuai dengan tahun 1129 M dan 1292 M. Dua prasasti berangka tahun 1310 Saka dan, mungkin, 1321 Saka – masing-masing sesuai dengan 1388 M dan 1399 M – ditemukan di situs ini.
Lempeng
tembaga yang menyebut tempat suci bernama ‘Satyapura’ dan Raja Wikramawardhana
(1389-1429 M), penerus Raja Hayam Wuruk, ditemukan di Desa Mirigambar. Mungkin
lempeng ini dibawa ke Desa Mirigambar dari tempat lain. Namun, karena
penanggalan dua prasasti tersebut kira-kira sama dengan kurun waktu ketika
lempeng tembaga ini diterbitkan, dapat disimpulkan bahwa bangunan candi memang
dibangun pada masa pemerintahan Raja Wikramawardhana, yaitu sekitar tahun 1400
M. Namun corak penggambaran reliefnya mengisyaratkan bahwa reliefnya dipahat
pada awal atau pertengahan abad ke-15.
Kemungkinan
besar, Candi Mirigambar dan bekas bangunan-bangunan lainnya merupakan bagian
dari kompleks candi yang terus-menerus dibangun sejak zaman Kediri sampai
Singasari, dan masih berlanjut setelah masa kejayaan Majapahit. Reliefnya
mungkin dipahatkan sebagai tambahan, atau bagian dari perluasan candi pada awal
atau pertengahan abad ke-15.
Dari
urutan dalam sumber-sumber Belanda lama, tata ruang kompleks candi tidak jelas,
tetapi bangunan-bangunannya tampaknya cukup berdekatan satu dengan yang lain,
karena dalam satu kasus, Hoepermans menyebut jarak lima ratus langkah dari satu
bangunan ke bangunan berikutnya, dan dalam kasus lain hanya lima puluh langkah.
Menurut legenda, sebuah kraton pernah berdiri di lokasi ini. Informasi ini
didukung oleh nama ‘Satyapura’, untuk menyebut istana, pada inskripsi lempeng
tembaga. Satya berasal dari bahasa
Sansekerta yang diadopsi ke dalam bahsa Jawa Kuno, berarti tulus hati, jujur,
setia (terhadap suami, raja; dalam menunaikan tugas, janji) berbudi luhur,
utama, ketulusan hati, kesetiaan, kebenaran. Pura berarti kota, istana, kraton. Dengan demikian, kita dapat
menerjemahkan ‘Satyapura” sebagai ‘istana kebenaran’.
Para
peneliti percandian bisa saja berspekulasi bahwa keseluruhan kompleks candi ini
terkait dengan kraton. Hal ini juga selaras dengan asal muasal desa ini, yaitu
Taman Sari. Taman Sari identik dengan taman yang penuh tanaman bunga untuk
bersenang-senang keluarga raja di istana.
Candi
Mirigambar yang memiliki ukuran panjang 8,50 m, lebar 7,70 m dan tinggi 2,35 m
ini, dibangun dari bahan bata merah dan berpintu masuk di sisi barat. Tampak
pada batur batu persegi beserta sebuah undakan pada sisi barat yang dipenuhi
oleh ornamen. Pada sisi utara, timur, dan selatan terdapat panil-panil relief
yang berceritera Panji, dan di sudut tenggara terdapat sebuah pilaster yang
kedua sisinya melukiskan seekor burung garuda. *** [230617]
Kepustakaan:
Kieven, Lydia. (2014). Menelusuri Figur Bertopi pada Relief Candi Zaman Majapahit: Pandangan
Baru terhadap Fungsi Religius Candi-Candi Periode Jawa Timur Abad ke-14 dan
ke-15. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan École française d’Extrême-Orient
Zoetmulder, Petrus Josephus. (1995). Kamus Jawa Kuna
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar