Informasi
keberadaan Candi Sanggrahan ini didapat dari Pak Suyoto, seorang juru kunci
Candi Mirigambar. Karena atas petunjuk Pak Yoto (nama panggilan dari Pak
Suyoto), saya menyempatkan untuk menengok Candi Sanggrahan yang jaraknya berkisar
9 kilometer dari Candi Mirigambar.
Sebenarnya
tidak masuk catatan kunjungan dalam rangka mudik ke Solo, tapi karena waktunya
masih memungkinkan saya menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Candi
Sanggrahan terletak di Dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu,
Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di depan
Warkop Candi dan Karaoke, yang kiri kanannya terdapat kolam ikan mas koi.
Berdasarkan informasi dari lokasi candi, soal kapan persisnya pembangunan Candi Sanggrahan masih belum diketahui dengan pasti. Selain tidak ditemukan angka tahun, keberadaan Candi Sanggrahan juga tidak termuat dengan jelas dalam prasasti atau naskah seperti Kakawin Negarakertagama. Berbeda dengan Candi Boyolangu tempat pendharmaan Kertarajasapatni atau Rajapatni Dyah Gayatri yang berjarak sekitar 4 kilometer ini termuat dalam Kakawin Negarakertagama.
Karena
informasi mengenai Candi Sanggrahan sangatlah kurang, memunculkan banyak
perkiraan tentang keberadaan candi tersebut. Pendapat yang pertama, terdapat
ceritera rakyat yang menceriterakan asal-usul Candi Sanggrahan. Di antara
sekian banyak ceritera rakyat tersebut, ceritera rakyat versi Sina Wijoyo
Suyono yang paling terkenal (Mahfudhoh,
2016: 138).
Ceritera tersebut menyebutkan Candi Sanggrahan sebagai tempat beristirahatnya rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapatni), pendeta wanita Buddha (bhiksuni) masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, penguasa Kerajaan Majapahit pada waktu itu. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuah tempat di sekitar Boyolangu. Dalam versi tersebut, Candi Sanggrahan disebut Candi Cungkup, sedangkan Candi Boyolangu dikenal dengan nama Candi Gayatri. Sebutan Candi Cungkup untuk Candi Sanggrahan ternyata membekas sampai sekarang. Masyarakat sekitar masih menyebut Candi Sanggrahan dengan sebutan Candi Cungkup.
Pendapat
yang kedua, beberapa sejarawan menduga Candi Cungkup merupakan peninggalan
zaman Majapahit, berdasarkan bekas bangunan di bagian pintu gerbang dan di
belakang candi serta bangunan dinding areal candi yang terbuat dari batu bata.
Karena namanya Candi Sanggrahan, sebagian arkeolog juga berpendapat bahwa candi ini pernah digunakan sebagai tempat mesanggrah rombongan istana yang akan mengikuti prosesi perabuan Rajapatni Dyah Gayatri di Candi Dadi. Rombongan dari Majapahit mendirikan perkemahan di areal Candi Sanggrahan yang memang berhalaman luas, berpagar keliling dan terdapat saluran air. Pada waktu abu jenazah Rajapatni Dyah Gayatri akan ditanam di Boyolangu, rombongan istana juga menggunakan Candi Sanggrahan sebagai tempat mesanggrah atau berkemah karena pada waktu itu lokasi wilayah antara Candi Sanggrahan dengan Boyolangu merupakan daerah rawa. Untuk menuju Candi Boyolangu harus menaiki perahu. Begitu pula ketika berziarah ke Candi Boyolangu, rombongan istana mesanggrah di Candi Cungkup.
Menurut Dr. Nicolaas Johannes Krom dalam tulisannya, Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1923), disebutkan bahwa Candi Sanggrahan untuk pertama kali dilaporkan oleh J. Knebel (1908) utamanya berkenaan dengan lima buah arca Dhyani-Buddha yang pada bagian kepalanya sudah hilang, kemudian bangunannya diselidiki oleh Oudheikundige Dienst pada tahun 1915, dicatat oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1917) dalam bukunya, dan menyusul kemudian oleh N.W. Hoepermans (Sedyawati dkk, 2013: 204).
Selain
dikenal dengan Candi Cungkup, Candi Sanggrahan ini juga dikenal oleh penduduk
setempat dengan nama Candi Pruntung. Bangunan Candi Sanggrahan berdenah bujur
sangkar, mempunyai ukuran panjang 12,16 m, lebar 9,05 m dan tinggi 5,86 m.
Bahan candi terbuat dari batu andesit dan batu bata.
Bangunan
candi ini berdiri di atas pelataran yang ditinggikan sehingga tidak ranap
dengan permukaan tanah di sekitarnya. Tinggi pelataran yang menjadi halaman
candi 2,25 m yang seluruh tepi pelataran candi diperkuat dengan struktur bata (turap) sehingga tanah pelataran tidak
mudah longsor. Ukuran pelataran yang ditinggikan 51 x 42,75 m. Selain itu,
terdapat juga beberapa sisa dasar tembok keliling dari batu bata di beberapa
bagian tepi pelataran.
Sejak
awal tahun 2015, Candi Sanggrahan mulai dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar
Budaya (BPCB) Mojokerto. Sampai sekarang proses pemugaran belum selesai,
Diperkirakan pemugaran ini memakan waktu 7 hingga 8 tahun untuk kembali
terlihat seperti bentuk aslinya beserta bangunan perwara yang ada di kompleks
pelataran candi tersebut. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan batu andesit
pengganti konstruksi batu candi tersebut. ***
[230617]
Kepustakaan:
Mahfudhoh, Lailatul. (2016). Antologi Sejarah Candi Boyolangu. Jakarta: Guepedia Online
Publisher
Sedyawati, Edi dkk. (2013). Candi Indonesia: Seri Jawa. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar