Perjalanan
mudik tahun ini menempuh jarak sekitar 300 kilometer dengan rute Malang menuju
Solo. Dengan berkendara sepeda motor Honda REVO bernopol N 5026 HHC, saya
berusaha menikmati perjalanan jauh dengan hati senang dan lapang. Sehingga
segala kepenatan akibat kemacetan yang menghinggapi setiap pemudik bisa
teratasi.
Salah
satunya adalah dengan menyinggahi beberapa bangunan kuno yang ditemui dalam
perjalanan tersebut. Sambil mendinginkan motor sesaat dan raga pun juga beristirahat,
saya berusaha mampir ke salah satu bangunan lawas
yang ada di Kota Blitar, yaitu Pesanggrahan Djojodigdan. Pesanggrahan ini terletak
di Jalan Melati No. 43 Kelurahan Kepanjenkidul, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota
Blitar, Provinsi Jawa Timur. Lokasi pesanggrahan ini berada di depan Perdana
Paint Store, atau sebelah barat Kantor SAMSAT Kota Blitar.
Pesanggrahan
Djojodigdan merupakan rumah peninggalan Raden Ngabehi (R.Ng.) Bawadiman
Djojodigdo. Ia merupakan seorang Patih Blitar (patih van het regentschap Blitar Raden Ngabehi Bawadiman
Djojodigdo) semasa pemerintahan Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Warsokoesoemo.
Bawadiman
Djojodigdo lahir pada 29 Juli 1827 di Yogyakarta. Ayahnya bernama Raden
Tumenggung (R.T.) Kartodiwirjo. R.T. Kartodiwirjo adalah seorang Bupati Gentan
Kulon Progo, dan juga menjadi pengikut setia pasukan Pangeran Diponegoro yang
sangat menguasai medan pertempuran. Ia meletakkan senjata setelah panglima
perang laskar Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, menyerah yang kemudian disusul
oleh Kyai Mojo dan Pangeran Mangkubumi pada tahun 1829 serta meletakkan
jabatannya sebagai Bupati Gentan Kulon Progo setelah Pangeran Diponegoro
ditangkap oleh Belanda.
Sentot dan Kartodiwirjo pernah dikirim oleh Belanda untuk membantu memadamkan Perang Padri di Sumatera Barat. Di sini Kartodiwirjo berpangkat Liutenant der Infanteri van Het Oost Indische Leger (Letnat Infanteri Angkatan Darat Hindia Timur). Karena dianggap bersekongkol dengan Kaum Padri, Sentot dengan legiunnya yang dipimpin oleh Kartodiwirjo dipulangkan kembali ke Jawa.
Selang
beberapa waktu, Sentot diasingkan ke Bengkulu hingga wafatnya, dan Kartodiwirjo
tidak diasingkan lagi tapi ia meninggal dan dimakamkan di Potrobangsan,
Magelang. Sejak itu, sang ibu membawa Bawadiman Djojodigdo meninggalkan Yogyakarta
menuju ke arah timur. Bawadiman Djojodigdo dibawa oleh ibunya ke rumah pamannya
yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Ngrowo bernama Raden Mas Tumenggung
(RMT) Notowidjojo III.
Di
dalam lingkungan rumah di Ngrowo, Bawadiman Djojodigdo mulai mengasah ilmu yang
berkenaan dengan kepemerintahan di samping gemar melakukan tirakat. Setelah
beranjak dewasa, Bawadiman Djojodigdo melanjutkan perjalanannya ke arah timur.
Ia mencoba berguru kepada Eyang Djugo (yang dimakamkan di Gunung Kawi) hingga
konon mendapatkan ilmu berupa ajian Pancasona, sebuah ajian yang menyebabkan
orang tidak akan mati bila jasadnya masih menyatu dan menyentuh tanah.
Setelah
merasa mempunyai ilmu yang cukup, Bawadiman Djojodigdo membentuk laskar kecil
rakyat untuk melakukan perlawanan kepada pasukan Belanda di daerah Blitar
selatan. Dalam masa gerilya ini, Bawadiman Djojodigdo berkesempatan mengakhiri
masa lajangnya dengan mempersunting putri Bupati Berbek R.Ng. Pringgodikdo
(1852-1866). R. Ng. Pringgodikdo sebenarnya bukanlah keturunan dari bupati
sebelumnya, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sosrokoesoemo II, yang meninggal
dunia. Pilihan jatuh pada Pringgodikdo ini karena putra-putra KRT Sosrokoesoemo
II dianggap kurang mampu untuk menduduki jabatan tersebut. Sedangkan Pringgodikdo
dinilai lebih cakap dan berbudi pekerti yang baik, selain itu juga memiliki
pengalaman yang cukup ketimbang
calon-calon lain yang diusulkan, sehingga ia dianggap mampu dan pantas untuk
menggantikan KRT Sosrokoesoemo II.
Dalam sejumlah perlawanan, Bawadiman Djojodigdo beberapa kali sempat tertangkap dan ditembak tapi dia masih bisa selamat, yang akhirnya membuat Belanda menjadi takut terhadap kesaktian Bawadiman Djojodigdo dan pengikutnya. Hal ini yang kemudian menyebabkan pihak Belanda melepaskan pengawasan yang ketat terhadap Kadipaten Blitar.
Setelah
wilayah Kadipaten Blitar dirasa aman dari campur tangan Belanda yang ketat,
kemudian Adipati Blitar kala itu mengirim utusan untuk menemui Bawadiman
Djojodigdo agar mau datang ke pendopo kadipaten untuk ditawari posisi sebagai
patih. Pertama, permintaan tersebut ditolaknya dengan halus, kemudian pada
kunjungan utusan yang kedua, Bawadiman Djojodigdo bersedia memenuhi undangan
Adipati Blitar dan sekaligus mau menerima tawaran dari Adipati Blitar karena
patihnya pada waktu itu dikabarkan meninggal dan harus segera dicarikan
penggantinya.
Sebagai
seorang keturunan darah biru dan pernah tinggal di kraton serta pernah ikut
pamannya di Ngrowo, maka ketika diangkat menjadi patih di Kadipaten Blitar pada
8 September 1877, Bawadiman Djojodigdo sudah tak asing lagi dengan
pemerintahan. Dalam tugasnya, Bawadiman Djojodigdo mampu mengambil kebijakan
yang cakap. Hal inilah yang membuat senang dan puas sang Adipati Blitar. Karena
kecakapan ini kemudian sang Adipati memberinya sebidang tanah yang luas di
Jalan Melati, Blitar.
Di
tanah perdikan ini, Bawadiman Djojodigdo membangun sebuah rumah besar untuk
keluarganya pada tahun 1829, dan dulu rumah ini dikenal dengan Dalem Kepatihan.
Rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh dan kini dikenal dengan
Pesanggrahan Djojodigdan.
Pengunjung
dapat memasuki pesanggrahan tersebut setelah minta izin dulu kepada juru
pelihara rumah tersebut. Di dalam pesanggrahan ini tersimpan berbagai perabotan
rumah tanggan dari Patih R.Ng. Bawadiman Djojodigdo, seperti meja kursi, payung
pusaka, ranjang, gentong penyimpan beras, silsilah maupun foto-foto keluarga.
Di antara foto tersebut terdapat foto Kanjeng Raden Mas Adipati Ario (KRMAA)
Singgih Djojoadiningrat yang menjadi Bupati Rembang. KRMAA Singgih
Djojoadiningrat adalah putra dari R.Ng. Bawadiman Djojodigdo, yang juga
merupakan suami dari Raden Ajeng Kartini.
Pada
saat ini areal lahan Pesanggrahan Djojodigdan memiliki luas 2,7 hektar. Rumah
ini pernah mengalami pembangunan besar-besaran yang dilakukan oleh KRMAA
Singgih Djojoadiningrat sebagai bakti anak kepada orangtuanya. Keunikan lain
yang dimiliki pesanggrahan ini adalah adanya makam Bawadiman Djojodigdo di
pojok belakang pekarangan. Makam ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan
sebutan Makam Gantung karena kekhasan bentuk cungkupnya. Konon di cungkup
inilah tersimpan busana kebesaran, pusaka-pusaka dan ajian Pancasona milik
Bawadiman Djojodigdo.
Kontribusi
R.Ng. Bawadiman Djojodigdo terhadap masyarakat Blitar erat kaitannya dengan
peran patih sebagai figur priyayi Jawa pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Sebagai Patih Blitar pada tahun 1877-1895, dia mempunyai andil besar dalam
mendampingi Bupati Blitar KPH Warsokoesoemo mengelola puncak pemerintahan dan
pembangunan Regentschap Blitar hingga
membentuk kawasan Gemeente Blitar. *** [230617]
Kepustakaan:
https://daerah.sindonews.com/read/930765/29/kisah-patih-djojodigdo-pemilik-aji-pancasona-1417269062/26
https://www.facebook.com/kamatpace/posts/232398593604217
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sejarah/article/view/44999
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjatim/2017/02/22/sejarah-pesanggrahan-djojodigdan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar