Setelah
puas mengekplorasi rumah Abdul Fattah, rombongan Gelar Potensi Wisata Kampung
Kota singgah di Dalem Roesradi
Widjojosawarno sebelum melanjutkan perjalanan ke Sumur Bandung, Sumur Kamulyan,
dan Sumur Ngampok. Dalem ini terletak
di Jalan Empu Sedah No. 8 RT. 01 RW. 02 Kelurahan Kemlayan, Kecamatan Serengan,
Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi dalem ini berada di sebelah barat Batik Keris Nonongan, atau
sekitar 200 m sebelah timur Ginza Salon.
Sebelumnya,
rumah atau dalem ini dikenal dengan Dalem Mloyosetiko, seorang abdi dalem Kraton Kasunanan Surakarta bagian
karawitan. Mloyosetiko dikenal sebagai seorang seniman priyayi yang menemukan
notasi yang terbuat dari rantai yang kemudian dikenal dengan notasi rantai.
Notasi rantai merupakan salah satu notasi gamelan yang turut berperan penting
di bidang kesenian, karena gamelan kini dikenal di dunia internasional. Notasi
tersebut mampu berfungsi untuk mendokumentasikan suatu irama lagu atau gending
Jawa.
Setelah Mloyosetiko tiada, dalem ini kemudian ditempati oleh keluarga dari Mloyosetiko. Salah satu putri dari Mloyosetiko menikah dengan Roesradi Widjojosawarno, seorang penilik olahraga. Kantornya dulu masih berada di Pamedan, Mangkunegaran. Roesradi Widjojosawarno berasal dari Sondakan, Laweyan. Masa kecilnya berada di rumah di depan Lumbung Batik, yang sekarang menjadi BRI Unit Laweyan.
Lingkungan
Sondakan yang terkenal akan seni batiknya, menempa Roesradi Widjojosawarno
mahir dalam melukis foto pakai pensil dan membuat pola-pola lukis batik.
Kemahirannya ini yang mengantarkan Roesradi Widjojosawarno dipercaya untuk
membuat Wayang Wahyu. Wayang Wahyu adalah wayang yang penggambaran
tokoh-tokohnya dan alur ceriteranya diambil dari Alkitab, baik dari Perjanjian
Lama maupun Baru.
Wayang Wahyu resmi berdiri pada 2 Februari 1960 di Surakarta, atau yang dikenal dengan Kota Solo. Gagasan awal pembuatan wayang ini didasari oleh keinginan kuat untuk memiliki sebuah media pewartaan iman Katolik yang dapat mendekatkan Katolik dengan masyarakat Jawa pada waktu itu. Pelopor realisasi gagasan ini datang dari Bruder Timothius L. Wignyosoebroto, FIC. Dalam mewujudkan gagasan tersebut, Bruder Timothius L. Wignyosoebroto dibantu tiga rekannya yaitu Ki Atmowijoyo selaku dalang dan penulis naskah, R. Roesradi Widjojosawarno sebagai pembuat wayang, dan J. Soertamo yang bertugas di bagian gending dan karawitan. Sedangkan, bahan kulitnya dipasok oleh Sadinoe Songkopamilih.
R. Roesradi
Widjojosawarno merealisasikan Wayang Wahyu dengan membuat gunungan atau kayon,
malaikat, setan, Adam, Hawa, hewan-hewan, api neraka, pohon, Yusuf, Maria,
Yesus masa kanak-kanak, para gembala, juru penginapan, gua Natal, dan
lain-lain.
Bahan dasar figur tokoh yang ada di Wayang Wahyu awalnya tidak terbuat dari kulit tetapi dari karton. Tokoh-tokoh ini disungging dan distilir dalam wujud dua dimensi, berwajah manusia sebenarnya, tangan lebih pendek daripada tangan di Wayang Purwa dengan tangkai dari bambu. Banjir bandang tahun 1966 telah merusakkan wayang yang terbuat dari karton tersebut. Berawal dari peristiwa itu, timbul kesadaran untuk melakukan penyempurnaan bentuk, tatahan, sunggingan, cempurit dan tangan dengan bahan dari kulit kerbau dan tanduk kerbau seperti halnya Wayang Purwa.
Setelah
purna tugas dari pegawai negeri sipil (PNS), Roesradi Widjojosawarno sempat
ditarik oleh Iwan Tirta sebagai desainer batik untuk memperkuat usaha batik
yang telah ditekuni oleh Iwan Tirta. Keahlian dan prestasi yang dimiliki oleh
Roesradi Widjojosawarno ini, menyebabkan dirinya juga cukup dikenal oleh masyarakat.
Meski bermula dari seorang seniman lukis, namun Roesradi Widjojosawarno tidak
canggung untuk menetap di Kampung Kemlayan yang dikenal sebagai Kampung Seniman
itu, yang notabene seniman tari dan karawitan.
Sekarang,
bangunan joglo yang yang didominasi warna hijau dan coklat ini sering menjadi
tempat latihan tari yang diselenggarakan oleh Sanggar Tari Pamungkas yang dulu
diprakarsai oleh S. Ngaliman, seorang abdi
dalem Kraton Kasunanan Surakarta bidang tari, empu tari ISI Surakarta
sekaligus pemrakarsa perkumpulan kesenian masyarakat Kemlayan. Pada waktu
kunjungan di bangunan joglo ini, penulis menjumpai dua orang warga asing yang indekost di sini. Yang perempuan dari
Jepang, dan yang laki-lakinya berwajah bule. Keduan warga asing ini memang
ingin belajar kesenian tari di rumah berumur ratusan tahun lebih, yang kini
dikenal dengan Dalem Roesradi
Widjojosawarno. *** [020917]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar