Sore itu langit cerah. Bersama teman, ngabuburit ke Malang. Refreshing sebentar untuk mengurangi kepenatan sambil menunggu datangnya buka puasa. Dengan membonceng teman berkendara REVO keluaran tahun 2015, berangkatlah ke Kampung Warna-Warni Tridi dan Jodipan.
Di sana kita memuaskan mata dengan aneka warna-warni cat yang menghiasi rumah-rumah penduduk di tepian sepanjang Sungai Brantas. Tak hanya itu, saya pun bisa mengabadikan sebuah kereta api yang sedang melintas di atas jembatan yang di bawahnya adalah jalan beraspal. Jembatan jalur rel ini, oleh warga sekitar dikenal dengan Viaduk Buk Gluduk.
Viaduk ini terletak di Jalan Panglima Sudirman, Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi viaduk ini berada pada pertemuan antara Jalan Gatot Subroto, Jalan Trunojoyo, dan Jalan Panglima Sudirman, atau sebelah utara Jembatan Jodipan.
Pembangunan viaduk ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel Malang-Kepanjen-Wlingi-Blitar sepanjang 74 kilometer, yang dikerjakan oleh Staatsspoorwegen (SS) dari tahun 1896 hingga tahun 1897. SS adalah perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1875. SS menjadi perusahaan besar pesaing Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Jalur pertama yang dibangun oleh SS adalah lintas Surabaya-Pasuruan, dengan lintas cabang dari Bangil menuju Malang. Pada perkembangannya, cakupan SS semakin luas. SS juga membangun jalur kereta api di berbagai daerah lain.
SS sendiri terbagi dalam beberapa wilayah operasional. SS Oosterlijnen mendominasi area jalur kereta api di Jawa Timur (terutama wilayah selatan dan timur) dan sedikit di wilayah timur Jawa Tengah. Termasuk jalur SS yang menyatu dengan jalur NIS di lintas Yogyakarta-Surakarta, yang berlanjut dari Surakarta ke Madiun. Seentara itu, SS Westerlijnen menguasai jalur selatan Jawa Tengah hingga Priangan. Mulai dari Yogyakarta menuju Kroya, di mana terdapat percabangan lintas selatan menuju Priangan selatan hingga Bandung-Bogor via Sukabumi dan utara menuju Cirebon hingga Batavia. Dari Batavia, jalur SS masih berlanjut hingga ujung barat Pulau Jawa. Sedangkan di Sumatera, jalur milik SS tersebar di wilayah Sumatera bagian selatan (Staatspoorwegen op Zuid-Sumatera/ZSS), Sumatera Barat (Staatsspoorwegen ter Sumatera’s Wetkust/SSS), dan Aceh (Atjeh Tram/AT atau Atjeh Staatsspoorwegen/ASS).
Olivier Johannes Raap dalam bukunya Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramdeia, 2017, hal. 56) menerangkan bahwa, viaduk ini merupakan jembatan pertama yang berlokasi beberapa ratus meter di sebelah selatan Stasiun Malang Kotabaru. Nama aslinya Spoorbrug te Malang (Jembatan Kereta Api di Malang).
Konon, nama Buk Gluduk diambil dari suara menggeluduk yang timbul ketika kereta api melintas jembatan tersebut. Buk dalam bahasa Jawa berasal dari bahasa Belanda boog, yang artinya pelengkungan, meskipun jembatan ini tidak berbentuk lengkung. Lama-kelamaan kata ‘buk’ digunakan untuk menyebut semua bentuk jembatan saja.
Dulu, di atas tiang penyangga yang dekat dengan Jalan Untung Suropati Selatan terlihat tiang sinyal masuk stasiun yang disebut dengan sinyal tebeng. Sinyal itu berfungsi untuk membimbing bagi masinis yang akan melintas viaduk. Kalau bulatan berwarna merah mengarah ke pandangan masinis yang akan melalui rel tersebut berarti masinis tidak boleh lewat, tapi kalau diputar 90 derajat (as tegak) sehingga hanya tampak dari jauh sebagai bentuk plat pipih dan tidak kelihatan warna apa-apa maka jalur tersebut aman untuk dilewati sang masinis. Sekarang, sinyal mekanik paling kuno berbentuk bulatan itu sudah tidak ada lagi.
Pada 1920-an viaduk ini pernah direnovasi, dan konstruksi besi yang baru masih mampu bertahan sampai sekarang. Viaduk dalam kisah perjalanan perkeretaapian di Malang ini, kini menjadi penanda yang khas menuju Kampung Wisata Warna-Warni Tridi dan Jodipan dari arah Stasiun Malang Kotabaru dan Rampal. *** [260518]
Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie Op Java En Sumatra. Kluwer Technische Boeken B.V. Deventer-Antwerpen
Prayoga, Yoga Bagus., dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia: Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher
Raap. Olivier Johannes. (2017). Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Di sana kita memuaskan mata dengan aneka warna-warni cat yang menghiasi rumah-rumah penduduk di tepian sepanjang Sungai Brantas. Tak hanya itu, saya pun bisa mengabadikan sebuah kereta api yang sedang melintas di atas jembatan yang di bawahnya adalah jalan beraspal. Jembatan jalur rel ini, oleh warga sekitar dikenal dengan Viaduk Buk Gluduk.
Viaduk ini terletak di Jalan Panglima Sudirman, Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi viaduk ini berada pada pertemuan antara Jalan Gatot Subroto, Jalan Trunojoyo, dan Jalan Panglima Sudirman, atau sebelah utara Jembatan Jodipan.
Pembangunan viaduk ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel Malang-Kepanjen-Wlingi-Blitar sepanjang 74 kilometer, yang dikerjakan oleh Staatsspoorwegen (SS) dari tahun 1896 hingga tahun 1897. SS adalah perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1875. SS menjadi perusahaan besar pesaing Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Jalur pertama yang dibangun oleh SS adalah lintas Surabaya-Pasuruan, dengan lintas cabang dari Bangil menuju Malang. Pada perkembangannya, cakupan SS semakin luas. SS juga membangun jalur kereta api di berbagai daerah lain.
SS sendiri terbagi dalam beberapa wilayah operasional. SS Oosterlijnen mendominasi area jalur kereta api di Jawa Timur (terutama wilayah selatan dan timur) dan sedikit di wilayah timur Jawa Tengah. Termasuk jalur SS yang menyatu dengan jalur NIS di lintas Yogyakarta-Surakarta, yang berlanjut dari Surakarta ke Madiun. Seentara itu, SS Westerlijnen menguasai jalur selatan Jawa Tengah hingga Priangan. Mulai dari Yogyakarta menuju Kroya, di mana terdapat percabangan lintas selatan menuju Priangan selatan hingga Bandung-Bogor via Sukabumi dan utara menuju Cirebon hingga Batavia. Dari Batavia, jalur SS masih berlanjut hingga ujung barat Pulau Jawa. Sedangkan di Sumatera, jalur milik SS tersebar di wilayah Sumatera bagian selatan (Staatspoorwegen op Zuid-Sumatera/ZSS), Sumatera Barat (Staatsspoorwegen ter Sumatera’s Wetkust/SSS), dan Aceh (Atjeh Tram/AT atau Atjeh Staatsspoorwegen/ASS).
Olivier Johannes Raap dalam bukunya Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramdeia, 2017, hal. 56) menerangkan bahwa, viaduk ini merupakan jembatan pertama yang berlokasi beberapa ratus meter di sebelah selatan Stasiun Malang Kotabaru. Nama aslinya Spoorbrug te Malang (Jembatan Kereta Api di Malang).
Konon, nama Buk Gluduk diambil dari suara menggeluduk yang timbul ketika kereta api melintas jembatan tersebut. Buk dalam bahasa Jawa berasal dari bahasa Belanda boog, yang artinya pelengkungan, meskipun jembatan ini tidak berbentuk lengkung. Lama-kelamaan kata ‘buk’ digunakan untuk menyebut semua bentuk jembatan saja.
Dulu, di atas tiang penyangga yang dekat dengan Jalan Untung Suropati Selatan terlihat tiang sinyal masuk stasiun yang disebut dengan sinyal tebeng. Sinyal itu berfungsi untuk membimbing bagi masinis yang akan melintas viaduk. Kalau bulatan berwarna merah mengarah ke pandangan masinis yang akan melalui rel tersebut berarti masinis tidak boleh lewat, tapi kalau diputar 90 derajat (as tegak) sehingga hanya tampak dari jauh sebagai bentuk plat pipih dan tidak kelihatan warna apa-apa maka jalur tersebut aman untuk dilewati sang masinis. Sekarang, sinyal mekanik paling kuno berbentuk bulatan itu sudah tidak ada lagi.
Pada 1920-an viaduk ini pernah direnovasi, dan konstruksi besi yang baru masih mampu bertahan sampai sekarang. Viaduk dalam kisah perjalanan perkeretaapian di Malang ini, kini menjadi penanda yang khas menuju Kampung Wisata Warna-Warni Tridi dan Jodipan dari arah Stasiun Malang Kotabaru dan Rampal. *** [260518]
Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie Op Java En Sumatra. Kluwer Technische Boeken B.V. Deventer-Antwerpen
Prayoga, Yoga Bagus., dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia: Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher
Raap. Olivier Johannes. (2017). Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Bisa jadi karena dahulu bahasa Belanda nya jembatan adalah "brug", dan ditambah dengan konstruksi jembatan yang sangat sering dijumpai pada zaman dahulu adalah jembatan model melengkung, maka masyarakat menyederhanakan penyebutan jembatan nya dengan nama "buk".
BalasHapus