Penulis : Budiarto Eko Kusumo |
Dari Keboen Kopi Karanganjar atau De Karanganjar Koffieplantage, perjalanan pun dilanjutkan menuju ke Alun-Alun Kota Blitar yang berjarak sekitar 16 kilometer. Alun-Alun Kota Blitar terletak di pusat Kota Blitar, tepatnya berada di sisi utara ruas Jalan Merdeka, Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur. Lokasinya berada di antara Masjid Agung Kota Blitar (barat), Pendopo Kabupaten (utara), Kantor Wali Kota Blitar (barat daya), dan Penjara (timur).
Di alun-alun, saya besama tiga teman mencoba melepas lelah sambil menikmati rindangnya pohon beringin yang di atasnya banyak bertengger burung bangau putih. Orang Jawa menyebutnya Manuk Kuntul atau Blekok (Ardeola grayii).
Tiap sore burung-burung Kuntul itu akan bersarang di pepohonan beringin yang mengelilingi Alun-Alun Kota Blitar. Mereka bertengger untuk melepas lelah setelah perjalanan panjangnya mencari makanan di areal persawahan yang ada di Kabupaten Blitar.
Hingar bingar suara dan tingkah polah burung Kuntul akan mengundang siapapun untuk memandangnya di alun-alun itu. Alun-alun merupakan hamparan lapangan rumput atau pasir yang ditanami pohon beringin, baik di pinggir maupun di tengahnya (ringin kurung). Lapangan rumput tersebut dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi Kediaman Dinas Bupati (Pendopo Kabupaten).
Alun-Alun Kota Blitar merupakan salah satu peninggalan sejarah dalam perjalanan Kabupten Blitar. Sebelumnya pusat pemerintahan Kabupaten Blitar berada di pinggir Sungai Pakunden, namun terus dipindahkan kemari karena terkena aliran lahar letusan Gunung Kelud. Realisasi pembangunan alun-alun ini dilakukan oleh Bupati Blitar KPH Warsoekoesoemo berbarengan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Blitar yang akan menjadi Rumah Dinas sekaligus Kantor Bupati, yang dimulai pada tahun 1875 dan selesai pada tahun 1876.
Dalam pembangunan alun-alun itu, diterapkan sebuah pakem yang juga digunakan oleh daerah-daerah di wilayah Jawa pada umumnya, yakni dikelilingi oleh kediaman penguasa pada bagian utara, penjara pada bagian timur, kantor pemerintahan pada bagian selatan, dan masjid pada bagian barat.
Pada kurun waktu 1880 – 1910, Alun-Alun Kota Blitar sering digunakan sebagai lokasi pagelaran ritual “Rampogan Macan”. Rampogan Macan mengandung arti ‘Rebutan Macan”. Hal ini mengacu pada tradisi tersebut yang melibatkan para prajurit untuk beramai-ramai berebut kesempatan untuk membantai harimau atau macan di tengah alun-alun.
Di tanah Jawa, kebiasaan membunuh harimau sudah dilakukan pada zaman kerajaan Majapahit. Namun tradisi ini mencapai puncaknya dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat II dari Kartasura, yang diselenggarakan secara besar-besaran pada momen-momen tertentu, terutama pada saat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tradisi ini pun menyebar hingga ke Kediri dan Blitar. Di Blitar, ritual rampogan macan ini diprakarsai oleh Patih Djojodigdo.
Ritual rampogan macan ini kemudian dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tradisi pembantaian harimau ini akan mengakibatkan populasi harimaui di Jawa menurun drastis. Pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar, sehingga praktis sejak saat itu tradisi Rampogan Macan ditiadakan.
Kini, alun-alun itu mulai berubah fungsi. Semula digunakan sebagai lokasi transit bagi para pamong praja atau khalayak untuk menghadap Bupati maupun untuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Bupati, sekarang ini lebih mengedepan menjadi sebuah Ruang Tata Hijau atau taman yang terkadang juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti upacara, olahraga, area bermain, dan fungsi sosial lainnya. *** [100518]
Kepustakaan:
Brahmantya, Wima. dkk. (2017). Ensiklopedia Seni Budaya Blitar. Blitar: Dewan Kesenian Kabupaten Blitar
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjatim/sejarah-alun-alun-kota-blitar/
Di alun-alun, saya besama tiga teman mencoba melepas lelah sambil menikmati rindangnya pohon beringin yang di atasnya banyak bertengger burung bangau putih. Orang Jawa menyebutnya Manuk Kuntul atau Blekok (Ardeola grayii).
Foto: Alun-alun Kota Blitar |
Tiap sore burung-burung Kuntul itu akan bersarang di pepohonan beringin yang mengelilingi Alun-Alun Kota Blitar. Mereka bertengger untuk melepas lelah setelah perjalanan panjangnya mencari makanan di areal persawahan yang ada di Kabupaten Blitar.
Hingar bingar suara dan tingkah polah burung Kuntul akan mengundang siapapun untuk memandangnya di alun-alun itu. Alun-alun merupakan hamparan lapangan rumput atau pasir yang ditanami pohon beringin, baik di pinggir maupun di tengahnya (ringin kurung). Lapangan rumput tersebut dipisahkan oleh jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi Kediaman Dinas Bupati (Pendopo Kabupaten).
Foto: Alun-alun Kota Blitar |
Alun-Alun Kota Blitar merupakan salah satu peninggalan sejarah dalam perjalanan Kabupten Blitar. Sebelumnya pusat pemerintahan Kabupaten Blitar berada di pinggir Sungai Pakunden, namun terus dipindahkan kemari karena terkena aliran lahar letusan Gunung Kelud. Realisasi pembangunan alun-alun ini dilakukan oleh Bupati Blitar KPH Warsoekoesoemo berbarengan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Blitar yang akan menjadi Rumah Dinas sekaligus Kantor Bupati, yang dimulai pada tahun 1875 dan selesai pada tahun 1876.
Dalam pembangunan alun-alun itu, diterapkan sebuah pakem yang juga digunakan oleh daerah-daerah di wilayah Jawa pada umumnya, yakni dikelilingi oleh kediaman penguasa pada bagian utara, penjara pada bagian timur, kantor pemerintahan pada bagian selatan, dan masjid pada bagian barat.
Pada kurun waktu 1880 – 1910, Alun-Alun Kota Blitar sering digunakan sebagai lokasi pagelaran ritual “Rampogan Macan”. Rampogan Macan mengandung arti ‘Rebutan Macan”. Hal ini mengacu pada tradisi tersebut yang melibatkan para prajurit untuk beramai-ramai berebut kesempatan untuk membantai harimau atau macan di tengah alun-alun.
Foto: Alun-alun Kota Blitar |
Di tanah Jawa, kebiasaan membunuh harimau sudah dilakukan pada zaman kerajaan Majapahit. Namun tradisi ini mencapai puncaknya dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat II dari Kartasura, yang diselenggarakan secara besar-besaran pada momen-momen tertentu, terutama pada saat menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tradisi ini pun menyebar hingga ke Kediri dan Blitar. Di Blitar, ritual rampogan macan ini diprakarsai oleh Patih Djojodigdo.
Ritual rampogan macan ini kemudian dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tradisi pembantaian harimau ini akan mengakibatkan populasi harimaui di Jawa menurun drastis. Pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar, sehingga praktis sejak saat itu tradisi Rampogan Macan ditiadakan.
Kini, alun-alun itu mulai berubah fungsi. Semula digunakan sebagai lokasi transit bagi para pamong praja atau khalayak untuk menghadap Bupati maupun untuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Bupati, sekarang ini lebih mengedepan menjadi sebuah Ruang Tata Hijau atau taman yang terkadang juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti upacara, olahraga, area bermain, dan fungsi sosial lainnya. *** [100518]
Kepustakaan:
Brahmantya, Wima. dkk. (2017). Ensiklopedia Seni Budaya Blitar. Blitar: Dewan Kesenian Kabupaten Blitar
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjatim/sejarah-alun-alun-kota-blitar/
Kapan Alun Alun Kabupaten Blitar beralih menjadi Alun Alun Kota Blitar ? Trimakasih
BalasHapus