Lahirnya Politik Etis (Ethische Politiek) pada tahun 1901 memberikan pengaruh yang besar bagi Hindia Belanda. Timbulnya perasaan bersalah di kalangan segolongan bangsa Belanda akan kemiskinan dan keterbelakangan Hindia Belanda, yang secara terus menerus dikuras kekayaan demi keuntungan Belanda. Golongan inilah yang melahirkan Politik Etis, yang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat untuk membayar “hutang kehormatan” kepada Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Ada tiga sasaran yang dilaksanakan oleh Belanda untuk perbaikan kesejahteraan rakyat di negeri jajahannya dalam Politik Etis itu, yaitu perbaikan irigasi untuk meningkatkan pertanian, transmigrasi untuk menyebarkan penduduk Jawa yang padat ke daerah lain, dan pendidikan untuk meningkatkan pendidikan umum untuk rakyat.
Dari ketiga sasaran dari Politis Etis yang dilaksanakan itu, pendidikan memiliki sejarah dan dampak yang luar biasa bagi penduduk daerah jajahan Belanda terutama Hindia Belanda. Sebelumnya di Hindia Belanda hanya terdapat dua macam sekolah yang didirikan pada tahun 1892, yaitu Sekolah Angka Satu khusus untuk anak bumiputra terkemuka dan Sekolah Angka Dua untuk anak-anak bumiputra pada umumnya. Setelah munculnya Politik Etis, pendidikan di Hindia Belanda mulai mendapat perhatian khusus yang menyebabkan dalam dua warsa petama setelah tahun 1900, yaitu lembaga pendidikan dasar di Hindia Belanda.
Bangunan Utama SMA Negeri 1 Surakarta (Dipotret pada 30 Juni 2014) |
Salah satu yang berperan dalam pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah Zending Gereformeerde, sebuah organisasi pekabaran Injil Gereformeerde. Tujuannya untuk melakukan pekabaran Injil melalui jalur sekolah formal.
Kemunculan organisasi Zending Gereformeerde di Hindia Belanda ini tidak terlepas dari peran pemerintah Kolonial Belanda. Pemberian izin untuk mendirikan sekolah-sekolah Kristen pada tahun 1916 di Surakarta, memberi angin segar untuk lembaga pendidikan Zending Gereformeerde mewujudkan pendidikan yang modern model Belanda yang bercorak krisitiani. Peran Zending Gereformeerde dalam pendidikan formal di Surakarta, atau yang dikenal dengan Kota Solo adalah melalui sekolah-sekolah Kristen yang didirikan. Salah satunya adalah Sekolah Ratu Emma (Koningin Emma School te Soerakarta).
Menurut H.A. van Andel, seorang pendeta dan perintis Zending di Surakarta, yang termaktub dalam Zendingsblad van de Gereformeerde Kerken in Nederland (dipublikasikan pada 1 November 1919), diterangkan bahwa Sekolah Ratu Emma dibuka pada 31 Maret 1918 dengan 12 siswa pada awalnya. Sekolah ini memiliki guru Ms. Eelderink, sebelumnya guru di Lemmer (Belanda) dan kepala sekolah Ms. H.M. Hemmes, sebelumnya seorang guru di Delft (Belanda).
Sekolah Ratu Emma merupakan sebuah sekolah untuk anak perempuan dari bangsawan Jawa. Sehingga, anak didik dari sekolah itu semuanya merupakan anak perempuan, dan termasuk pendidik atau gurunya juga perempuan dan rata-rata masih menyandang status nona (Miss/Ms.).
Bangunan Utama SMA Negeri 1 Surakarta (Dipotret pada 10 Oktober 2017 saat menjemput anak wedok di SMA Negeri 2 Surakarta) |
Awalnya aktivitas pendidikannya masih berada di rumah yang disewa atau dikontrak (huurhuis) oleh Zending di sekitar De Gereformeerde Kerk van Solo (sekarang GKJ Margoyudan). Kemudian selang empat tahun, proses belajar mengajarnya sudah menempati gedung yang baru, megah dan luas. Peresmian gedung baru untuk Sekolah Ratu Emma dilakukan bertepatan dengan perayaan sepuluh tahun Zending Surakarta.
Surakarta resmi terbuka untuk pekabaran Injil sejak tahun 1910. Zending der Gereformeerde Kerken (ZGK) mengutus Pendeta Zending van Andel atau nama lengkapnya Huibert Anthonie van Andel untuk melakukan pekabaran Injil di Surakarta. Van Andel inilah yang memiliki andil yang besar dalam kemajuan pendidikan Kristen, sekolah Kristen dan rumah sakit Kristen di Kota Solo (Surakarta).
Sekolah Ratu Emma ini sebenarnya merupakan Hollandsch Inlandsche School (HIS), yaitu sekolah dasar yang ditempuh dalam waktu tujuh tahun. Yang bisa bersekolah di sini hanya orang pribumi keturunan bangsawan atau tokoh terkemuka. Hanya saja, yang menjadi kekhasan Sekolah Ratu Emma ini adalah HIS yang dikhususkan untuk anak perempuan saja (een school voor meisjes uit den Javaanschen adel) dan berasrama (internaat). Dulu yang bisa bersekolah di Sekolah Ratu Emma umumnya adalah anak perempuan priyayi yang berasal dari Kasunanan Surakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran.
Setelah menempati gedung yang besar, jumlah siswa semakin bertambah. Pada tahun 1924 dilaporkan terdapat 109 siswa dan yang berasrama ada 38 orang. Setiap tahunnya siswa itu kian bertambah. Walaupun sekolah tersebut merupakan sekolah Kristen, namun tidak kekurangan murid karena orang-orang Jawa berhasrat besar mendapat pendidikan yang maju bagi anak-anaknya.
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, dalam bidang pendidikan awalnya melakukan kebijakan dengan menutup semua jenis sekolah Belanda. Hal ini dilakukan Jepang untuk menghapuskan pengaruh Barat terhadap orang pribumi yang ada di Hindia Belanda. Melalui Undang-Undang Nomor 12 yang dikeluarkan pada 29 April 1942, diumumkan bahwa sekolah pribumi masih diperbolehkan untuk dibuka kembali, sedangkan sekolah bekas pendidikan Belanda (Barat) tidak diizinkan untuk beroperasi lagi.
Sekolah Ratu Emma Solo (Sumber: https://hi-in.facebook.com/kota.solo.jateng/photos/) |
Undang-Undang ini secara eksplisit juga melarang Sekolah Ratu Emma beraktivitas lagi. Inilah akhir dari sekolah yang bernama Ratu Emma. Namun demikian, di tengah para pendeta dan guru yang berkebangsaan Belanda atau Eropa lainnya menjadi interniran (tawanan Jepang), sesungguhnya denyut pendidikannya masih berlangsung. R.R. Soejatilah yang bertunangan dengan Asah (saudara laki-laki Misromo Asah) bersama rekannya berusaha mempertahankan Sekolah Ratu Emma di Surakarta dengan mengganti nama menjadi Sekolah Kristen Margoyudan selama pendudukan Jepang.
Akan tetapi usaha itu pun tak bisa membantu terlalu lama bagi kelangsungan sekolah besutan R.R. Soejatilah tersebut. Hal ini disebabkan antara lain sekolah itu harus mandiri dalam pendanaan. Sewaktu masih bersatus sebagai Sekolah Ratu Emma, sekolah itu mendapat bantuan pendanaan dari Pemeintah Hindia Belanda dan Komisi Bantuan Zending yang bermarkas di Belanda. Selain itu, setelah Indonesia merdeka, situasi pada waktu itu juga belum menentu. Situasi perang kemerdekaan masih berkecamuk hingga Class II atau Agresi Militer Belanda II.
Pada 15 Desember 1949 aktivitas yang berada di bangunan Sekolah Ratu Emma berdenyut lagi. Semula Sekolah Menengah Tinggi yang pernah vakum dalam situasi perang, atas perintah Mendikbud untuk membuka kembali, dan menempati bekas Sekolah Ratu Emma tersebut. Sebelumnya SMT yang berdiri di Manahan (sekarang SMP Negeri 1) dan pernah mengungsi ke Mangkunegaran (dulu di SMP Negeri 2). Berdasarkan Surat Keputusan Nomor XX/12/1949, pembukaan resmi SMT di gedung bekas Sekolah Ratu Emma, dan sekaligus kedudukan SMT diganti namanya menjadi SMA Negeri A/B Margoyudan.
Kegiatan persekolahan di SMA Negeri A/B Margoyudan itu awalnya dibagi menjadi 2 kelas, yaitu 12 kelas untuk siswa biasa masuk pagi, dan 12 kelas untuk mantan pejuang masuk sekolah siang hari. Pada Juni 1950 diselenggarakan Ujian Penghabisan IV (pertama bagi SMA Margoyudan). Pesertanya seluruh siswa SMA Negeri dan SMA Swasta (salah satu di antaranya SMA Kristen) di Kota Solo, semuanya ditampung di SMA Negeri Margoyudan tersebut.
Kemudian pada November 1950 atas permohonan dari pelajar yang berasal dai mantan pejuang (Tentara Pelajar), maka dibuka 6 kelas tambahan pada waktu malam hari. Kelas tersebut diperuntukkan bagi mantan pejuang tersebut.
Pada 17 Agustus 1951 SMA Margoyudan resmi menambah sekolah A/B malam yang terdiri atas enam kelas. Sejak itu di gedung bekas Sekolah Ratu Emma terdapat SMA Negeri A/B I, SMA Negeri A/B II, dan SMA Negeri A/B I Bagian Malam di bawah satu pimpinan.
Pada 1 Agustus 1958 SMA A/B Margoyudan dipecah menjadi tiga SMA. SMA Negeri A/B I menjadi SMA Negeri 1, SMA Negeri A/B II menjadi SMA Negeri 2, dan SMA Negeri A/B I Bagian Malam menjadi SMA Negeri 3. Ketiga SMA tersebut memiliki kepala sekolah masing-masing.
Pada 30 Januari 1967 SMA Negeri 3 pindah dari Margoyudan No. 56 (sekarang Jalan Monginsidi No. 40) ke Jalan Warung Miri No. 90 (sekarang berubah menjadi Jalan RE Martadinata No. 143). Jadi semenjak itu di Margoyudan tinggal ada dua SMA yang menempati bekas gedung Sekolah Ratu Emma, yaitu SMA Negeri 1 (SMANSA) dan SMA Negeri 2 (SMADA). SMA Negeri 1 menempati sisi timur, dan SMA Negeri 2 menempati sisi barat dari bekas gedung Sekolah Ratu Emma.
Pada waktu itu, bangunan Sekolah Ratu Emma yang bergaya arsitektur kolonial itu masihlah utuh. Artinya, semula sisi timur dan barat dari bangunan gedung utama sekolah ini berbentuk simetris, serupa dan seukuran. Sebagai pusat simetrisnya berada di bangunan utama gedung sekolah tersebut yang sekarang dimiliki oleh SMA Negeri 1 Surakarta.
Dilhat dari foto lawas, tampak bahwa gedung ini terlihat kokoh dan megah. Gaya arsitektur kolonial yang terlihat, memiliki bentuk campuran arsitektur Nusantara dan arsiktekur modern Eropa yang telah disesuaikan dengan iklim, bahan bangunan dan teknologi yang berkembang pada saat itu. Unsur kolonial terlihat pada dinding yang tebal, menara, kemuncak, gevel, dan skala bangunan. Sedangkan unsur Jawanya terletak pada bentuk atap limasaannya.
Gable atau gevel berada pada bagian tampak depan berbentuk segitiga yang mengikuti bentukan atap dan bertuliskan SMA 1. Gevel itu diapit oleh dua menara yang sama ukurannya dan bertingkat dua, berbentuk segi empat.
Di atas atap bangunan utama antara dua menara juga terdapat menara ukuran kecil semacam kemuncak. Di tempat asalnya, Belanda, menara kemuncak itu biasanya menjulang tinggi, dan terkadang digunakan sebagai ruang atau cerobong asap untuk perapian.
Setiap bangunan kelasnya digunakan pintu dan jendela yang cukup lebar dengan selasar yang ditopang oleh kolom dengan lengkungan-lengkungan. Hal ini agar supaya sirkulasi udara dan pencahayaan alami terasa di setiap ruang kelasnya.
Kini, bangunan bekas gedung Sekolah Ratu Emma itu sudah tak simetris lagi, terutama yang ditempati oleh SMA Negeri 2 Surakarta telah berubah bentuk dari aslinya. Kendati demikian bagi yang meminati bangunan kuno di Kota Solo masih dapat menyaksikan sisa-sisa kemegahan bangunan Sekolah Ratu Emma Solo, yang terletak di Jalan Monginsidi No. 40 Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi itu dulunya dikenal dengan sebutan Margojoedanweg. *** [060520]
Kepustakaan:
Nederlandsch zendings-jaarboekje. Geraadpleegd op Delpher op 05-05-2020, http://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMZEND01:002702001:00001
Moehadi, dkk.. (1997). Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Tengah (2). Jakarta, Indonesia: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pradewi, A., Sutimin, L.A., & Kurniawan, D.A. (2019). Peran Zending Dalam Pendidikan Di Surakarta Tahun 1910-1942 dan Relevansinya Dengan Materi Sejarah Pendidikan. Jurnal CANDI 19 (2), 154-172. Diunduh dari https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/viewFile/35601/23132
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. (1981). Sejarah pendidikan daerah Jawa Tengah. [Semarang] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah
https://hi-in.facebook.com/kota.solo.jateng/photos/a.1112571485463241/2735889103131463/?type=3&theater
https://www.digibron.nl/viewer/collectie/Digibron/offset/6/zoekwoord/Koningin+Emma-school/id/adff64443a01f32ce99ad515c9b03c7c
Nice info, thanks for share, oh ya saya mau berbagi, baru saja saya menemukan Video Viral orang habis ikut kursus bahasa arab online trus minum Kopi Terbaik sambil simak Media Kalteng trus mau Paid Promote untuk Jual Akik Gambar dengan corak Batik Tulis Pakai Sandal Wanita sambil makan Donut Kentang
BalasHapus