Stasiun Kereta Api Boyolali (BI) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Boyolali, merupakan salah satu stasiun kereta api non aktif yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta yang berada pada ketinggian +400 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Duren No. 10, Kelurahan Siswodipuran, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di sebelah selatan Kantor Pos Boyolali ± 190 m, atau sebelah barat daya Mall Luwes ± 250 m.
Pembangunan Stasiun Boyolali bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Purwosari-Boyolali sejauh 27 kilometer. Pengerjaan jalur rel dan stasiun itu dilakukan oleh Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM) dari tahun 1897 sampai dengan tahun 1898.
SoTM adalah perusahaan trem perkotaan di Kota Solo. Sebelum menggunakan lokomotif uap, SoTM mulai beroperasi menggunakan tenaga kuda (paardentram). Jalurnya meliputi Jebres-Pasar Besar-Benteng Vastenburg-Kauman-Derpoyudan-Pasar Pos. Jalurnya juga melewati depan Taman Sriwedari dan berakhir di Stasiun Purwosari, yang kemudian dilanjutkan ke arah barat menuju Gembongan-Kartasura-Bangak, Banyudono, Mojosongo hingga Boyolali.
Depo Trem Kuda di Stasiun Boyolali sekitar tahun 1900. Koleksi: KTLV 49654 |
Di latarbelakangi banyaknya perkebunan dan industri hasil olahan perkebunan yang ada di Boyolali, pembangunan jalur rel Purwosari-Boyolali perlu diwujudkan untuk melayani keperluan para penyewa tanah (landhuurder) berkebangsaan Belanda maupun Eropa lainnya, yang berada di Vorstenlanden. Komoditas tembakau, indigo dan tebu banyak dijumpai di sepanjang jalur rel tersebut pada waktu itu. Di jalur itu terdapat pabrik tembakau dan gula Bangak (tabak-en suikerfabriek Bangak), ada pabrik gula Kartasura (suikerfabriek Kartasoera) dan pabrik gula Colomadu (suikerfabriek Tjolomadoe) di percabangan Halte Gembongan.
Dalam perjalanannya, SoTM mengalami masalah keuangan dalam operasionalisasinya di sepanjang jalur rel tersebut. Keinginan beralih dari kuda menjadi lokomotif uap terasa berat untuk keuangan perusahaan. Sementara itu, kuda-kuda penarik gerbong trem banyak yang terkena penyakit lantaran kelelahan kendati setiap 4 kilometer mesti diganti kudanya. SoTM akhirnya tidak bisa bertahan lama. Pada 1905 SoTM mengalami kolaps di ambang kebangkrutan.
Dalam kondisi tersebut, seperti yang diceriterakan di dalam Nationaal Archief Nummer archieinvetaris: 2.20.52 tentang Inventaris van het archief van de Nedelands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) te Den Haag, 1863-1952, bahwa kemudian muncul dua korespondensi antara NISM dan SoTM perihal konversi SoTM (jalur trem Solo-Boyolali) pada 1906-1907, dan korespondensi antara NISM dan SoTM mengenai konversi SoTM pada 1908-1914.
Korespondensi yang pertama menghasilkan pengambilalihan jalur rel Purwosari-Boyolali beserta stasiun maupun haltenya, dan korespondensi yang kedua mengakuisisi sisa jalur rel yang dimiliki oleh SoTM yang berada di Kota Solo mulai berlaku sejak 1 Januari 1914 (SoTM in 1914 overgenomen door NISM).
Ketika jalur rel Purwosari-Boyolali sudah menjadi milik NISM, mulai 1 Mei 1908 eksploitasi trem kuda diganti dengan lokomotif uap yang bisa membawa 10 gerbong sekaligus. Sehingga, pengangkutan komoditas perkebunan maupun penumpang menjadi lebih banyak, dan yang melegakan adalah tiketnya menjadi lebih murah ketimbang ketika trem itu ditarik dengan kuda. Pergantian kepemilikan itu juga menyebabkan terjadinya perubahan nama untuk Stasiun Boyolali, dari Station Bojolali van de Solosche Tramweg Maatschappij (Stasiun SoTM di Boyolali) menjadi Station Bojolali van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (Stasiun NISM di Boyolali).
Bagi orang Belanda, pergantian nama tersebut dimaknai dengan status sosial perusahaan kereta api yang membelinya dengan ditabalkan nama perusahaannya di dalam stasiun itu, akan tetapi bagi orang pribumi perubahan itu tidak terlalu berpengaruh karena mereka masih menyebutnya dengan nama Stasiun Boyolali.
Jalur rel Purwosari-Boyolali ini pernah non aktif pada tahun 1947-1948 karena pada saat itu terjadi agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda yang ingin menguasai Indonesia lagi. Setelah itu, jalur tersebut aktif kembali untuk perjalanan trem yang telah dikelola oleh Djawatan Kereta Api (DKA).
Pada tahun 1972 jalur rel Purwosari-Boyolali akhirnya dinonaktifkan karena dianggap kalah bersaing dengan moda transportasi darat lainnya, baik angkutan umum maupun mobil pribadi. Nonaktifnya jalur rel ini sekaligus mengakhiri aktivitas stasiun maupun halte yang ada di sepanjang jalur tersebut, termasuk Stasiun Boyolali.
Kini, bekas bangunan stasiun tersebut sudah tidak berujud lagi. Diperkirakan lokasi stasiun itu sekarang berubah menjadi Panti Marhaen milik Kantor DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Boyolali. *** [040520]
Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
Prayogo, Yoga Bagus., dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia: Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher
http://colonialarchitecture.eu/islandora/object/uuid%3Ad84d0909-c2ee-4b1d-b15d-226f3727d490/datastream/PDF/view
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/901026?solr_nav%5Bid%5D=8cee1173625580ef1be7&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=10
http://www.gahetna.nl/archievenoverzicht/pdf/NL-HaNA_2.20.52.ead.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar