The Story of Indonesian Heritage

Prasasti Wurare

Sepintas orang yang melihatnya memang berupa arca Joko Dolog, yang diyakini sebagai perwujudan Raja Kertanegara. Arca yang terbuat dari batu andesit dan berdiri megah di kawasan Taman Apsari Surabaya ini, sesungguhnya memuat sebuah prasasti. Di sekeliling batur alas sandaran arca tersebut terdapat pahatan prasasti yang merupakan sebuah sajak 19 bait, ditulis dengan aksara Jawa Kuno dan berbahasa Sansekerta.
Prasasti tersebut dikenal dengan sebutan Prasasti Wurare karena ditemukannya di suatu tempat yang bernama Wurare. Banyak pendapat mengenai keberadaan Wurare. Ada yang mengatakan Wurare berada di Desa Kedungwulan, dekat Kota Nganjuk. Ada juga yang menyebutnya bahwa Wurare berada di daerah Kandang Gajah, wilayah Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Menurut Prof. DR. Poerbatjaraka yang dimuat dalam majalah Bahasa dan Budaya (No. 2 Tahun III, Desember 1954) daerah Blora itu merupakan tempat tinggal Mpu Bharada yang hidup pada zaman Raja Airlangga. Kata Poerbatjaraka, kata Blora itu berasal dari kata Wurara atau Wurare. Kata ini, jika dikupas dari segi etimologi, terdiri dari bhu, artinya tanah, dan rara atau rard, artinya anak. Sinonim kata tanah adalah lemah, dan sinonim kata anak adalah putra. Oleh karena itu, kata Wurare atau Bhurare dapat pula berarti Lemahputra. Dalam perkembangan selanjutnya, kata lemahputra menjadi lemahpatra. Kata patra, menurut Poerbatjaraka berarti surat, tulis dan citra. Sehubungan dengan ini maka timbul nama lemahtulis dan lemahcitra.


ArcaJoko Dolog dibuat oleh Kertanegara untuk dipersembahkan kepada Mpu Bharada yang tinggal di Wurare. Mpu Bharada sebagai seorang pandita dan sekaligus juga seorang pujangga yang hidup pada zaman Raja Airlangga di JawaTimur (1019-1042) sangat dihormati oleh Raja Kertanegara karena jasa-jasanya yang besar pada negara dan bangsa.
Jadi, dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa arca Joko Dolog itu semula berada di Wurare (= Blora, sekarang). Lalu, pada era Majapahit dipindahkan dari Wurare ke Majapahit. Pada zaman penjajahan Belanda, arca ini diketemukan di Trowulan, Mojokerto, di antara batang-batang kayu (yang disebut orang, dolog) pada sebuah penimbunan kayu. Karena arca berada di tengah timbunan kayu maka ia seolah-olah jaga (menjaga) timbunan kayu. Kata jaga ini kemudian berubah menjadi kata jaka. Selanjutnya, perpaduan jaka dan dolog menjadi kata Joko Dolog. Ketika Thomas Stamford Raffles berkuasa di Pulau Jawa, arca Joko Dolog diangkut dari Trowulan ke Surabaya. Maksud Raffles, arca ini akan dibawa ke negerinya, Inggris, tetapi ternyata arca tersebut tidak mau dibawa olehnya. Perahu yang akan membawa arca tersebut tidak mau dibawa olehnya. Perahu yang akan membawa arca ini ke Inggris tidak mau berlayar. Akhirnya ditinggal di Surabaya.
Prasasti Wurare bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289, dan ditulis oleh seorang abdi Raja Kertajaya bernama Bada atau Nadajna, berisi:

  1. adāu namāmi sarbājñaṃ, jñānakayan tathāgataṃ, sarwwaskandhātiguhyasthani, sad-satpakṣawarjjitaṃ.
  2. anw atas sarwwasiddhim wā, wande'hang gaurawāt sadā, çākakālam idaṃ wakṣye, rajakïrttiprakaçanaṃ.
  3. yo purā paṇḍitaç çreṣṭha, āryyo bharāḍ abhijñātah, jñānasiddhim samagāmyā, bhijñālabho munïçwarah.
  4. mahāyogïçwaro dhïrah, satweṣu kāruṇātmakah, siddhācāryyo māhawïro rāgādikleçawarjjitah.
  5. ratnākarapramāṇān tu, dwaidhïkṛtya yawāwanlm, kṣitibhedanam sāmarthya, kumbhawajrodakena wai.
  6. nrpayoṛ yuddhākaiikṣinoh, estāsmaj janggalety eṣā, pamjaluwiṣayā smṛtā
  7. kin tu yasmāt raraksemām, jaya-çrï-wiṣnuwarddhanah, çrï-jayawarddhanïbhāryyo, jagannāthottamaprabhuh
  8. ājanmapariçuddhānggah, krpāluh dharmmatatparah, pārthiwanandanang krtwā, çuddhakïrttiparākramāt
  9. ekïkrtya punar bhümïm, prïtyārthan jagatām sadā, dharmmasamrakṣanārtham wā pitrādhiṣthāpanāya ca
  10. yathaiwa kṣitirājendrag, çrï-hariwarddhanātmajah, çrï-jayawarddhanïputrah, caturdwïpegwaro munih
  11. ageṣatatwasampürnno, dharmmāgastrawidam warah, jïrnnodhārakriyodyukto, dharmmagasanadecakah
  12. çrï-jnānaçiwabajrākya, ç çittaratnawibhüsanah, prajñāragmiwiçuddhānggas, sambodhijñānapāragah
  13. subhaktyā tam pratiṣthāpya, swayaṃ purwwam pratiṣthitam, çmāçane urarenāmni, mahākṣobhyānurüpatah
  14. bhawacakre çakendrābde, māse cāsujisaṃjñāke, pañcaṃyām çuklapakse ca, ware, a-ka-bu-saṃjñāke
  15. sintanāmni ca parwwe ca, karane wiṣtisaṃskrte, anurādhe'pi naksatre, mitre ahendramandale
  16. saubhāgyayogasaṃbandhe, somye caiwa muhürttake, kyāte kuweraparwwege tulārāçyabhisaṃyute
  17. hitāya sarbasatwānām, prāg ewa nrpates sadā, saputrapotradārasva kṣityekibhāwakāranāt
  18. athāsya dāsabhüto'ham, nādajño nama kïrttinah, widyāhïno'pi saṃmuḍho, dharmmakriyāṣw atatpara
  19. dhārmmadhyakṣatwam āsādya, krpayaiwāsj'a tatwatah, sakākalam sambaddhatya, tadrājānujnayā puñah

Alihbahasa ke dalam bahasa Indonesia diambilkan dari http://menguaktabirsejarah.blogspot.com sebagai berikut:

1. Pertama-tama saya panjatkan puja puji syukur kepada Sang Tathagata (Pencipta), Sang Maha Tahu yang merupakan perwujudan dari segala pengetahuan, yang keberadaanya tersembunyi di antara semua unsur atau elemen kehidupan (skandha) dan yang terbebaskan dari segala bentuk ketiadaan dan keniscayaan.
2. Dengan segala penuh kehormatan selanjutnya atas kegemilangan yang mendunia dan yang akan dicatat sebagai sejarah pada tahun Saka masa yang menggambarkan kemuliaan raja.
3.  Adalah Arya Bharada yang terhormat di antara yang terbaik dari golongan orang-orang bijak dan orang-orang terpelajar, yang konon pada masa lampau, zaman terdahulu, berdasarkan hasil kesempurnaan pengalamannya oleh karenanya memperoleh abhijna (pengetahuan dan kemampuan supranatural).
4. Terkemuka di antara para yogi besar, yang hidupnya penuh ketenangan, penuh kasih dan makhluk yang pandai berserah diri, seorang guru Siddha, seorang pahlawan besar dan yang berhati bersih jauh dari segala noda dan prasangka.
5-6. Yang telah membagi dataran Jawa menjadi dua bagian dengan batas luar adalah lautan, oleh sarana kendi (kumbha) dan air sucinya dari langit (vajra). Air suci yang memiliki kekuatan putus bumi dan dihadiahkan bagi kedua pangeran, menghindari permusuhan dan perselisihan - oleh karena itu kuatlah Jangala sebagaimana Jayanya Panjalu (vishaya).
7-9. Tetapi, dalam hal ini Raja Sri Jaya Wisnuwadhana, yang mempunyai permaisuri Sri Jayawardhani, yang terbaik di antara para penguasa bumi, yang memiliki kesucian jiwa pada kelahirannya, penuh kasih dan penguasa keadilan, oleh sebab disegani oleh para penguasa lainnya dikarenakan kesucian dan keberaniannya dalam mempersatukan negara untuk kemakmuran rakyat, menjaga hukum dan menetapkannya dan pewaris dari penguasa keadilan sebelumnya.
10-12. Tersebutlah, seorang raja yang bernama Sri Jnanasiwawajra (red, Sri Kertanegara), putra dari Sri Hariwardhana (red, Sri Jaya Wisnuwadhana) dan Sri Jaya Wardhani, adalah raja dari empat pulau, luas ilmunya dan adalah yang terbaik dari semuanya, yang memahami segala hukum dan membuatnya, yang mempunyai kecemerlangan pikiran dan sangat bersemangat untuk melakukan pekerjaan perbaikan dalam kehidupan beragama, yang tubuhnya disucikan dengan sinar kebijaksanaan dan yang sepenuhnya memahami sambodhi (ilmu pengetahuan agama Buddha) - layaknya sang Indra diantara mereka para raja yang memerintah di bumi.
13-17. Maka dibuatlah tugu peringatan (arca) setelah pengabdiannya sebagai perlambang kebesaran dirinya yang ditahbiskan dalam bentuk perupaan Mahakshobhya, pada tahun 1211 Saka pada bulan atau Asuji (Asvina) pada hari dikenal sebagai Pa-ka-bu, hari kelima dari cahaya bulan setengah terang, sebagai mana kisah dalam Parvan bernama Sinta dan vishti karana, Ketika Para Anuradha Nakshatra berada di bola atau Indra, terus Saubhagya yoga dan Saumya muhurta dan di Tula Rasi - demi kebaikan semua makhluk, dan yang Terutama dari Semuanya, oleh karena raja dengan keluarganya, telah membawa persatuan negara.
18-19. Saya, (yaitu abdi raja, red pembuat prasasti) hamba yang rendah hati, yang dikenal dengan nama Nadajna, meskipun bodoh, tanpa belajar dan hanya sedikit melakukan kebaikan, telah melakukan atas dasar persetujuan Raja, menjadi pemandu upacara ritual keagamaan, telah diperintah oleh Vajrajnana untuk mempersiapkan kisah ini.

Kepustakaan:
Suwardi Endraswara, 2009, Metodologi Penelitian Foklore: Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: MedPress
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami