Setiap
melintas Stadion Sriwedari, terbayang sebuah memori silam. Pada 9 September
1983, saya terlibat dalam Paduan Suara SMP Negeri 19 Surakarta dengan seragam
batik yang didominasi warna hitam. Dengan menempati tribun di sebelah sisi
barat laut, kami menyanyikan lagu-lagu yang sudah dipersiapkan untuk meresmikan
Hari Olahraga Nasional (Haornas) oleh Presiden Soeharto.
Di
samping bangga, saya tanpa sadar telah merasakan berdiri di salah tribun
stadion yang penuh sejarah ini. Stadion ini terletak di Jalan Bhayangkara No,
49, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa
Tengah. Lokasi stadion ini berada di sebelah utara Museum Keris atau sebelah
barat Taman Sriwedari.
Ide pembangunan stadion ini dicetuskan oleh Raden Mas Tumenggung (RMT) Wongsonegoro, seorang putra abdi dalem panewu Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang aktif di organisasi Budi Utomo dan menjadi Ketua Jong Java. Ide ini muncul ketika R.M.T. Wongsonegoro melihat perlakukan yang tidak adil terhadap atlet sepak bola yang pada saat itu hanya boleh bermain sepak bola di alun-alun kidul tanpa menggunakan alas kaki.
Dari
keprihatinan ini, RMT Wongsonegoro kemudian menyampaikan usulan kepada Sri
Susuhunan Pakubuwono (PB) X untuk membangun stadion yang dapat menampung
kegiatan olahraga kerabat kraton dan kalangan pribumi (bumiputera). Usulan
tersebut disetujui oleh PB X, seorang Raja Surakarta yang semasa
pemerintahannya (1893-1939) menaruh minat yang sangat besar dalam membangun
Surakarta, atau yang dikenal juga dengan Kota Solo.
PB X kemudian memberikan lokasi di sebelah barat Taman Sriwedari untuk dibangun stadion. Dulunya, nama lokasi ini dikenal dengan Kebun Suwung. Karena lahan (kebun) yang merupakan bagian area dari Taman Sriwedari tersebut masih kosong atau belum ada bangunannya (bahasa Jawa: suwung).
Dalam
perencanaan ini, PB X mempercayakan kepada Mr. Zeylman dan Raden Ngabehi
Tjondrodiprodjo. Zeylman menangani desain arsitektur stadionnya, sedangkan
Raden Ngabehi Tjondrodiprodjo sebagai pelaksananya. Stadion ini mulai dibangun
pada tahun 1932 dengan menelan biaya 30.000 gulden. Pengerjaannya yang diawasi
oleh Raden Ngabehi Tjondrodiprodjo, mengerahkan 100 orang pekerja dengan
memakan waktu selama 8 bulan. Tahun 1933 stadion diresmikan oleh Sri Susuhunan
Pakubuwono X yang diwakili oleh Gusti Pangeran Haryo Panular.
Stadion yang dilengkapi dengan trek untuk atletik ini memiliki luas 24.0411 m² yang berdiri di atas lahan kompleks stadion seluas 58.579 m². Stadion juga dilengkapi dengan lampu sorot pada saat didirikan, dan mempunyai lima pintu masuk yang mengelilingi area stadion, tiga pintu di sebelah timur dan dua pintu di sisi barat. Kapasitas stadion ini bisa menampung 12.000 orang. Selain itu, stadion ini juga terdapat tiga bangunan untuk melayani pembelian tiket masuk (ticket box).
Setelah
diresmikan, stadion ini dipakai untuk sepak bola dan latihan baris-berbaris abdi dalem prajurit Kraton Kasunanan.
Pihak Hindia Belanda pun tak mau ketinggalan, mereka meminta agar bisa turut
menggunakan stadion yang megah tersebut. Sehingga, akhirnya terpaksa Persatuan
Sepak Bola Indonesia Solo (Persis) hanya bisa menggunakan stadion tersebut pada
pagi dan sore hari, sedangkan malam harinya digunakan untuk latihan Voetbal
Bond Soerakarta, sebuah klub sepak bola orang Belanda di Surakarta).
Beberapa peristiwa yang bersangkut paut dengan stadion tertua di Indonesia ini terekam dalam jejak sejarahnya. Pada tanggal 8 – 12 September 1948, Stadion Sriwedari digunakan untuk gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON). Dipilihnya Solo tentu bisa dipahami salah satunya karena kesiapan infrastruktur Stadion Sriwedari. Kesuksesan PON ini menjadi pertanda keberhasilan pemerintahan Soekarno-Hatta menjaga stabilitas keamanan. Karena jasanya, Stadion Sriwedari ditetapkan sebagai Monumen PON 1.
Dalam
perjalanannya, stadion ini sempat berganti nama menjadi Stadion R. Maladi pada
4 Agustus 2003 di masa Wali Kota Slamet Suryanto. Pengubahan nama tersebut
sebagai wujud penghormatan atas jasa-jasa R. Maladi sebagai pemimpin Tentara Pelajar
dalam Serangan Umum 4 Hari di Solo, Ketua Umum PSSI (1950-1959), Menteri
Penerangan (1959-1962) dan Menteri Pemuda dan Olahraga (1964-1966). Pengubahan
tersebut atas usulan dari Paguyuban Eks Tentara Pelajar Brigade 17 Surakarta.
Pada
November 2011 di bawah kepemimpinan Wali Kota Joko Widodo, Pemerintah Kota
Surakarta mengembalikan lagi nama Stadion R. Maladi menjadi Stadion Sriwedari.
Namun sayangnya, papan nama yang ada di sebelah barat laut (menghadap ke Bank
Muamalat Solo) masih bertuliskan Stadion R. Maladi Sriwedari Sala.
Ada
yang menarik di papan nama dengan huruf warna kuning dan latar berwarna hitam
ini. Di papan tersebut masih tertulis dengan Sala. Sala merupakan nama aslinya
dari Kota Solo atau Surakarta, yang diambil dari penguasa daerah tersebut
sebelum menjadi ibu kota Kerajaan Surakarta Hadiningrat yaitu Kyai Sala. ***
[270617]
Kepustakaan:
Sajid, R.M., (1984). Babad Sala. Solo: Reksopustoko
Setyawan, Hari. (2009). Olahraga Bulutangkis di Indonesia dari Lokal ke Internasional Tahun 1928-1958.
Skripsi di FIB, UI
http://bola.liputan6.com/read/2611760/stadion-sriwedari-saksi-bisu-pon-i-1948
http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/siteregnas/public/objek/detailcb/PO2017022200002/Stadion-Sriwedari
Tulisan yang bagus. Semoga ada kelanjutan tulisan secara lebih mendalam, sehjngga kita paham sejarahnya. Sàya juga bisa bernostalgia dengan tanah kelàhiran yang endah ini. Nuwun.
BalasHapusSalam kenal pa Budi... perkenalkan namaku Dewi dan suamiku adalah cucu dari perencana Stadion Sriwedari, eyang kakung Tjondrodiprojo. Monggo menjejak di blog https://dewilailypurnamasari.wordpress.com/2023/05/26/kisah-berjumpa-dan-menjadi-bagian-dari-keluarga-tafsir-anom-v/
BalasHapus