Sepulang
dari Pantai Batu Bengkung sudah menjelang Ashar, sehingga posisi matahari sudah
menggelincir ke arah barat. Posisi matahari yang demikian memberikan
pencahayaan yang ‘sempurna’ kepada semua bangunan yang berada di sebelah timur
jalan. Oleh karena itu, untuk melakukan hunting
bangunan lawas dalam perjalanan
tersebut sangatlah menyenangkan. Salah satunya adalah bangunan lawas yang bernama Gereja Katolik
Pagelaran.
Gereja
ini terletak di Jalan Raya Pagelaran No. 34, Desa Pagelaran, Kecamatan
Pagelaran, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gereja berada di
sebelah selatan Kantor Pos Pagelaran, atau tenggara Kantor Kecamatan Pagelaran.
Keberadaan
gereja di Pagelaran ini tidak terlepas dari adanya perkebunan-perkebunan besar
yang ada di daerah Malang Selatan. Perkebunan-perkebunan tersebut
memperkerjakan banyak karyawan dari berbagai kalangan, seperti orang Eropa,
Tionghoa maupun pribumi. Dari beberapa orang Eropa tersebut terdapat seorang
Belanda yang berusaha untuk mengajar pekerja mereka tentang agama Katolik.
Salah satunya adalah A.W.C. Blijdenstein yang menjadi administrator perkebunan
karet milik orang Tionghoa yang bernama San Lien Kongsi dari tahun 1911 sampai
1933.
Blijdenstein adalah lulusan sebuah sekolah pelatihan guru di Maastricht, Belanda, di mana beberapa ilmu pertanian juga diajarkan. Dia datang ke Hindia Belanda pada tahun 1905 untuk posisi sebagai instruktur perumahan (residential instructor) bagi seorang pengusaha perkebunan yang kaya raya di Tanggul. Lalu, dia pindah ke Pasuruan untuk menjadi guru, dan kemudian mengajar di Hollandsch Chineesche School di Surabaya.
Setelah
menjadi administrator perkebunan karet di daerah Malang Selatan, Blijdenstein
mulai merintis sebuah komunitas Katolik di Balearjosari pada tahun 1917. Di
sana, dia dibantu oleh beberapa orang pekerja Katolik yang didatangkan dari
Kalibawang dan Boro yang berada di Jawa Tengah, dengan baptisan 9 orang
pribumi. Kemudian pada 24 Desember 1925, Romo Clemens van der Pas membaptis 8
orang.
Setelah
di Balearjosari berkembang, Blijdensten memperluas pewartaan iman ke Pagelaran
pada tahun 1928. Di sana, dia mendirikan Gereja Katolik Pagelaran, yang
diresmikan pada 15 Oktober 1930. Gereja tersebut digunakan untuk memupuk dan
memperbesar komunitas Katolik dari pekerja-pekerja perkebunan yang berada di
wilayah Pagelaran dan sekitarnya.
Setelah komunitas Katolik di perkebunan di Balearjosari dan Pagelaran mencapai 700 orang pribumi (Jawa), Blijdenstein kembali ke Belanda guna mempelajari teologi untuk menjadi pastor. Dia ditahbiskan menjadi novis Kamel pada imamat tahun 1938 di Merkelbeek, Belanda, dan kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor paroki di Jember.
Dalam
perjalanannya, Gereja Katolik Pagelaran pernah menjadi tempat sejarah yang
sangat penting di wilayah selatan Keuskupan Malang. Dari gereja ini telah
muncul 3 paroki besar di dekenat selatan Malang, yaitu Gereja Ratu Damai
(Purworejo, Donomulyo), Paroki Maria Annunciata (Lohdalem), dan Paroki Maria
Tak Bernoda (Kepanjen).
Pada
saat pendudukan Jepang di wilayah selatan Malang, fasilitas tempat ibadah umat
Katolik banyak yang disegel. Di Balearjosari, gereja dan fasilitas yang
berhubungan dibongkar. Sehingga, banyak umat Katolik yang berpindah ke
Sumatera, Banyuwangi, Sawahan dan Purworejo. Sedangkan, umat Katolik yang
berada di Pagelaran masih beruntung, karena bangunan gerejanya tidak ‘diusik’
oleh Jepang sehingga aktivitas gerejawinya mampu bertahan sampai sekitar tahun
1970-an. Setelah itu, dalam rentang waktu antara tahun 1980 hingga tahun 2012,
gereja ini mengalami ‘kemunduran’ kegiatan gerejawinya. Kalau pun ada, kegiatan
itu hanya untuk acara-acara tertentu. Hal ini membuat kondisi gedung gereja
menjadi memprihatinkan karena kurang terurus. Kondisi yang memprihatinkan ini
terjadi sampai pada Oktober 2012.
Sekarang
ini, Gereja Katolik Pagelaran telah menunjukkan geliatnya lagi. Seiring itu
pula, bangunan gereja itu juga mengalami sejumlah perbaikan dan pengecatan
ulang. Sehingga, pancarannya memperlihatkan fasad bangunan yang menawan. Kekhasan
lain dari gereja ini dari dulu adalah tidak memiliki tembok atau dinding di
sisi kiri dan kanannya.
Sebagai
bangunan yang memiliki sejarah yang panjang, gereja ini acapkali dikenal dengan
Gereja Sejarah Pagelaran, dan sudah sepantasnya mendapat pemeliharaan yang
baik, mengingat bangunan ini juga sudah termasuk kategori bangunan yang lawas, tua, dan kuno. *** [050817]
Kepustakaan:
Emmett, Chad F. (2015). Pious Merchants as Missionaries and the
Diffusion of Religions in Indonesia. In Stanley D. Brunn (Eds.), The
Changing World Religion Map: Sacred Places, Identities, Practices and Politics
Volumes 1-5. (pp. 1195). Heidelberg, New York, London: Springer
Steenbrink, Karel. (2007). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A
documented history. Volume 2: The spectacular growth of a self-confident
minority, 1903-1942. Leiden: KITLV Press
https://gerejakatolikkepanjen.wordpress.com/jadwal-misa/about/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar