The Story of Indonesian Heritage

Menara Air Rangkasbitung

Dalam perjalanan menuju Stasiun Rangkasbitung untuk mengakhiri keliling di Alun-Alun Rangkasbitung dan sekitarnya, saya coba menyambangi bangunan lawas peninggalan kolonial Belanda lainnya. Bangunan lawas yang saya kunjungi berupa bangunan menara air peninggalan kolonial Belanda yang bernama Menara Air Rangkasbitung.
Menara air ini terletak di Jalan Raden Tumenggung Hardiwinangun No. 4 Kampung Pasirtariti RT. 01 RW. 03 Kelurahan Rangkasbitung Barat, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Lokasi menara air ini berada di belakang Kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak, atau belakang Taman Makam Pahlawan Sirna Rana Rangkasbitung.
Menurut tulisan angka yang ada di atas pintu menara air, bangunan ini diresmikan berdirinya pada tahun 1931 dengan nama Watertoren te Rangkasbetoeng. Nama itu berasal dari bahasa Belanda, yaitu water dan toren. Water berarti air, dan toren berarti menara. Jadi, Watertoren te Rangkasbetoeng artinya Menara Air Rangkasbitung.


Air merupakan kebutuhan yang paling utama dalam hajat hidup orang banyak. Hampir semua kegiatan manusia membutuhkan air. Manusia tidak bisa hidup tanpa air, sehingga permintaan air jumlahnya tidak terbatas. Air merupakan sumber daya alam yang tidak terbatas, karena air merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui melalui suatu siklus yang disebut siklus hidrologi. Akan tetapi manusia tidak hanya membutuhkan air dari segi kuantitas atau jumlahnya saja, melainkan juga perlu air dari segi kualitasnya.
Oleh karena itu, dalam memberikan pelayanan air minum di Kabupaten Lebak, pemerintah Hindia Belanda berusaha membangun prasarana sistem penyediaan air bersih untuk wilayah Rangkasbitung dengan mendirikan menara air. Menara air ini dulunya digunakan sebagai bak penampung atau reservoir yang fungsinya sebagai penampung atau penyimpan air yang sumber air bakunya langsung berasal dari mata air Ciwasiat di lereng Gunung Pulosari (Pandeglang). Selain itu, menara air ini juga berfungsi untuk mengatasi masalah naik turunnya kebutuhan air dan merupakan bagian dari pengelolaan distribusi air di masyarakat Rangkasbitung.


Bangunan menara air yang berdiri di atas lahan seluas 200 m dengan ketinggian bangunan sekitar 9 m ini, memiliki arsitektur berbentuk silinder dengan bagian atas berbentuk octagon (segi delapan). Letaknya yang berada di tanah yang agak tinggi, menjadikan menara air ini mampu mengalirkan air dengan memanfaatkan tekanan air sehingga tidak perlu menggunakan mesin untuk mendistribusikan air.
Pada masa Hindia Belanda, menara air ini dikelola oleh perusahaan air minum yang bernama Waterleideng bedrijf. Kala itu, menara air ini memiliki kapasitas 4 liter/detik. Setelah Jepang menduduki Rangkasbitung, perusahaan air minum yang berbau Belanda diambilalih oleh Jepang, dan diganti namanya menjadi Suido Syo.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia segera mengambil alih Perusahaan Air Minum dari kekuasaan Jepang. Kemudian berganti nama dari “Rangkasbetoeng Suido Syo” menjadi “Kantor Air Minum Rangkasbitung”.
Sejak tahun 1970-an, menara air ini sudah tidak difungsikan lagi, namun bangunannya masih dirawat dan dipelihara oleh Kantor Air Minum Rangkasbitung yang mulai tahun 1988 berganti nama menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan kemudian menjadi PDAM Tirta Multatuli Kabupaten Lebak. *** [190818]

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami